My Article

Administrasi Vs. Manajemen

Administrasi Vs. Manajemen

Kita sudah sering mendengar kata administrasi dan manajemen. Administrasi umumnya dikaitkan dengan surat-menyurat dan dokumen, sedangkan manajemen, seperti kita tahu, adalah serangkaian aktivitas mulai dari perencanaan hingga pengendalian. Yang kadang kala tidak kita sadari adalah kita sering mencampuradukkan keduanya di dalam kegiatan organisasi: administrasi disamakan dengan manajemen, dan manajemen adalah administrasi. Akibatnya, tujuan organisasi pun tidak jelas. Apa yang terjadi?

Saya ambil contoh kasus penyelenggaraan ibadah haji. Beruntung sekali saya dan istri tahun ini diizinkan Allah Swt. menunaikan rukun Islam yang kelima. Perjalanan udara dari Jakarta ke Jeddah, alhamdulillah cukup lancar. Saya menyaksikan pencampuradukan administrasi dan manajemen justru ketika tiba di Jeddah. Kami butuh waktu berjam-jam lamanya sejak mendarat hingga masuk bus menuju ke kota suci Mekkah. Ternyata, atas nama manajemen yang prudent, otoritas Kerajaan Arab Saudi perlu melakukan berbagai pengecekan dan pemeriksaan, khususnya paspor, yang katanya adalah salah satu bentuk aktivitas pengendalian. Namun kalau kita tanya apa tujuan penyelenggaraan ibadah haji, hampir pasti jawabannya tidak akan bergeser dari (berfokus pada) jemaah haji: apakah itu kepuasaan, kenyamanan, keselamatan, keamanan dan sejenisnya. Jika memang demikian, lalu mengapa justru jemaah yang jadi “korban”? Mereka harus menunggu tanpa kepastian waktu. Di sinilah, menurut saya, terjadi salah kaprah.

Kita harus ingat bahwa manajemen adalah aktivitas untuk mencapai tujuan (goal, objective). Dengan kata lain, tujuan menentukan bentuk aktivitasnya. Dalam manajemen, aktivitas yang melingkupi korporat (seluruh organisasi) dikenal sebagai strategi korporat. Beda dari administrasi yang justru menekankan pada sisi aktivitas. Maksudnya, bentuk aktivitas amat menentukan aktualisasi tujuan. Jika administrasi dicampuradukkan dengan manajemen, yang terjadi: organisasi sulit mencapai tujuan yang telah ditetapkan karena bentuk aktivitas tidak boleh atau tidak bisa disesuaikan. Saya tidak mengatakan bahwa manajemen identik dengan tujuan menghalalkan segala cara. Dalam manajemen tidak ada itu “segala cara” sebab cara atau strategi harus dirumuskan dengan cermat agar mencapai tujuan. Jadi tidak bisa “segala cara” alias asal-asalan.

Pencampuradukan administrasi dan manajemen sering kita jumpai di Tanah Air. Kita mungkin acap kali mengalami bagaimana berbelit-belitnya mengurus berbagai perizinan. Saking berbelitnya, sampai memakan waktu bertahun-tahun! Bagaimana tidak bila kita harus mengurus izin dari tingkat desa atau kelurahan hingga tingkat kementerian (nasional). Akibatnya, bisnis tidak jalan, sektor riil pun tidak bergerak. Kalau kita komplain, jawabannya hampir selalu klise: “aturannya memang begitu” atau “kami harus mengikuti peraturan”. Peraturan itulah administrasi. Kondisi demikian telah terjadi puluhan tahun lamanya. Orde Reformasi yang katanya lebih baik dari Orde Baru nyatanya belum mampu mengatasi permasalahan tersebut. Bahkan di sejumlah hal terkesan dan terasa lebih buruk, mungkin karena adanya otonomi daerah yang kebablasan: otonomi daerah yang melahirkan raja-raja kecil di kabupaten/kota dan provinsi. Akhirnya tercipta persepsi seperti benang kusut, tidak tahu lagi apa dan di mana ujung pangkalnya. Apa benar begitu kusutnya sampai tidak bisa diurai lagi?

Menurut saya, kita masih bisa mengurainya. Kunci awalnya adalah memisahkan manajemen dari administrasi. Mengapa manajemen yang perlu dipisahkan? Karena manajemen inilah yang akan menjadi paradigma di lingkungan pemerintahan. Lalu di manakah posisi administrasi? Kita tempatkan sebagai penunjang atau pendukung manajemen. Saya kira, pemosisian seperti ini amat relevan dan sejalan dengan keinginan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Inilah tujuan utama pemerintah. Segala bentuk aktivitas pemerintahan harus diselaraskan dengan tujuan tersebut, termasuk aktivitas administrasinya. Dengan kata lain, berbagai bentuk aktivitas administrasi yang diperkirakan atau berpotensi menghambat pencapaian tujuan harus disingkirkan. Sulitkah melakukannya? Fakta menunjukkan tidak sulit.

Saya beri contoh yang saya alami sendiri, yaitu pengurusan perpanjangan Surat Izin Mengemudi (SIM) A di lingkungan Kepolisian Daerah (Polda) Metropolitan Jakarta Raya (Metro Jaya). Dulu, untuk memperpanjang SIM A, saya terpaksa harus melalui calo karena telah diciptakan kesan proses yang berbelit-belit. Belum lagi besarnya biaya yang amat bervariasi, tergantung pada kecepatan penyelesaian yang kita inginkan. Kini, saya bisa melakukan perpanjangan SIM A sendiri tanpa kesulitan berarti dan bahkan hanya memakan waktu kurang-lebih satu jam. Benar-benar efisien: mudah dan cepat. Dengan efisiensi seperti itu, tanpa harus kita ukur, kita akan tahu dan merasakan bahwa kualitas pelayanan publik pasti meningkat tajam. Saya yakin Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) Polda Metro Jaya telah menyingkirkan begitu banyak bentuk aktivitas administrasi guna mencapai proses pelayanan perpanjangan SIM A yang mudah dan cepat, tanpa harus melanggar peraturan perundangan yang berlaku. Di sini Ditlantas Polda Metro Jaya telah mengadopsi paradigma manajemen. Manfaatnya, selain meningkatnya kualitas pelayanan, juga kepastian besaran biaya. Dengan mobil SIM keliling, tidak ada lagi biaya-biaya siluman yang harus kita keluarkan dari meja ke meja sehingga biaya aktual yang dikeluarkan bisa jauh di atas tarif resminya. Sekarang, total biaya jelas dan dibayar di muka.

Sesungguhnya, kunci sukses pengadopsian paradigma manajemen di lingkungan pemerintahan terletak di tangan aparaturnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses yang berbelit-belit terkesan sengaja diciptakan untuk menjadi sumber pendapatan tambahan, khususnya bagi oknum-oknum tertentu. Apakah mereka mau dan rela kehilangan pendapatan tambahan sementara pendapatan resminya relatif kecil? Kondisi ini mungkin lebih parah di daerah-daerah di mana banyak oknum yang membutuhkan pendapatan tambahan untuk mengembalikan dana yang sudah mereka keluarkan untuk memenangi pemilihan kepala daerah.

Maka, pengadopsian paradigma manajemen perlu diikuti dengan perubahan pola pikir (mind set) para aparatur pemerintah dan pembenahan sistem kepegawaian. Kalau kita mau objektif, ketiga hal tersebut tak hanya meningkatkan kualitas pelayanan publik tetapi juga meningkatkan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) karena semakin banyaknya masyarakat yang terlayani dan membayar untuk pelayanan tersebut. Hasil PNBP tadi dapat didistribusikan kembali ke para aparatur pemerintah, tentu berdasarkan kinerja mereka masing-masing. Dengan demikian, pengadopsian paradigma manajemen, perubahan pola pikir dan pembenahan sistem kepegawaian sekaligus dapat menciptakan aparatur pemerintah yang berkinerja. Jadi, tak salah bila Presiden SBY perlu menitikberatkan pada ketiganya di masa pemerintahan beliau yang kedua. Semoga ini dapat terwujud sebelum Pemilu 2014.

Penulis adalah Direktur Eksekutif IPMI dan Lektor Kepala Departemen Manajemen FEUI.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved