Berita BCA Berita BCA

2016, Selalu Ada Peluang tapi Jangan Optimistis Berlebihan

2016, Selalu Ada Peluang tapi Jangan Optimistis Berlebihan

Perekonomian nasional dan global sedang menghadapi ketidakpastian. Meski demikian, diyakini peluang tetap akan ada. Hanya saja, keyakinan tersebut tak boleh disertai dengan sikap optimistis yang berlebihan.

Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA)

Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA)

Perekonomian nasional dan global sedang menghadapi ketidakpastian, di tengah rencana Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) menaikkan suku bunga acuan dan perlambatan ekonomi China. Meski demikian, diyakini peluang tetap akan ada. Hanya saja, keyakinan tersebut tak boleh disertai dengan sikap optimistis yang berlebihan.

“Saya kira 2016 tetap punya prospek yang baik secara umum asal kita tidak over-optimistic untuk menyiapkan target, rencana kerja,” papar Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA), Jahja Setiaatmadja, tentang proyeksi perekonomian ke depan.

Jahja berpendapat, pertumbuhan ekonomi luar biasa seperti pernah dicatatkan Indonesia pada kurun 2010-2013 akan sulit terulang lagi. Situasi ini, tegas dia, harus menjadi kesadaran bersama. Dalam situasi perekonomian sekarang dan mendatang, imbuh Jahja, industri berbasis komoditas juga tak akan lagi bersinar.

Menurut Jahja, tantangan terbesar sekarang bagi perekonomian nasional adalah penyerapan tenaga kerja dan memastikan daya beli masyarakat tumbuh atau setidaknya terjaga. Penanganan kedua persoalan ini akan berdampak besar bagi perekonomian, tak terkecuali sektor perbankan.

Percepatan proyek infrastruktur dan penyerapan anggaran negara maupun daerah, kata dia, merupakan cara tercepat yang bisa ditempuh pemerintah untuk menjaga daya beli itu. “Pelemahan daya beli dan perlunya penyerapan tenaga kerja, terutama di tingkat middle-low, tercermin dari omzet perusahaan yang terlihat turun sekali di semua sektor,” papar dia.

Jahja mengingatkan, perbankan dalam kondisi normal memang berpartisipasi mendorong laju perekonomian antara lain dengan kucuran kredit. Namun, ujar dia, saat daya beli masyarakat menurun maka seberapa banyak pun kredit mengucur dari perbankan tak akan ada banyak geliat ekonomi terjadi.

Kalaupun kalangan usaha mengajukan permintaan pinjaman berlebihan dalam situasi seperti sekarang, imbuh Jahja, yang terjadi hanya akan menjadi dana mubazir. Dengan ilustrasi tersebut, Jahja mengakui BCA memilih langkah agak konservatif terkait target kredit sekalipun segmen yang dibidik tetap kalangan menengah ke atas.

“Mungkin peningkatan kredit bisa single digit, di bawah 10 persen, untuk tahun depan. Tahun ini (2015) sampai Desember (pertumbuhan kredit) sekitar 10 persen,” sebut dia. Jahja pun menyebut penyerapan dana pihak ketiga (DPK) alias simpanan masyarakat di perbankan hanya akan tumbuh di kisaran 8-10 persen di BCA. “Kami harap ada keseimbangan di sisi itu,” ujar dia.

Lagi-lagi, Jahja menegaskan, peluang tetap saja terbentang. Dia melihat industri yang berbasis ekspor masih punya kans untuk bertumbuh. “Misal ekspor ikan, ikan dalam kaleng, juga industri pendukung (sektor makanan dan minuman) seperti styrofoam yang dibutuhkan untuk ekspor, saya kira masih akan tetap bagus, ada peluang untuk berkembang,” papar dia. Jahja juga melihat industri furnitur juga justru bisa lebih berdaya saing ketika rupiah melemah tajam seperti sekarang, dan karenanya berpotensi terus berkembang.

Tak serupa 1998

Meski sekarang ekonomi sedang tak bergairah, Jahja menegaskan, situasi perekonomian nasional maupun global tak bisa disamakan dengan kondisi pada 1997-1998, saat kawasan Asia limbung dihajar krisis moneter. Dia menggarisbawahi, Indonesia dihadapkan pula pada situasi campur-aduk antara ekonomi dan politik pada 1998.

Menurut Jahja, kondisi saat ini juga tak bisa serta-merta disandingkan dengan krisis keuangan global pada 2008, yang dipicu gejolak perekonomian di Amerika. Indonesia memang terimbas gejolak itu, kata dia, tetapi bisa pulih dengan cepat pada 2009. “Saat itu, buying power sangat kuat. Nah, saat ini buying power kehilangan tenaga. Ini yang perlu diperbaiki,” tegas dia.

Jahja tak menampik, menjaga daya beli memang tak segampang teori. Terlebih lagi, pada 2008-2009 Indonesia sangat terbantu booming komoditas, sementara sekarang sektor tersebut justru tengah terpuruk.

Bahkan, Jahja melihat saat ini sektor riil belum terlalu siap untuk membuka banyak investasi baru yang bisa menyerap banyak tenaga kerja. Karena itu, ulang dia, proyek infrastruktur pemerintah memang menjadi harapan untuk menyerap tenaga kerja dan menjaga daya beli untuk jangka pendek ke depan.

Industri perbankan, lanjut Jahja, juga tak bisa dilihat seperti pada 1998. “Likuiditas (sekarang) sangat cukup di pasar,” tegas dia. Proyek infrastruktur memang akan mengandalkan pembiayaan dari luar negeri, tutur Jahja, tetapi perbankan nasional bisa berperan lewat kucuran kredit modal kerja bagi kontraktor dan penyediaan material lokal. “Itu yang mungkin akan meningkatkan permintaan pinjaman (ke perbankan nasional),” kata dia.

Jahja menegaskan, perbankan memang tidak dirancang untuk membiayai proyek infrastruktur secara keseluruhan. Menurut dia, hanya proyek yang bisa feasible dalam kurun 7-10 tahun yang bakal punya potensi dilirik perbankan. Kurun waktu itu masih memungkinkan bagi perbankan memutar dana, lewat obligasi, penerbitan saham (right issue), atau dari pasar keuangan.

Namun, sebut Jahja, kebanyakan proyek infrastruktur butuh waktu 15-20 tahun. “Karena perbankan kita ini bukan bank infrastruktur melainkan bank komersial. Jadi (hanya menyediakan) pembiayaan (berjangka) menengah, tak boleh terlalu panjang,” ungkap dia. Meski demikian, Jahja memastikan permodalan perbankan sekarang cukup kuat. “Likuiditas kalau saya telaah cukup baik,” kata dia.

Sorotan perbankan saat ini, sebut Jahja, adalah performa para nasabah. Ketika daya beli masyarakat masih berlanjut melemah, Jahja mengakui keuntungan industri perbankan bakal susut. Namun, dia pun berkeyakinan tingkat kredit bermasalah (NPL) tak akan melebihi 3 persen, yang itu secara umum masih dalam kategori normal.

Adapun terkait rupiah, Jahja mengakui sulit memperkirakan laju nilai tukarnya. Lagi pula, tegas dia, pelemahan tak hanya terjadi pada rupiah tetapi juga pada mata uang lain, termasuk yen Jepang. Namun, Jahja melihat apa yang sekarang terjadi adalah ketidakseimbangan pasokan dan permintaan dollar AS.

Ekspor, kata Jahja, selama ini mengandalkan komoditas dan sektor itu sekarang lesu. Sementara itu, bahan baku untuk industri di dalam negeri juga masih banyak yang mengandalkan impor. “Bisa jadi memang supply dollar di pasar sedang tidak mencukupi,” kata dia. Ditambah lagi, kata Jahja, ada psikologi eksportir yang cenderung cepat menjual rupiah ketika mata uang Garuda melemah. “Ini menambah beban exchange rate,” aku dia.

Saran yang bisa diberikan Jahja untuk industri adalah meminimalkan pinjaman dollar AS, terutama ketika hasil produksi industri tersebut tak murni menghasilkan dollar AS. Artinya, sebut dia, hanya industri dengan bahan baku sepenuhnya lokal dan berpasar ekspor yang punya keleluasaan untuk meminjam dana dalam valuta asing termasuk dollar AS. “Kalau bahan baku masih impor, belum aman, yang harus dihindarkan adalah terlalu banyak memiliki banyak pinjaman dollar AS,” tegas dia.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved