Berita BCA Berita BCA

Meski Rupiah Menguat, Pengusaha Tetap Perlu Pahami Hedging

Meski Rupiah Menguat, Pengusaha Tetap Perlu Pahami Hedging

Penguatan rupiah diperkirakan akan terus berlanjut. Hal ini didorong oleh kondisi fundamental ekonomi yang mulai pulih, harga komoditas yang mulai menguat, serta langkah BI yang kembali memangkas tingkat suku bunga acuan di level 6,75 persen. Gerak nilai tukar rupiah yang mulai menguat ini sejalan dengan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), dengan perdagangan di awal pekan ini juga terpantau mengalami penguatan (periode 11- 18 Maret 2016)

Menurut Head of Treasury BCA Branko Windoe, faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar rupiah bisa datang dari faktor rupiah maupun dollar. Kadang salah satunya mendominasi, kadang keduanya berjalan beriring, kadang pula saling bertolak belakang. “Setelah sempat melemah ke hampir Rp 15.000, sekarang situasinya berbalik karena potensi kenaikan suku bunga AS yang mengecil,” kata Branko ketika ditemui di Jakarta, Jumat (18/3) lalu.

Dari dalam negeri sendiri, ia menyebutkan sejumlah faktor yang menopang penguatan rupiah saat ini. Surplusnya neraca transaksi berjalan serta cadangan devisa yang meningkat adalah salah satunya. Investasi asing di pasar saham Indonesia maupun investasi orang Indonesia di pasar saham luar negeri, juga memberikan pengaruh. Selain itu juga foreign direct investment dari perusahaan asing ke Indonesia.

“Jika dilihat dari titik awal Rp 12.500, menurut saya selama belum kembali tembus Rp 12.500 sebenarnya rupiah belum sepenuhnya menguat. Karena saat ini pergerakan kurs masih didominasi oleh faktor-faktor dari perekonomian global. Sedangkan dari pasar domestik biasanya pada kuartal baru akan terlihat lonjakan dari permintaan, dengan datangnya momen kebutuhan bahan baku menyambut hari Lebaran,” ujar Branko.

Branko Windoe, Kepala Divisi Treasury PT Bank Centra Asia Tbk (BCA)

Branko Windoe, Kepala Divisi Treasury PT Bank Centra Asia Tbk (BCA)

Ketika ditanya hingga apakah penguatan nilai tukar rupiah bisa terus bertahan, secara teoritis Branko menjawab bahwa hal itu tergantung kepada nilai inflasinya. Ia mengatakan, “Nilai inflasi AS yaitu 1 persen dan Indonesia 4 persen. Artinya, rupiah secara natural akan melemah terhadap dollar sebanyak 3 persen. Jika dilihat ke belakang, inflasi Indonesia tidak pernah lebih kecil dari AS. Jadi ke depannya sudah diperkirakan bahwa rupiah akan melemah setiap tahun sebesar inflation differential itu.”

Yang patut digarisbawahi, Branko menyebutkan, untuk negara berkembang seperti Indonesia ini justru inflasi diperlukan. “Kalau tidak ada inflasi, roda ekonomi tidak bisa berputar. Tidak ada pertumbuhan. Harga bisa turun karena pembelinya sedikit, atau jika penduduknya berkurang,” jelasnya. Sementara Indonesia, dalam satu tahun, jumlah penduduknya mengalami lonjakan sebesar 1,49 persen. Ini artinya pertambahan penduduk Indonesia setara dengan jumlah penduduk Singapura.

“Jika setiap tahun ada pertambahan penduduk 1,49 persen, artinya harus ada tambahan 1,49 persen barang kebutuhan. Kenaikan produksi belum tentu bisa selalu mengejar angka ini. Itulah kemudian ada penawaran yang lebih tinggi agar tetap mendapatkan barang. Jika ditekan, tidak boleh inflasi, maka harga tidak bisa naik dan berakibat pada kelangkaan barang. Muncul pasar gelap, yang pada akhirnya akan memaksa kenaikan harga juga,” paparnya.

Maka, lanjut Branko, setiap tahunnya rupiah wajar jika harus melemah terhadap dollar. “Normalnya memang begitu, selama Indonesia masih mengalami inflasi yang lebih tinggi dari AS. Nah melemahnya berapa? Maksimum 5 persen per tahun itu masih sehat. Kalau terlalu tinggi, tidak masuk akal. Kalau kita lihat sekarang, 5 persen dari Rp 13.000 yaitu Rp 700. Jadi tahun berikutnya seharusnya terjadi pelemahan maksimum Rp 700,” katanya.

Pentingnya Hedging Bagi Pengusaha

Branko memandang perlunya meluruskan persepsi soal nilai tukar rupiah ini. “Tugas dari otoritas moneter adalah membuat nilai tukarnya stabil. Bukan harus ditahan, dibuat melemah atau menguat. Jangan sampai, terjadi pergerakan terlalu drastis. Misalnya ketika akan ekspor, rupiah menguat sampai Rp 10.000. Kemudian ketika harus impor, rupiah melemah menjadi Rp 15.000. Yang seperti ini tentu akan membuat susah pengusaha.”

Untuk menghindari risiko pelemahan nilai tukar rupiah, pelaku usaha didorong untuk memanfaatkan fasilitas hedging atau lindung nilai. Hedging bertujuan melindungi nasabah dari ancaman fluktuasi rupiah, sekaligus menolong bank dari sisi kredit bermasalah. Hedging memang menjadi penting karena banyak perusahaan Indonesia mengambil dana dari luar dan menjalankan operasional perusahaannya dalam rupiah, atau sebaliknya. Selain itu hedging juga berperan di sektor komoditas, dengan hampir 60 persen ekspor Indonesia merupakan komoditas.

Tren pelemahan rupiah yang terjadi belum lama ini diakui Branko mendorong lebih banyak perusahaan untuk melakukan hedging. Namun karena rupiah tengah menguat, bukan lantas hedging bisa diabaikan. Bagi pelaku usaha yang memiliki eksposur, Branko menyarankan agar memahami pentingnya hedging ini. “Hedging bisa dianggap sebagai biaya untuk mencegah biaya lain yang bisa keluar lebih tinggi tanpa disangka-sangka. Dalam jangka panjang, gamblers yang untung-untungan pasti kalah,” terangnya.

Menurut Branko, sejauh ini, perusahaan multinasional memiliki kesadaran yang jauh lebih tinggi untuk melakukan hedging. “Perusahaan asing itu 90 persen sudah melakukan hedging. Sementara perusahaan lokal, baik pemerintah maupun swasta, masih sedikit karena biaya hedging yang dinilai tinggi,” ujar Branko. Padahal, ia menyebutkan, biaya hedging sudah dapat langsung dimasukkan ke komponen biaya melalui akuntansi hedging.

“Ada caranya supaya hedging tidak masuk ke laba rugi, tetapi menjadi komponen biaya. Misalnya tahun lalu, harga produk dan jasa perusahaan menjadi lebih mahal 5 persen dibanding yang tidak hedging, tapi dia aman dari terkena depresiasi rupiah sebesar 10 persen,” ujarnya, “Untuk itu, BCA dengan senang hati akan membantu nasabah. Kami akan bantu mengajarkan mengenai teknis-teknis hedging, juga jenis instrumen-instrumennya. Silakan ditanyakan langsung ke kantor-kantor cabang BCA terdekat.”

Menutup perbincangan, Branko menegaskan bahwa bisnis inti para pengusaha terletak pada jual beli produk dan jasa. “Pada umumnya nasabah cenderung tertinggal soal pergerakan nilai kurs di pasar. Itu wajar karena itu bukan bisnis mereka, melainkan jual beli barang dan jasa. Maka jangan sampai mereka harus turut mengambil risiko terhadap perubahan kurs. Kami dapat membantu nasabah agar tetap fokus pada bisnis mereka,” tandasnya.

BCA Senantiasa di Sisi Anda


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved