Best CEO zkumparan

M. Awaluddin, Dirut Angkasa Pura II “Pemimpin Harus Menunjukkan Arah, Menginspirasi, dan Memotivasi”

M. Awaluddin, Dirut Angkasa Pura II “Pemimpin Harus Menunjukkan Arah, Menginspirasi, dan Memotivasi”
Muhammad Awaluddin, Direktur Utama PT Angkasa Pura II (Persero)

“Industri transportasi udara sekarang merupakan sektor primadona,” kata Muhammad Awaluddin, Direktur Utama PT Angkasa Pura II (Persero). Alasannya, Indonesia yang berpopulasi besar ini merupakan negara kepulauan sehingga kebutuhan akan pergerakan barang dan orang antarpulau pasti tinggi. Apalagi, masyarakat kelas menengah terus tumbuh. “Jadi, sebenarnya supply dan demand-nya bagus,” kata Awaluddin kepada Nisrina Salma dari SWA.

Dari sisi pasokan (supply) terjadi perkembangan, yang ditandai dengan makin besarnya jumlah armada pesawat kalangan maskapai. Mereka pun mulai menjual tiket dengan harga yang kompetitif dan terjangkau, yakni dengan tumbuhnya model layanan low cost carrier (LCC).

Demikian pula dari sisi permintaan (demand), terjadi peningkatan traffic penumpang di berbagai bandara yang dikelola AP II. Tahun lalu sudah mencapai 105 juta penumpang, alias melewati angka psikologis 100 juta penumpang. Tahun ini (2018) diperkirakan mendekati 120 juta penumpang. “Traffic kami tumbuh di kisaran 10-11%, sedangkan industri global hanya tumbuh 5-5,5%,” ujar eksekutif yang pernah menjadi direktur di PT Telkom itu, bangga. Menurutnya, prediksi mendekati angka 120 juta penumpang itu sangat mungkin karena tahun ini sudah bertambah dua bandara yang dikelolanya, menjadi 15 bandara, dan dalam waktu dekat akan tambah lagi empat bandara. Jadi, permintaan juga tumbuh signifikan.

Soal tantangan bisnis yang dihadapi, menurut Awaluddin, itu lantaran kita hidup di era disrupsi dengan tingkat ketidakmenentuan yang sangat tinggi. Ia mencontohkan, bisa saja terjadi, tiba-tiba perusahaan punya musuh baru yang tidak terlihat. Perusahaan bisa gulung tikar karena produk atau jasanya tidak dipakai lagi, atau kalah bersaing dengan perusahaan lain. Sebaliknya, kalau makin kompetitif, perusahaan pun bisa bersaing menawarkan jasa hingga ke mancanegara –seperti sudah dilakukan AP II yang berupaya menawarkan jasa manajemen bandara ke negara lain.

Ketimbang perusahaannya terdisrupsi oleh pihak lain, Awaluddin memilih mendisrupsi diri sendiri, self-disrupted. “Kami mendisrupsi diri sendiri, dengan membuat diri sendiri tidak nyaman dan masuk ke berbagai program alternatif,” ujarnya. Salah satu bentuk target yang dipatoknya adalah mewujudkan konsep Smart Airport, yang akan memberikan kemudahan bagi seluruh pelanggan bandara: pihak maskapai, tenant di bandara, dan penumpang.

AP II juga mengembangkan portofolio bisnis baru. Konsep revenue model-nya pun berubah menjadi multi-sided revenue stream model. Dengan model ini, AP II tak lagi hanya mengandalkan pendapatan dari jasa kebandaraan (aero business), tetapi dari jasa non-aero. Terutama, dengan memanfaatkan aset yang sama untuk dimonetisasi. Sebagai contoh, dari 105 juta penumpang yang datang ke bandara, sebagian di antara mereka juga butuh makan, naik taksi, dan sebagainya. Ini juga menjadi potensi revenue dari sisi digital business. “Big data-nya sedang kami kerjakan,” ujarnya. Pengembangan bisnis lainnya adalah melibatkan tenant yang sudah berdagang di lingkungan bandara, dengan mengembangkan sistem e-commerce-nya.

Ketika masuk ke AP II, Awaluddin memang membawa tiga program transformasi, yakni transformasi bisnis dan portofolio usaha, transformasi infrastruktur dan sistem operasi, serta transformasi human capital. “Program transformasi ini kami jadikan program jangkar, agar kami bisa masuk ke berbagai aspek untuk melakukan perubahan,” katanya. Sebagai contoh, dalam setahun terakhir ini AP II banyak memanfaatkan teknologi untuk mendigitalisasi proses bisnisnya.

Awaluddin merasa beruntung ketika masuk ke AP II karena sebenarnya orang-orangnya siap berubah. Kalau dilihat dari segi usia karyawan BUMN ini, sekitar 80% berusia di bawah 40 tahun, mayoritas dari generasi milenial. “Sebenarnya mereka itu sudah menunggu program (transformasi)-nya seperti apa,” ujarnya.

Ia melihat karyawan milenial itu punya pola pikir digital, karena mereka merupakan digital native. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang merupakan digital immigrant –yang go digital karena dipaksa keadaan. Ia mengaku sudah memperhatikan perpaduan antara digital native dan digital immigrant di organisasinya ini. “Tak bisa lagi cara-cara lama dipakai, sehingga kami harus menyesuaikan,” katanya soal caranya memimpin.

Buat milenial, yang penting itu hasilnya (result), sehingga proses terkadang dinilai tidak terlalu penting. “Yang paling penting dijaga itu soal komitmen dan konsistensinya, sehingga kita sendiri harus bisa menjadi panutan,” katanya.

Awaluddin telah memilih kepala bandara, atau pemimpin kantor cabang, dari kalangan anak muda. Alasannya, mereka tahu kehidupan anak-anak muda sekarang, yang merupakan the future customer bandara.

Untuk memberdayakan SDM AP II, terutama para talent-nya seperti di atas, menurut Awaluddin bisa dengan memberikan kewenangan (authority). “Kewenangan itu penting. Sebab, tanpa kewenangan, para pemimpin unit akan sulit bergerak,” katanya. Hal kedua, dengan langkah empowering, yakni memastikan bahwa mereka punya pengetahuan dan skill yang bagus. “Kalau belum (bagus), harus di-upgrade dengan pelatihan dan sekolah,” ujarnya. “Kemudian, diberi target dan diukur kinerjanya,” ia menambahkan.

Bagi Awaluddin, dalam mengemban peran kepemimpinan, seorang pemimpin harus bisa menjalankan tiga hal. Pertama, menunjukkan arah (giving the direction) ke mana perusahaan akan dibawa. Ia mengingatkan, jangan sampai seorang pemimpin tidak pernah memberikan arah, para pengikut (followers/karyawan) bisa-bisa tidak paham mau dibawa ke mana. Dan, jangan sampai ada yang berlawanan arah, karena itu akan menimbulkan entropi (penyimpangan).

Kedua, menginspirasi pengikutnya (inspiring the people). Menurutnya, menginspirasi itu berbeda dengan memberikan perintah. Menginspirasi itu bisa dengan memberikan proyeksi, sebuah rencana masa depan (future plan), dan semacamnya. Misalnya, bagaimana ia memproyeksikan terwujudnya konsep Smart Airport. Bagaimana kemudian meminta mereka untuk mewujudkannya, itu soal manajemen.

Ketiga, memotivasi orang (motivating the people). Menurutnya, kemampuan memotivasi ini penting. Terutama saat timnya bekerja tidak maksimal atau gagal mencapai target, sang pemimpin harus bisa memotivasi. Supaya tidak melulu melihat hambatan, tetapi juga peluang di baliknya.

Selama sekitar dua tahun kepemimpinannya di AP II (sejak 2016), Awaluddin mengaku cukup bersyukur dengan kinerja bisnis dan kemajuan manajemen perusahaan yang dipimpinnya. Ukurannya antara lain revenue tahun ini ditargetkan mencapai Rp 9,5 triliun, atau diperkirakan tumbuh 18-19% dibandingkan revenue 2017 yang sebesar Rp 8,2 triliun. Untuk tahun 2019, AP II malah menargetkan bisa mencapai revenue sekitar Rp 11 triliun, atau tumbuh 13-14% dari perkiraan pencapaian tahun ini. Dari segi EBITDA, tahun ini ditargetkan bisa tembus di atas Rp 4 triliun.

Dari segi aset, terjadi pertumbuhan signifikan: tahun ini diperkirakan mendekati Rp 40 triliun. Lalu, jumlah bandara yang dikelola pada 2016 sebanyak 13, sekarang 15, dan dalam waktu dekat ditargetkan 19 bandara. Kemudian, jumlah penumpang yang dilayani beberapa tahun lalu masih di bawah 100 juta orang, pada 2017 tembus 105 juta orang, dan tahun 2018 ini diperkirakan mendekati 120 juta orang.

Awaluddin menyebutkan, sebenarnya pihaknya tidak cuma mengukur kemajuan dari segi finansial. Melainkan dengan empat perspektif (Balanced Scorecard), yakni financial performance, customer focus, internal business process, serta learning & growth. Ia mengklaim AP II mengalami kemajuan di berbagai bidang tersebut. “Jadi, kami tidak hanya mengejar kinerja finansialnya,” ujarnya tandas. (*)

Joko Sugiarsono & Nisrina Salma


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved