Business Research

Ekonom: Market Ingin Melihat Keefektifan Kebijakan Pemerintah Atasi Permasalahan Ekonomi

Ekonom: Market Ingin Melihat Keefektifan Kebijakan Pemerintah Atasi Permasalahan Ekonomi

Setelah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada Juni 2013 lalu, serta adanya bulan Ramadhan dan Lebaran, maka tingkat inflasi pada Juli 2013 sebesar 3,29%, yang mana ini merupakan nilai terbesar setelah 1998. Sementara secara year on year (yoy) antara Juli 2012 dan Juli 2013, tingkat inflasi mencapai 8,61%, yang mana ini terbesar sejak 2009.

Hal ini membuat pelaku pasar khawatir dengan keadaan perekonomian dalam negeri. Apalagi selain inflasi, Indonesia juga mengalami peningkatan defisit neraca pembayaran serta penurunan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS. Bahkan terakhir nilai tukar sudah mencapai Rp 11 ribu per satu Dollar AS.

“Dengan defisit yang makin membesar, 4,4% di kuartal II 2013, maka bagaimana pemerintah menutupnya. Market mau melihat apa langkah-langkah yang diambil pemerintah efektif atau tidak, misalnya dengan menaikkan harga BBM. Karena kita tahu sumber defisit itu apa, ya kita lihat apa impor migas itu turun atau tidak. Ini bisa dilihat di data Juli 2013. Langkah menjaga tren inflasi, kalau kemarin kita ada di puncak yaitu 8,61%, lalu Agustus nanti dilihat apakah akan turun secara signifikan atau tidak,” jelas Destry Damayanti, Chief Economist Bank Mandiri.

Presiden SBY sedang berdiskusi dengan Wapres dan Para Menteri Membahas Paket Kebijakan Ekonomi; Courtesy setkab.go.id

Presiden SBY sedang berdiskusi dengan Wapres dan Para Menteri Membahas Paket Kebijakan Ekonomi; Courtesy setkab.go.id

Karena pelaku pasar tidak banyak yang menaruh dananya di dalam negeri atau berarti capital inflow berkurang jauh, sehingga menyebabkan defisit di neraca pembayaran semakin membesar. Namun Destry belum tahu kapan pastinya capital inflow ke dalam negeri akan deras lagi.

“Kita tidak tahu kapan capital inflow-nya akan jadi normal lagi, karena ini masih terpengaruh masalah global juga. Foreign Direct Investment (FDI) juga dalam tiga tahun belakangan tumbuhnya pesat, tapi yang namanya perusahaan itu punya siklus investasi. Jadi mungkin mereka investasi gede-gedean di beberapa tahun lalu, maka mereka pastinya mau utilisasi di tahun ini. Makanya kalau kita lihat impor barang baku turunnya tidak sekencang impor barang modal, karena operasi atau proses produksi masih jalan,” tutur Destry.

Menurutnya, karena di Juli kemarin itu masih ada pengaruh yang cukup besar dari kenaikan harga BBM di Juni, serta merupakan bulan Ramadhan dan menjelang Lebaran, maka memang menjadi wajar kalau tingkat inflasinya tinggi. Jadi pada Agustus ini diharapkan tingkat inflasi bisa menurun, yang pada akhirnya akan menimbulkan kepercayaan kepada para pelaku pasar agar mau masuk kembali ke Indonesia.

“Oke, karena kemarin seasonal, ada dampak (kenaikan harga) BBM dan Lebaran. Nah, Agustus ini seharusnya dampak BBM sudah habis, (dampak) dari Lebaran juga sudah tidak dong, tapi kan harga makanan masih tinggi. Karena kita kalau melihat inflasi tidak levelling melainkan melihat perkembangannya. Tapi dibandingkan bulan lalu kemungkinan masih bisa rendah. Lalu kita juga ingin melihat apakah cadangan devisa (cadev) akan tetap atau malah lebih turun di Agustus ini,” ungkapnya.

Destry mengakui kalau selama ini pemerintah kurang waspada atau tidak mempunyai Plan B, jikalau tiba-tiba capital inflow menurun. Jadi tidak jelas dengan apa ke depannya Indonesia mau membiayai pembangunan dan sektor riilnya. Padahal para pengusaha pasti maunya melakukan business as usual saja.

“Jadi mau tidak mau grow (pertumbuhan) harus di-cut, jadi ada pengetatan kebijakan moneter. Sekarang masih ada ketidaksinkronan, karena BI mau mengetatkan (kebijakan moneter), tapi pemerintah mau longgar saja. Jadi harusnya ada kesadaran dari pemerintah untuk menghemat anggaran. Tapi itu harus ada langkah konkritnya, misalnya pajak dinaikkan dulu supaya aman. Kenaikan pajak 14% itu sudah bagus, tapi spending yang tidak produktif itu harus diketatkan. Kalau nanti investasi swasta balik lagi, kita sudah punya tuh kawasan industri, sudah ada logistik yang baik, dan sebagainya,” ucap Destry.

Sementara, Iwan Jaya Azis, Head of Regional Economic Integration at Asian Development Bank (ADB), juga menyetujui bahwa respon pasar terhadap kebijakan pemerintah akan menentukan besar atau kecilnya kemungkinan krisis ekonomi terjadi lagi di Indonesia. Bahkan, kata dia, kalau kebijakan pemerintah tidak berhati-hati, bisa saja menimbulkan krisis ekonomi. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved