Marketing Strategy

Di Era BPJS, Produsen Obat Non Generik Harus Pintar Meyakinkan Asuransi Swasta

Di Era BPJS, Produsen Obat Non Generik Harus Pintar Meyakinkan Asuransi Swasta

Mulai diberlakukannya UU No 24 tentang BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) per 1 Januari 2014, menjadi momen bahagia bagi masyarakat yang mendambakan pelayanan kesehatan berkeadilan sosial.

Industri farmasi yang memproduksi obat generik juga ikut senang, sebab pasar obat murah diperkirakan bakal meningkat 2-3 kali lipat. Di sisi lain, produsen obat inovatif (non generik) akan menghadapi perubahan model bisnis

Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturer Group (IPMG), Parulian Simanjuntak, mengatakan, mulai tahun depan akan ada perubahan model bisnis industri farmasi. Sebanyak 80% masyarakat Indonesia masih out of pocket alias menggunakan biaya sendiri.

Karena perilaku pasien yang out of pocket tersebut, maka model bisnis industri farmasi hanya perlu meyakinkan dokter untuk menjual obat-obatannya ke pasien. Setelah BPJS dimulai, maka model bisnis industri farmasi, terutama farmasi berbasis riset, berubah.

“Mulai tahun depan industri ini juga harus bisa meyakinkan asuransi kesehatan swasta untuk memasukkan obat-obatan mereka ke dalam daftar obat-obatan yang dipakai,” jelas Parulian.

IPMG saat ini menaungi 25 anggota yang merupakan perusahaan farmasi berbasis riset, antara lain; Otsuka Indonesia, Pfizer Indonesia, Roche Indonesia, Sanofi Group Indonesia, Otsuka Indonesia, Pfizer Indonesia, PT Merck.

Perusahaan-perusahaan tersebut memproduksi obat-obatan inovatif dan telah memperkenalkan 250 obat seperti obat kanker, diabetes, dll.

Di era BPJS, kesehatan masyarakat dijamin dengan menggunakan obat-obatan generik, sebab anggaran pemerintah juga tak besar. Mengenai hal ini Parulian punya anggapan berbeda.

Menurutnya, obat inovatif harganya memang lebih mahal dari pada obat generik. Dari 5-10 ribu senyawa yang diperkirakan bisa mengobati suatu penyakit, yang masuk sebagai senyawa clinical adalah 250.

“Sampe masuk clinical trial 1,2,3 hanya lima, kemudian hanya satu yang bisa masuk ke pasar, itu pun tidak ada jaminan yang satu itu bisa menutupi ongkos produksi riset sebab jangka waktu riset rata-rata mencapai 8-12 tahun,” terangnya.

Meski lebih mahal, Parulian menegaskan, penggunaan obat inovatif dalam pengobatan secara keseluruhan justru lebih hemat. “Untuk itu kami harapkan harga bukan menjadi kriteria satu-satunya syarat yang dimasukkan pemerintah dalam menentukan obat rujukan formularium nasional,” kata pria yang juga menjabat sebagai Independent Commissioner and Chairman of Audit Committee, PT Merck Tbk.

Akses Program Jaminan Kesehatan melalui Askes, Jamsostek, Jamkemnas/Jamkesda, pasti menggunakan obat generik. Nasib obat inovatif era BPJS, menurut Parulian sangat bergantung pada kesanggupan industri farmasi berbasis riset meyakinkan dokter serta asuransi kesehatan swasta, bahwa obat yang mereka produksi akan menghemat pengobatan secara keseluruhan, bahwa pasisen harus diobati sesuai kebutuhannya.

“Jika industri farmasi berbasis riset tidak bisa meyakinkan dokter dan asuransi kesehatan swasta, maka ini menjadi ancaman bagi anggota-anggota IPMG yang punya 9-10 ribu pekerja di Indonesia,” ujarnya. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved