Management Editor's Choice Strategy

Hotel Alila Makin Berkilau di Tangan Generasi Kedua

Hotel Alila Makin Berkilau di Tangan Generasi Kedua

Adalah Iwan Tjahyadikarta, seorang pengusaha Jakarta yang keluar dari bisnis keluarganya untuk membangun bisnis dealer mobil, Sumber Auto Graha pada periode 80an. Memasuki periode 90an, suami Elfina Gunawan ini merambah bisnis properti. Kemitraannya dengan Yan Mogi dalam SMR Group menghasilkan sejumlah properti, seperti apartemen Mitra Oasis (Allison Residence), Mitra Sunter, Mal Artha Gading, dan Senayan Residence. Keluarga Tjahyadikarta mempunyai banyak lahan dan sering diajak kerja sama, salah satunya oleh Agung Podomoro Group untuk membangun Aston Hotel di Braga, Bandung.

Budiman Tjahyadikarta, Hotel Alila

Budiman Tjahyadikarta

Iwan, tahun ini berusia 60 tahun, disinyalir tidak tamat SD. Namun, hal itu tidak menghalangi Iwan untuk menjadi pengusaha yang tangguh. Pasangan Iwan-Elfina memiliki tiga putra dan satu putri, hanya anak putra yang dilibatkan dalam bisnis keluarga. Iwan mempercayakan bisnis properti yang sudah dirintisnya kepada anak keduanya, yaitu Budiman Tjahyadikarta. Pada tahun 2000, Budiman diminta pulang dari Australia oleh Iwan untuk membantu dalam pengelolaan Hotel Alila di Pecenongan, Jakarta. Ayah Budiman memiliki gedungnya, sementara paman Budiman menjadi operator hotelnya.

Di tahun 2004, adik bungsu Budiman, Donny Tjahyadikarta bergabung dalam pengelolaan Alila Hotel Pecenongan. Alila Hotel merupakan international chain hotel. Budiman dan Donny mendapatkan peluang untuk belajar mengembangkan bisnis keluarga ketika bergabung di Alila Hotel. Saat ini Budiman dan Donny sedang mengembangkan bisnis operator hotel bernama Hotel International Management (HIM), yang sudah dimulai sejak tahun 2012. Satu hotel yang mereka miliki dalam bendera HIM adalah Sparks Hotel di Mangga Besar dengan kamar sebanyak 114 buah. Iwan memang memiliki beberapa lokasi properti yang ingin dikembangkan Budiman dan Donny untuk perhotelan, yang sudah berjalan Sparks Hotel di Mangga Besar.

Budiman mengambil kuliah jurusan Accounting Finance di Edith Cowan University di Perth, Australia. Pria kelahiran Jakarta, 14 Oktober 1974 ini sempat bekerja selama dua tahun di American International Insurance. Suami Eliz Lo ini hendak dipromosikan untuk bekerja di kantor cabang American International Insurance di Sidney, namun akhirnya memilih pulang ke Indonesia karena menurutnya berbisnis di Indonesia lebih menantang, dibandingkan hidup di Australia yang meski tidak kekurangan, tapi terprediksi. Sementara itu Donny, kelahiran Jakarta, 25 Juli 1979, mengambil kuliah jurusan International Business dan E-Commerce di Curtin University, Perth, Australia. Bisnis batu bara keluarga Tjahyadikarta saat ini diserahkan Iwan kepada Donny, melalui PT Globalindo Inti Energi, yang memiliki konsesi lahan seluas 3.300 ha di Muara Jawa, Kalimantan Timur. Mulai beroperasi sejak 2011, saat ini kapasitas produksinya 100.000 ton per hari dan dijual kepada trader lokal. Perusahaan batu bara didirikan keluarga Tjahyadikarta bersama partner, dan suami Intan Anggraini tersebut menempati posisi Direktur.

Majalah SWA berkesempatan untuk berbincang dengan Budiman dan Donny mengenai lika-liku mengembangkan bisnis keluarga. Berikut petikan wawancara Reporter SWA, Darandono dan Rangga Wiraspati:

Mulai kapan Anda dilibatkan pada bisnis perhotelan? Posisi apa yang Anda tempati saat pertama kali dilibatkan?

Budiman: Saya kuliah di Australia, setelah lulus pun saya tidak langsung pulang ke Indonesia, saya kerja di sana terlebih dahulu. Tahun 2000, keluarga saya memanggil kembali, karena keluarga saya sedang membangun bisnis perhotelan, yaitu Alila. Di tempat itu peran saya adalah controlling, sekalian saya belajar juga di sana. Di keluarga kebetulan sudah ada yang berkecimpung di bisnis perhotelan juga, yaitu paman saya. Pada saat itu hotel Alila pertama dibangun di Pecenongan. Karena letaknya bukan di Sudirman atau di selatan, saya banyak belajar mengenai brand image. Saya juga ikut terlibat di manajemen hotel. Ketika adik saya (Donny) pulang, ia lebih berminat dan selanjutnya banyak terlibat dalam operasional harian Alila Hotel. Memang setelah pulang ke Jakarta, saya lebih tertarik untuk belajar manajemen dan berbisnis sendiri. Di hotel ini saya banyak belajar manajemen.

Donny: Saya juga berada di Perth, dari tahun 1993 sampai 2004, saya kuliah di Curtin University mengambil jurusan International Business dan E-Commerce. Sejak masa kuliah saya sudah menimba pengalaman bekerja, mulai dari pengantar pizza di Domino’s, bekerja di kafe, setelah lulus saya bekerja selama kurang lebih dua tahun di perusahaan telekomunikasi yaitu Telechoice Optus, kemudian saya belajar bahasa Mandarin dasar selama kurang lebih empat bulan di China. Ketika saya pulang dari Australia saya tidak langsung menempati posisi penting, saya self-learning dengan cara mengobservasi usaha-usaha milik ayah, ketika saya diangkat menjadi representative owner Alila Hotel Pecenongan, tugas saya mengontrol pembangunan beberapa lantai, juga mewawancara calon GM, kurang lebih tiga tahun kemudian barulah saya menempati posisi direktur.

Apakah ayah Anda memang mendidik untuk bekerja dengan orang lain terlebih dahulu?

Budiman: Dari kecil memang ayah bukan orang yang gampang, tidak pernah memberikan uang berlebih, kami melihat ayah sebagai orang yang tangguh, dengan tidak lulus SD saja ia bisa berbisnis, maka seharusnya kami yang sudah diberikan pendidikan sampai ke luar negeri bisa memperoleh pencapaian yang lebih dibandingkan ayah. Ayah merupakan orang yang tidak suka membuang waktu dan seorang risk taker, itu yang kami pelajari darinya. Namun ayah lemah dari sisi manajemen, sehingga kami yang sekolah sampai ke luar negeri bertugas untuk merapikan sisi manajemen dari bisnis ayah. Tantangan kami sebagai generasi kedua selain mempertahankan bisnis keluarga, adalah mengembangkannya. Alila Hotel lebih bertipe Boutique Hotel, saat ini kami sedang mengembangkan hotel bintang tiga dan bintang dua melalui HIM, kami memiliki satu hotel Alila di Pecenongan dan paman kami memiliki satu di Bali.

Apakah perbedaan cara kerja dan gaya kepemimpinan menjadi masalah ketika Anda bergabung dengan Alila?

Donny: Perbedaan cara kerja di Australia pasti berbeda dengan di Indonesia, di Australia mereka sangat teratur soal waktu, kasarnya jam lima sore pun mal sudah tutup. Sementara di Indonesia, waktu justru lebih longgar karena aktivitas, terutama di Jakarta, sangat padat. Di sini jika saya harus bertemu dengan orang pada malam hari pun saya lakukan. Mengenai gaya kepemimpinan, saya pikir itu tergantung karakter masing-masing orang. Saya sendiri tidak menjumpai karyawan yang mempertanyakan gaya kepemimpinan saya, karena jika dibandingkan budaya di Australia dan di sini, cara memimpin di sebuah perusahaan saya pikir sama saja.

Donny Tjahyadikarto, Hotel Alila

Donny Tjahyadikarto

Budiman: Kami tidak mengalami problem dengan karyawan, karena ayah pun memberikan panutan kepada kami untuk terjun ke lapangan dari level bawah, terkadang ia datang lebih awal daripada para manajer dan pulang lebih akhir. Para manajer pun tahu bahwa kami itu siapa dan untuk apa kami dipersiapkan, maka bagi saya, kami perlu belajar untuk rendah hati, anggap diri bukan siapa-siapa sebab kami sedang dalam proses belajar. Toh jika kami berhasil membuktikan bahwa kami bisa bekerja, bukan hanya posisi saja, mereka pun paham, karena sejak awal mereka tahu kemungkinan suatu saat kami akan menempati posisi penting di perusahaan.

Apakah saat ini orang tua masih terjun dalam bisnis, dalam bentuk mengawasi atau sudah sepenuhnya dipercayakan kepada anak?

Donny: Saat ini ayah sebatas mengawasi, untuk operasional harian sudah diserahkan kepada kami. Terkadang ia masih terjun dalam bentuk mencari proyek-proyek baru. Kami pun masih memberikan report kepada ayah atas operasional bisnis sehari-hari. Ayah lebih sering menerima laporan yang sifatnya bulanan.

Budiman: Pada dasarnya ayah sudah menyerahkan operasional bisnis ke kami, namun jika ada masalah yang benar-benar urgent, maka kami akan bertanya kepada ayah untuk meminta solusi dilihat dari sudut pandang pengalamannya.

Ayah mempunyai saham di beberapa perusahaan, apakah ia menaruh anak-anaknya di beberapa perusahaan itu?

Budiman: Kecenderungannya memang seperti itu.

Apa saja pelajaran yang Anda petik dari Ayah ketika perusahaan sedang berada dalam kondisi sulit?

Budiman: Tentunya pendidikan yang kami pelajari dari Ayah adalah pendidikan karakter. Selain itu, saya melihat ayah selalu punya mimpi, yaitu mimpi untuk menjadi orang sukses. Ia tak pernah menjelaskannya kepada saya. Belajar dari orang tua, saya menyusun rumus kesuksesan sendiri, yaitu 4D (Dream, Desire, Do, and Determination). Kemudian, saya menyadari pentingnya networking sebagai suatu modal dalam berbisnis dari ayah.

Bagaimana Anda mengatasi perbedaan prinsip dan gaya bisnis antara ayah dan Anda?

Donny: Bagi saya, meski tidak semua nilai dan cara tradisional ayah kami adopsi, namun menurut saya secara umum nilai dan cara tradisional ayah sudah cukup baik untuk kami terapkan. Tantangannya adalah mengembangkan cara-cara tradisional itu dengan pemikiran-pemikiran kami. Contoh kasus, sebuah restoran yang ada di bagian bawah Alila Hotel Pecenongan. Ayah lebih menginginkan restoran itu dikelola oleh paman atau orang lain. Sementara itu, saya berpendapat jika restoran itu dikelola orang lain, maka akan terjadi dilema dalam pengaturan biaya dan lainnya. Saya menganggap pengelolaan restoran itu lebih dari sekedar perhitungan untung rugi ayah. Menurut saya, jika ada dua manajemen dalam satu gedung, membangun kerja sama antar dua manajemen akan sulit, sebab masing-masing pihak akan mementingkan dirinya sendiri. Persoalan lainnya, dua manajemen akan menyerap karyawan yang lebih banyak, yang mengakibatkan pertambahan biaya. Saya mejelaskan hal itu kepada ayah dan ia pun mengerti juga. Saya berargumen, meski pekerjaan akan bertambah banyak jika kami mengelola satu gedung, namun secara efisiensi saya dapat melakukan rolling karyawan dari lantai atas sampai bawah, dan juga saya dapat menekan biaya, karena saya bisa menggunakan apa yang ada di hotel untuk di restoran juga. Ayah lebih berpikir praktis, sementara kami lebih berhati-hati. Jika ayah adalah seorang risk-taker, maka kami melakukan risk management-nya. Dulu, lantai bawah Alila Hotel Pecenongan merupakan showroom, sekarang saya kembangkan untuk mengakomodasi kepentingan tamu, seperti ada tempat makan dan bar. Saat ini di Alila Peceonongan seluruh kegiatan bisnisnya terkait.

Budiman: Saya sempat mendapat penolakan dari ayah ketika saya mengutarakan keinginan untuk membuka bisnis MLM. Ayah tidak setuju akan ide tersebut, karena ia menganggap bisnis MLM itu menipu orang. Saya melihat potensi dari bisnis MLM yang tidak konvensional, yang menawarkan solusi bagi orang yang mempunyai keterbatasan-keterbatasan dalam menjalankan bisnis konvensional. Kemudian saya berargumen bahwa bisnis MLM dapat menolong banyak orang, tergantung dari orang yang menjalankannya. Saya terinspirasi oleh pendapat Ir. Ciputra yang menyatakan apabila sebuah negara ingin maju, negara tersebut harus menciptakan entrepreneur, paling tidak 3% dari penduduknya merupakan entrepreneur. Melalui bisnis network marketing, saya percaya bahwa saya mampu berkontribusi dalam menumbuhkan entrepreneur baru.

Apakah ada kecemburuan dari tenaga profesional di perusahaan ketika Anda pulang dari luar negeri dan membantu mengembangkan Alila Hotel?

Donny: Kecemburuan itu tidak kami alami, karena kami tidak serta-merta menempati posisi penting di perusahaan. Kami terjun ke lapangan dari level bawah. Seperti Pak Budiman bilang, para senior kami di perusahaan adalah mentor-mentor kami juga. Jadi respek dari para senior kami dapatkan karena usaha kami juga, kami berusaha membuktikan kepada mereka bahwa kami memang kompeten untuk menjalankan bisnis perusahaan. Ketika saya bergabung di Alila di tahun 2004, kondisi perusahaan pun belum stabil. Ketika perlahan kami berhasil mensosialisasikan ide-ide kami kepada semua pihak, terbukti keadaan Alila sekarang jauh lebih baik dibandingkan sembilan tahun lalu.

Saya memang tidak menempati posisi spesifik ketika bergabung membantu Alila, kami benar-benar dilepas. Sebenarnya saya ingin training di setiap divisi di Alila, namun paman saya tidak menyarankan cara itu sebab saya tidak akan bisa belajar banyak dan juga status saya sebagai owner akan membuat para karyawan sungkan. Jadi, saya tidak nongkrong di satu pos saja, tetapi saya berdiskusi dengan semua staf mulai dari housekeeping, F&B, sampai keuangan. Saya kelilingi semuanya satu per satu. Saya mengamati sistem kerja dan SOP di semua pos, sehingga saya bisa mengidentifikasi kelemahan-kelemahan yang ada.

Apa sikap yang perlu Anda tunjukkan sehingga Anda mendapat respek dari keluarga dan karyawan?

Donny: Yang penting bagi saya adalah kejujuran. Saya merupakan orang yang bisa memberikan kepercayaan 100% kepada karyawan lama atau baru, namun saya tidak suka jika kepercayaan saya disia-siakan. Saya pikir dengan memberikan kepercayaan 100%, mereka tidak sungkan untuk berdiskusi dengan saya tentang apapun.

Apa saja hal-hal penting yang Anda petik dari keluarga dan para mentor selama masa pembelajaran?

Budiman: Jelas profesionalisme itu paling penting. Kemudian, ketegasan juga penting. Yang di bawah tidak menyukai hal-hal yang mengambang, karena mereka butuh arahan. Bisa disimpulkan kami belajar membangun leadership di Alila.

Donny: Dalam hal leadership, saya banyak belajar dari ayah. Ayah tipenya dapat merangkul semua orang. Selain ketegasan, dalam hal leadership saya membuka diri kepada semua karyawan agar mereka dapat menceritakan kendala-kendala yang mereka alami. Jadi saya menganggap mereka bukan sebagai anak buah, namun sebagai teman. Kalau ada apa-apa mereka bisa menghubungi saya kapan saja.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved