Management Strategy

Kredit Seret, OJK Siapkan Kebijakan Baru

Kredit Seret, OJK Siapkan Kebijakan Baru

Laju penyaluran kredit selama dua bulan pertama masih belum menggembirakan. Pengusaha masih menanti kepastian dari pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, terutama untuk pelaksanaan berbagai proyek infrastruktur yang selama ini digembar-gemborkan. Direktur Eksekutif Mandiri Institute Destry Damayanti mengatakan pengusaha masih menahan diri untuk melakukan ekspansi. Apalagi, situasi ekonomi global masih diliputi ketidakpastian. “Siklusnya, di triwulan I, bisnis tumbuh lambat, bank juga terkena dampaknya. Siklusnya, kredit di tiga bulan pertama memang rendah. Penjualan mobil, semen, properti masih melambat,” katanya kepada SWA.

Faktor lainnya yang membuat fungsi intermediasi perbankan tertahan adalah meningkatkan sikap kehati-hatian perbankan di tengah situasi ekonomi domestik maupun internasional yang masih belum menentu. Kebijakan itu dilakukan untuk mencegah kerugian yang lebih besar. “Kredit bermasalah (NPL) meningkat, sehingga bank harus meningkatkan pencadangan. Inilah yang menggerus laba perbankan,” ujarnya.

Executive Director Mandiri Institute, Destry Damayanti

Executive Director Mandiri Institute, Destry Damayanti

Dari data Statistik Perbankan Indonesia yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) laba bank hanya tumbuh 4,2% secara tahunan (year on year) menjadi Rp 18,07 triliun. Laju kenaikan penghimpunan dana tidak dibarengi dengan pertambahan pendapatan bunga bersih. “Margin bunga bersih tergerus, biaya dana meningkat lebih cepat dan di saat bersamaan suku bunga kredit cenderung turun. Bank harus mulai selektif, melihat sektor mana yang potensi NPL meningkat,” sahut Destry.

Untuk mendorong penyaluran kredit, OJK berencana menurunkan Loan to Value (LTV) dari 30% menjadi 20%. Harapannya, kemampuan bank menyalurkan kredit akan bertambah. Masyarakat juga diuntungkan karena tak harus menyediakan uang muka sebesar 30% dari harga jual rumah dan mobil. “Dengan demikian, bank bisa lebih ekspansif. Namun, OJK harus lebih dulu berkoordinasi dengan Bank Indonesia sebagai regulator kebijakan makroprudensial. Jangan sampai kebijakan ini menjadi bumerang di kemudian hari,” ujarnya.

Penerapan LTV mulai dijalankan pada 2012, di mana regulator membatasi tingkat uang muka KPR dan KKB di kisaran 20%-30%. Kebijakan itu diterapkan lebih untuk mencegah peningkatan risiko kredit akibat pertumbuhan yang signifikan di sektor tersebut. Namun, sejak kebijakan tersebut berlaku, laju penyaluran KPR dan KPA tak lagi kencang seperti di tahun-tahun sebelumnya.

Destry menambahkan, OJK juga harus mendorong perbankan mencari sumber pendanaan yang lebih beragam, tidak hanya mengandalkan penghimpunan dana pihak ketiga. Funding perbankan bisa diperoleh dari penerbitan Medium Term Notes, Subdebt, maupun obligasi. Otoritas juga harus mengubah penilaian kinerja perbankan, tak hanya fokus pada rasio pinjaman terhadap dana (LDR). “Rata-rata, LDR perbankan sudah mencapai 88%, beberapa bank bahkan ada yang LDR-nya di atas 100%. Mungkin nanti, jangan hanya LDR, tapi juga LFR, misalnya (Loan to Funding Ratio-rasio pinjaman terhadap pendanaan),” katanya.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved