Management Strategy

Industri Tekstil dan Produk Tekstil Menunjukkan Gejala Deindustrialisasi

Industri Tekstil dan Produk Tekstil Menunjukkan Gejala Deindustrialisasi

Pertumbuhan industri manufaktur dan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia terus menurun dalam tiga tahun terakhir. Dari tahun 2012 hingga tahun 2013, industri TPT naik dari 6,04 % menjadi 6,58 %, tetapi memasuki tahun 2014 industri TPT hanya mampu tumbuh 1,53 % dan kuartal I tahun 2015 hanya tumbuh 0,98 %.

industri tekstil

Menurut Ade Sudrajat Usman, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), penurunan tersebut akibat dari permintaan pasar melemah, terutama pasar ekspor dan ditambah berbagai masalah yang membebani industri dalam negeri, terutama faktor biaya yang menurunkan daya saing.

“Saat ini ekspor dari Januari – April 2015 menurun, karena impor bahan bakunya juga menurun,” jelas Ade.

Salah satu elemen industri tekstil dengan biaya tersbesar adalah listrik. Di Indonesia listrik untuk industri itu paling mahal, berbeda dengan negara lainnya, seperti di korsel listrik untuk industri hanya dikenakan tarif 6 sen per kwh. Sedangkan di kita 10 sen per KWH. Begitu juga Vietnam, negara yang baru berkembang dalam proses industrialisasi, tarif listrik untuk industri hanya 6 sen per kwh.

Ade merekomendasikan beberapa langkah sebagai solusi untuk maslah biaya listrik tersebut, di antaranya adalah industri diberikan tarif khusus atau diskon sebesar 65 % untuk pemakaian dari pukul 22.00 sampai dengan 06.00. Kedua, gas bumi wajib diberikan jaminan ketersediaan dan kepastian harganya, dan ditetapkan pemenuhan kebutuhan gas bumi untuk industri manufaktur nasional adalah 100 % ditambah cadangan 20 %.

Selanjutnya Ade mengingatkan, rencana pemerintah dalam penerapan tarif adjustment untuk TTL (ditentukan oleh kurs, ICP, dan inflasi), akan melahirkan ketidakpastian planing perusahaan.

Hambatan lain yang dihadapi industri TPT di Indonesia adalah pengenaan PPN bahan baku kapas. Sebelumnya kapas tidak termasuk sebagai barang yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai ataupun Barang Kena Pajak. Namun sejak 22 Juli 2014 status kapas dari barang tidak kena pajak menjadi barang kena pajak, yaitu PPN sebesar 10 %. Padahal kapas yang diimpor tersebut belu diproses, sehingga belum ada nilai tambahnya.

Ade juga mengatakan ada sejumlah indikasi ‘deindustrialisasi” TPT di Indonesia. Pertama di hulu, yaitu industri subsektor fiber making, terjadi penambahan kapasitas tetapi tidak diikuti dengan permintaan pasar sehingga dilakukan berbagai tindakan efisiensi.

Kedua, subsektor spinning (benang), produksinya berjalan secara terpaksa dan stok menumpuk akibat harga yang sangat buruk dan beberapa tidak berhasil survive, di pihak lain ada yang dipaksa harus menembus pasar ekspor. Ketiga, di subsektor weaving (kain), telah terjadi pengurangan waktu kerja dari 7 hari menjadi tinggal 5 hari kerja dan akan terus berkurang jika situasi memburuk. Keempat, subsektor garmen (barang jadi – hilir), di hilir permintaan konsumen unk pakaian jadi tetap tinggi bahkan meningkat, namun tidak mampu mendorong produksi.

Saat ini 65 % ekspor Indonesia adalah garment dengan pasar terbesarnya dalah Eropa, Amerika Serikat dan Jepang. Sedangkan ekspor dalam bentuk tekstil baik lembaran kain maupun serat benang hanya sekitar 30 %. “Jika dibandingkan dengan Vietnam, yang baru membangun industri tekstil dan garmen tahun 2000, pada tahun 2010 mereka sudah bisa menyalip jumlah ekspor Indonesia dua kali lipat,” jelas Ade. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved