Management Strategy

Jalan Menjadi Pemain Roti Terbesar

Jalan Menjadi Pemain Roti Terbesar

Ia seakan-akan keluar dari pakem industri roti yang umumnya hanya diisi pelaku usaha home industry. Selain distribusi, ada beberapa dimensi lain di balik kesuksesannya.

Hari masih pagi, pukul 05.30 WIB. Cecep Hendra, seorang penjaja roti, sudah mulai sibuk mengayuh gerobak sepeda roda tiga berkeliling menjajakan produk Sari Roti di seputar Kecamatan Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat. Disambanginya beberapa pelanggan tetapnya yang membeli roti untuk sarapan anak sekolah. Rutinitas ini sudah ia lakukan sejak dua tahun lalu. Kalau ramai, dalam sehari keuntungan bersih Rp 75 ribu dikantonginya.

Ada ribuan penjaja lain melakoni peran seperti Cecep. Dan kendati tampak remeh-temeh, mereka adalah salah satu mata rantai yang membentuk sukses Sari Roti. Tahun 2010, penjualan bersih PT Nippon Indosari Corpindo Tbk. (NIC), produsen Sari Roti, mencapai Rp 612 miliar. Kuartal I/201, kinerjanya juga kinclong: membukukan penjualan bersih Rp 172,37 miliar.

Sukses ini mungkin bisa menjadi model bagi pabrikan bakery lain di Indonesia yang jumlahnya ribuan: perusahaan roti biasa bila dikelola dan dikembangkan dengan baik berpotensi menjadi bisnis skala besar. Lantas, apa faktor suksesnya sementara banyak perusahaan sejenis seperti jalan di tempat?

Distribusi adalah salah satu kuncinya. Di sisi ini, NIC sejak awal memang sudah dirancang menjadi perusahaan besar. NIC tidak memiliki free standing outlet atau toko sendiri sebagaimana produsen roti home industry. Ia dirancang menjadi produsen roti yang mass production sehingga memilih menggunakan sistem keagenan dan menggandeng ritel modern. Karena itu, yang dilakukan adalah memperbanyak jumlah agen untuk menggarap pasar tradisional dan menambah penetrasi di pasar modern. Yusuf Hady, Direktur Operasional NIC, menuturkan saat ini 40% penjualan disumbang kanal keagenan sementara sisanya melalui penjualan di pasar modern. Dua lini itu yang menjadi pilar.

Terutama, model keagenan. Dibangun sejak 1997, para agen ini adalah pihak yang mengelola para penjaja roti keliling bersepeda. Saluran ini dikembangkan karena dengan model jemput bola, dengan mendatangi calon-calon konsumen di kompleks perumahan, produk dapat didistribusikan ke tangan konsumen lebih cepat.

Hingga saat ini NIC sudah punya 300 agen, tersebar di Jawa, Lampung dan Medan. Setiap agen memiliki teritorial (wilayah) sendiri. Di Jabodetabek, setidaknya ada 120 teritorial, di Jawa 300, dan Medan 50. Satu agen bisa memiliki lebih dari satu titik teritorial. Hingga akhir 2010, jumlah armada penjaja dengan sepeda ini sudah lebih dari 2.000 unit dan jumlah toko tradisional yang digarap lebih dari 7.500 warung.

Dalam mencari mitra untuk menjadi agen, NIC tidak memberlakukan persyaratan rumit baik buat perorangan maupun kelompok. “Siapa pun bisa menjadi agen. Yang sudah punya kerjaan atau pensiunan,” ungkap Yusuf yang diangkat menjadi Direktur Operasional NIC pertengahan tahun lalu. Cukup menyediakan tempat 30 m2 untuk gudang, gerobak, dan tempat tinggal penjaja roti keliling (karena kebanyakan dari luar kota). Selain tempat, pemilik agen wajib mengatur dan mencari penjaja roti keliling yang ingin dipekerjakan. Biasanya satu agen memiliki minimal lima penjaja roti keliling. Gerobak, seragam penjaja gerobak, hingga jingle Sari Roti menjadi tanggung jawab NIC. Kemitraan tersebut terikat dalam perjanjian (kontrak kerja sama).

Dalam meyakinkan calon agen, NIC mengundang calon agen berkunjung ke pabrik sekaligus memperkenalkan proses produksi dan distribusi. Agen yang resmi bermitra harus mendepositkan Rp 20 juta. Uang itu untuk unit gerobak (@ Rp 4 juta). Uang deposit ditaruh di bank, bunganya nanti akan diserahkan kembali ke agen. “Jadi, bukan uang mati. Deposit akan ditarik jika agen tidak bisa melakukan pembayaran,” kata Yusuf. Pembayaran dilakukan dua kali dalam seminggu. NIC akan berbagi komisi dengan agen, sementara sang agen berbagi komisi dengan penjaja roti keliling. Setiap tahun jumlah agen tumbuh 7%-10%. Pertambahan itu disokong mudahnya persyaratan bagi yang ingin menjadi mitra. “Kami jamin tak ribet. Mereka mengajukan, kami meriset. Jika sudah cocok lokasi dan persyaratannya, bisa langsung beroperasi,” kata Yusuf.

NIC tak menargetkan jumlah roti yang mesti dijual. Agen juga berhak memesan roti yang ingin disuplai setiap hari. Rata-rata setiap satu agen memesan 400-1.000 bungkus roti sehari atau Rp 150 juta sebulan. Jika ada roti tersisa, roti tersebut tidak bisa dikembalikan karena sistem kontraknya bersifat beli-putus.

Agar kanal keagenan berjalan baik, NIC membesut beberapa agenda bersama pemilik agen dan penjaja roti keliling, mulai dari diskusi hingga pelatihan tentang pelayanan. Agen dan penjaja keliling itu di-coach. Selain itu, NIC juga mengutus beberapa tenaga penyelia (supervisor) yang terjun langsung memantau serta memberi arahan ke agen dan penjaja keliling. Umumnya, pemilik agen juga memiliki seorang koordinator untuk mengawasi operasional.

Walau hanya bermodal gerobak, jangan pernah meremehkan omset agen. Mereka bisa meraup omset Rp 40-150 juta per bulan. Agen pun bisa memperoleh keuntungan Rp 10-15 juta per bulan. Meski demikian, Yusuf tak menampik memang ada beberapa agen yang tak berkembang, bahkan kolaps. Umumnya karena ketidakfokusan menjalankan bisnis. Setiap tahun tercatat 10% agen yang gulung tikar alias tutup usaha. “Kami sebisa mungkin menekan agar tidak ada lagi agen yang mandul,” kata Yusuf.

Untuk menjaring lebih banyak lagi mitra bisnis, tahun 2008 NIC membangun online registration di website. Masyarakat yang tertarik bisa langsung mengisi persyaratan yang tercantum. Jika sudah memenuhi kriteria, NIC akan meninjau langsung. Namun sayang, seperti dikatakan Yusuf, harus bersabar karena banyak calon agen yang antre.

Suwardi (50 tahun) termasuk mitra agen Sari Roti yang sukses hingga memiliki 15 agen di beberapa titik di Jabodetabek. Agennya tersebar antara lain di Depok (7), Cikarang (3), Bekasi (1), Jakarta Barat (2), dan wilayah Jakarta lainnya. Suwardi menjadi agen Sari Roti sejak 1998, setelah pensiun dari perusahaan kontraktor. “Dulu, karena ini usaha baru, saya sempat ragu, tapi informasi NIC sangat membantu saya memahami bisnis kemitraan,” ujarnya. Hanya selang sebulan proposal pengajuan kemitraan disetujui dan dia membayar uang deposit Rp 5 juta. Agen pertamanya terletak di daerah Depok Kota. Dari agen pertama, Suwardi mampu meraup untung cukup besar.

Selain melalui agen, penjualan ke pasar modern juga merupakan kunci sukses. Pekerjaan ini dikelola langsung tim NIC. Dalam kerja sama dengan pasar modern, sistem kerjanya sederhana: pihak produsen menawarkan produk kemudian dibuat perjanjian dalam bentuk trading term. NIC melakukan estimasi sendiri berapa jumlah tiap pengiriman produk ke pasar modern. Sari Roti bertanggung jawab bila ada retur (produk yang kedaluwarsa/expired). “Modern market membayar sesuai jumlah produk Sari Roti yang dibeli konsumen,” kata Yusuf. Saat ini, mitra pasar modern diperkirakan sudah lebih dari 750 supermarket dan hypermarket serta lebih dari 8.310 minimarket.

Distribusi hanya satu kunci sukses. Ditarik ke belakang, tepatnya dari sisi manajemen produksi, NIC juga melakukan hal yang berbeda dari pabrikan roti lain. Perusahaan ini fokus menciptakan roti yang berkualitas tinggi, aman, halal dan higienis. Produk Sari Roti sengaja dibuat dengan tekstur lembut. Kualitas tekstur ini diperoleh dari proses sponge and dough yang untuk bisa melakukan proses pengolahan seperti itu, NIC mendapatkan bantuan teknis dari Shikishima Baking Co., Ltd., Jepang. Karena itu, proses pengolahan roti memang lebih lama, butuh setidaknya 8 jam. Ini berbeda dengan proses pembuatan roti industri rumahan yang rata-rata hanya 3-4 jam dengan sistem straight dough.

Pabrik-pabrik NIC kini memproduksi berbagai Sari Roti dalam varian rasa: cokelat, nanas, stroberi, dan masih banyak lagi. Total varian saat ini sebanyak 25 rasa. Sari Roti dijual Rp 3.500-11.000 per bungkus (roti sobek). Beda rasa, umumnya beda harga, dan sejauh ini roti rasa cokelat menjadi andalan.

Sudah tentu, keberhasilan memiliki banyak pelanggan bukan hanya karena kualitas rasa dan tekstur roti. NIC juga memiliki kekuatan dalam supply chain yang membuat sistem distribusi bisa sampai langsung ke tangan konsumen secara cepat dan efisien. Manajemen pasokan produk akhir ke konsumen juga ditata agar produk tetap segar. Pasokan ke pasar modern, misalnya, dikelola dengan teliti. Roti yangg tidak laku (akan kedaluwarsa) segera ditarik, kemudian dikumpulkan di gudang khusus, lalu dicacah, dan dijual untuk kebutuhan makanan ternak, seperti ikan dan bebek.

Hal itu juga diakui Suwardi. Menurutnya, soal pasokan, manajemen NIC sangat tegas. Dia menceritakan, satu agen menyiapkan stok 200 bungkus roti tawar dan 600 bungkus roti manis. Beberapa agen bisa memasok lebih dari itu bila pasarnya besar. Biasanya dalam sehari, 75% roti yang dijajakan terjual habis. Sisanya, 25%, dijajakan kembali di hari berikutnya dan Suwardi tidak memesan penuh (100%) di hari kedua karena sudah ada stok dari sisa pada hari sebelumnya. “Roti yang expired langsung kami pisahkan dan jual untuk pakan ternak ke pihak lain,” katanya.

Yang jelas, agar kelebihan pasokan bisa terhindari, NIC melakukan estimasi (sales plan) di setiap toko modern. Selain itu, juga mempunyai tim penjual yang melakukan pengontrolan serta analisis kebutuhan setiap toko. “Kalau laku, ya roti dikirim lebih banyak. Toko kurang ramai, dikirim lebih sedikit,” kata Yusuf.

Dengan alasan kelancaran pasokan dan kesegaran produk pula, ketika mulai menggarap pasar baru di sebuah kota yang jauh dari Jabotabek, NIC juga lebih dulu membangun pabrik. Harapannya, produk bisa diterima konsumen dalam keadaan segar. Contohnya, ketika tahun 2005 membuka pasar Surabaya dan kota-kota sekitarnya, dibangun pabrik di Pasuruan. Demikian juga saat menggarap Jawa Tengah, didirikan pabrik di Semarang. Pabrik di Medan pun dibangun untuk menggarap pasar Sumatera Utara. NIC juga berencana membangun pabrik di Makassar untuk melayani kawasan Indonesia Timur. Satu pabrik biasanya memiliki kapasitas produksi 60 ribu bungkus roti tawar dan 150 ribu bungkus roti manis per hari. Kini jumlah pabrik yang dimiliki ada lima: di Cikarang (2), Pasuruan, Semarang dan Medan. Jumlah pabrik terus akan ditambah seiring dengan perluasan pasar.

Tentu saja, pengadaan bahan baku juga menjadi hal yang tak bisa dilupakan. Maklum, selama ini, dari praktik bisnis NIC, kontributor terbesar untuk cost of goods memang dari bahan baku dan bahan kemasan yang besarnya mencapai 76% dari total cost of good sold sehingga harus dibuat seefisien mungkin dan memungkinkan keamaman pasokan. Untuk menjaga pasokan, NIC menjalin hubungan erat tidak hanya dengan PT Bogasari Flour Mills, tetapi juga pabrik-pabrik terigu lokal lain.

Yang menarik, NIC pun mempersenjatai dirinya dengan teknologi informasi, menggunakan ERP dari SAP. Modul yang sudah dijalankan meliputi bidang penjualan dan distribusi, manajemen bahan, keuangan, serta perencanaan produksi dan pengontrolan. Aplikasi ini mengintegrasikan informasi dan data pembelian bahan baku hingga produk terjual di tangan konsumen (distribusi). Juga, mengintegrasikan informasi dan data di antara pabrik NIC. Bahkan, dengan sistem TI modern, NIC terkoneksi dengan ritel modern yang mempermudah tim penjualan memantau pasokan dan tingkat penjualan.

Handito Joewono, Chief Strategy Consultant Arrbey Consulting dan Chairman Branding Indonesia, memandang sukses NIC tak lepas dari kekuatan jaringan yang dibentuk cukup sistemik dengan melibatkan SDM berbasis teknologi sehingga bisa mengontrol aktivitas distribusi. Keputusan menjalankan sistem keagenan dengan menjajakan roti ke rumah-rumah juga dirasa tepat. Untuk itu, NIC diharapkan mampu memperlakukan agen bukan hanya sebagai jaringan distribusi, tetapi sebagai mitra kerja sama yang saling menguntungkan dan membutuhkan satu sama lain. “Artinya, NIC harus memberdayakan agen untuk pengembangan bisnis dan produk. Dari para agenlah, kondisi konkret pasar dan keinginan konsumen bisa didapatkan,” kata Handito. “Karena itu, perlu juga NIC membangun komunitas besar di antara para agen dan produsen.”

Dia mewanti-wanti, meski sudah memiliki pasar besar, bukan berarti NIC bisa berleha-leha. Menjamurnya home industry bisa menjadi persoalan. Bukan tidak mungkin mereka menjadi kuda hitam. Untuk itu, dia menyarankan NIC tak hanya berkonsentrasi pada pemasaran, tetapi juga menata strategi bisnis, misalnya menciptakan lini bisnis baru. “Inovasi mutlak diperlukan. Tapi yang terpenting, menata strategi bisnis dan melihat peta kompetisi agar perusahaan tak jalan di tempat atau berada di comfort zone,” demikian pesan Handito.

Manajemen NIC sendiri tampaknya menyadari potensi persaingan yang muncul baik dari produsen roti massal maupun kalangan butik roti home industry, bahkan para peritel besar yang sekarang mengeluarkan merek roti sendiri. Sebab itu, upaya mengedukasi konsumen dan menguatkan awareness produk juga terus ditingkatkan. Kegiatan kunjungan ke pabrik pun makin sering dilakukan dengan mengundang anak-anak atau mitra agen dan calon agen. Sekitar 60% pengunjung pabrik adalah anak TK dan siswa SD yang memang menjadi target pasar.

Kesungguhan mengembangan pasar itu tentu saja tak lepas dari sejarah awal ketika NIC sempat sulit memenetrasi pasar. Saat itu, nama Sari Roti belum banyak dikenal orang, termasuk pebisnis ritel. NIC sempat terseok-seok dan menemui titik buntu saat merintis nama Sari Roti. Berkali-kali Sari Roti ditolak beberapa pasar modern Jakarta. Banyak toko yang mempertanyakan identitas dan kualitas Sari Roti. “Kami sempat ditolak di toko dan supermarket modern. Perjuangan kami tak mudah untuk membangun kepercayaan pihak ritel,” ungkap Yusuf.

Masa pahit itu pastinya telah berlalu. Sebagai pemimpin pasar, yang diperlukan NIC adalah disiplin pada kunci sukses di atas. Kunci yang telah mengantarkan NIC dengan Sari Rotinya menjelma menjadi perusahaan besar di bidang roti.(*)

Reportase: Ario Fajar

Riset: Sarah Ratna


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved