Management Strategy

Krisis Masih Jauh, Ini 3 Langkah Selamatkan RI

Krisis Masih Jauh, Ini 3 Langkah Selamatkan RI

Nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dolar AS. Banyak yang bilang Indonesia di ambang krisis 1998. Namun, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM, A. Tony Prasetiantono yakin Indonesia belum akan terperosok ke lubang krisis yang traumatik itu.

Menurut dia, situasinya kini telah jauh berbeda. Pada 1998, rupiah memang mencapai Rp15.000 per US$, bahkan pernah menyentuh Rp17.000 per US$ selama dua hari pada Januari 1998. Kurs sekarang yang nyaris Rp14.000 per US$ memang sudah hampir mendekati level tersebut. Namun kondisi fundamentalnya lain.

Pada 1998, semua bank praktis insolvent dan bangkrut. Hampir semua bank membukukan kerugian besar yang memakan modal (equity), hingga modalnya negatif. Hal ini disebabkan oleh kombinasi antara tingginya kredit bermasalah (NPL) dan negative spread (suku bunga deposito 60-70% vs suku bunga kredit cuma 24%).

Saat ini kondisinya berbeda. Bank-bank memang kinerjanya menurun, labanya stagnan atau turun, tapi masih ada beberapa bank yang labanya bisa naik. Dari sisi permodalan, semuanya masih kuat dengan CAR rata-rata 20%, dibandingkan CAR negatif pada 1998.

Pengamat Perbankan A Tony Prasetiantono

Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM, A. Tony Prasetiantono

Kredit macet memang beranjak naik, namun masih di level 3%. Pertumbuhan kredit memang melambat, namun tetap ada pergerakan. Bank-bank juga sudah melakukan stress test, di mana pada umumnya masih mampu menghadapi kurs rupiah Rp15.000 per dolar AS. Apa yang harus dilakukan sekarang?

“Pertama, Bank Indonesia (BI) kian memperketat penggunaan US$. Sebelumnya, setiap pembelian valuta asing hingga US$100.000 harus disertai bukti transaksi yang memadai (underlying documents), kini diperketat menjadi US$25.000,” kata dia.

Dia menjelaskan, banyak orang yang salah interpretasi, bahwa BI membatasi transaksi valas. Bukan begitu. Transaksi pembelian valas tetap diizinkan, namun harus disertai bukti bahwa itu benar-benar perlu dilakukan, bukan cuma orang yang berspekulasi.

Kedua, pemerintah perlu mempertajam prioritas belanja yang menggunakan valas, agar cadangan devisa yang sudah tertekan menjadi US$107 miliar dapat dihemat. Proyek-proyek pemerintah yang haus devisa terpaksa harus dikaji ulang untuk sementara, dijadwalkan kembali.

Ketiga, Bank Indonesia belum perlu menaikkan BI rate. Jika melihat urgensi rupiah yang terus tertekan, BI rate memang harus naik. Namun bank akan semakin sulit menyalurkan kredit. Tanpa kenaikan suku bunga pun ekspansi kredit cenderung turun. Industri perbankan perlu menjaga momentum agar mampu memacu pertumbuhan ekonomi sebesar 5% pada tahun ini.

“Saya tetap percaya masa-masa sulit ini dapat kita lalui. Syaratnya, para pelaku ekonomi di pasar finansial dan modal jangan panik secara berlebihan. Kepanikan tidak memberi manfaat apa pun, selain menyebabkan perekonomian kian terbenam,” kata dia.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved