Management Strategy

Nilai Ekspor Produk Industri 2015 Turun 11,83 %

Nilai Ekspor Produk Industri 2015 Turun 11,83 %

Nilai ekspor produk industri Indonesia pada kurun waktu Januari – Mei 2015 mengalami penurunan 11,83 % jika dibandingkan dengan tahun 2014 pada kurun waktu yang sama. Pada Janurai – Mei 2014 nilai ekspor ( migas dan non-migas) mencapai US$ 73,4 miliar, sedangkan pada kurun waktu yang sama tahun 2015 hanya mencapai US$ 64,72 miliar.

ika dilihat lebih detail, industri migas pada Januari – Mei 2014 menyumbang nilai ekspor sbesar US$ 12,89 miliar sedangkan pada kurun waktu yang sama tahun 2015 hanya mencapai US$ 8,53 miliar atau turun sebesar 33,82 %. Demikian halnya dengan industri non-migas, pada kurun waktu Januari – Mei 2014 nilai ekspor mencapai US$ 60,51 miliar, sedangkan pada 2015 hanya mencapi US$ 56,19 miliar atau turun 7,13 %.

Seminar CORE Review Industri 2015 IMG20150728131635

Data – data tersebut disampaikan oleh Prof. Dr Ina Primiana, Research Associate CORE Indonesia bidang industri. “Pertumbuhan industri nasional menghadapi masa sulit, terlihat dari penurunan kinerja dan pesimistis dunia usaha secara terus menerus,” ungkap Ina. Menurutnya, penurunan kinerja industri semata-mata tidak disebabkan karena kondisi ekonomi global tetapi lebih karena persoalan dalam negeri yang menciptakan high cost economy seperti logistik, energi, bahan baku dan infrastruktur.

Salah satu contohnya adalah tarif THC (terminal handling charge) di pelabuhan di Indonesia tergolong mahal jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga. Di Indonesia, tarif THC mencapai US$ 95/20” dan US$ 145/40”, sedangkan di Malaysia hanya US$ 76/20” dan US$ 113/40”, Vietnam US$ 46/20” dan US$ 69/40”, dan Filipina hanya senilai US$ 82/20” dan US$ 133/40”. Selain itu moda transportasi yaitu angkutan darat, laut, udara di Indonesia, tidak terorganisir mata rantainya, sehingga untuk kelancaran arus barang, baik untuk pendistribusian ekspor maupun impor menjadi tidak efisien sehingga tarifnya menjadi mahal. Demikian juga halnya dengan supply chains.

Menurut Ina, hal-hal yang demikian menurunkan performa kompetisi industri Indonesia dibandingkan dengan sesama negara ASEAN lainnya. Di tingkat dunia, Singapura berada di rangking ke-7 untuk Copetitiveness Industry Performance (CIP), Malaysia ada di peringkat ke-24, Thailand peringkat ke 26, sedangkan Indonesia ada di peringkat ke-40.

“Belum ada tindakan nyata yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki kinerja industri, karena kebijakan antar kementerian yang tidak sinergi, kontra produktif dan membingungkan industri, “ jelas Ina. Menurutnya, tidak dimilikinya perencanaan bersama untuk Industri Nasional, hanya merupakan tugas Kementerian Perindustrian, maka sulit untuk mengharapkan indsutri akan membaik kinerjanya dalam waktu dekat. Memajukan industri perlu melibatkan setidaknya 10 kementerian dan lembaga baik pusat maupun daerah.

Pada triwulan I 2015, pertumbuhan tidak mencapai 4 %, revisi target pertumbuhan menjadi 6,1 %, damapaknya penurunan kapasitas produksi, penurunan jam kerja dan penurunan pendapatan yang bila dibiarkan dapat membuat lebih bayak industri kolaps dan menambah pengangguran. Ina merekomendasikan beberapa langkah solusi bagi pemerintah.

Pertama, pemerintah perlu membuat peta industri dari hulu-hilir, untuk melihat peluang penggunaan bahan baku/barang setengah jadi atau supporting sebagai pemasok industri hilir. Kedua, link antar industri (swasta dan BUMN) agar saling mendukung. Ketiga, pemerintah harus memperjelas dan detail untuk kebijakan larangan impor dan ekspor. Dilarang empor selama industri lokal mampu memproduksi dan dilarang ekspor bila industri lokal belum terpenuhi. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved