Management Strategy

Krisis Ekologi dan Sosial di Pulau Jawa Perlu Ditangani Segera

Forum Pengajar, peneliti dan pemerhati agraria, lingkungan dan kebudayaan saat berdiskusi bersama awak media di Cikini, Jakarta, (foto: syukron ali/swa).

Forum Pengajar, peneliti dan pemerhati agraria, lingkungan dan kebudayaan saat berdiskusi bersama awak media di Cikini, Jakarta, (foto: syukron ali/swa).

Pulau Jawa yang menjadi pusat ekonomi negara Indonesia sekarang mengalami krisis ekologi dan sosial yang perlu segera ditangani. Menurut Prof. Hariadi Kartodiharjo, dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), semua provinsi di Pulau Jawa mempunyai indeks rawan bencana banjir, longsor dan kekeringan yang tinggi.

Begitu juga dengan kondisi hutannya yang saat ini berada dalam titik kritis, harus segera mendapat perhatian yang serius. Cek saja, dari seluruh kawasan hutan di Indonesi, Pulau Jawa hanya memiliki hutan seluas 3,38%, sedangkan 85,37% nya dikuasai oleh Perum Perhutani.

“Padahal di tahun 2000, luas tutupan hutan di Pulau Jawa masih 2,2 juta hektar. Tahun 2009, merosot sangat tinggi hanya menyisakan 800 ribu hektar. Total luas tutupan hutan di kawasan hutan produksi di Pulau Jawa hanya 23,1%,” terang Hariadi di depan awak media di Jakarta (29/12/2015).

Akibatnya, 123 titik Daerah Aliran Sungai (DAS) dan sub DAS di Pulau Jawa terganggu akibat degradasi dan deforestasi hutan. Jika kondisi tersebut terus dibiarkan. Maka, sekitar 10,7 juta hektar DAS dan sub DAS di Pulau Jawa akan makin terancam.

Selain Hariadi, ada ratusan akademisi, tokoh agama dan aktivis yang tergabung dalam forum pengajar, peneliti dan pemerhati agraria, lingkungan dan kebudayaan.

Lewat forum tersebut, mereka berharap kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo untuk mengambil langkah strategis dan implementatif yang tepat untuk menyelamatkan lingkungan dan sumber daya alam Indonesia, serta mencegah berlanjutnya krisis sosial dan ekologis.

Koordinator Forum, Soeryo Adiwibowo, menjelaskan bahwa proyek-proyek pembangunan industri semen, waduk, pembangkit listrik tenaga uap berbasis batu bara dan penambangan mineral lain. Belum memberikan keadilan lingkungan dan sosial, khususnya masyarakat terdampak.

Sementara itu, Myrna Safitri dari Universitas Pancasila menyambung bahwa tukar menukar kawasan hutann bukanlah solusi yang tepat. Menurutnya, praktek tukar menukar itu yang diduga menjadi pemicu konflik agraria. Sebab, belum ada clean and clear dari lahan pengganti yang disediakan.

Dalam catatannya, konflik agraria masih didominasi di area Perum Perhutani. Dari 72 konflik terbuka kehutanan yang terjadi di Indonesia, 41 konflik hutan terjadi di Pulau Jawa. Akibatnya, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir terdapat 108 warga desa hutan mengalami kekerasan dan diskriminasi.

“Kami berharap Presiden dapat menugaskan Menteri BUMN untuk mengevaluasi praktik penanganan konflik yang dilakukan oleh Perum Perhutani. Begitu juga kepada Menko Perekonomian dan LHK agar segera memeriksa kelayakan lingkungan seluruh industri semen, penambangan emas, pasarnbesi, waduk dan pembangkit listik tenaga uap di Pulau Jawa,”jelas Sri Palupi, peneliti dari Institute for Ecosos Rights. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved