Management Strategy

Memimpin di Negeri Orang

Memimpin di Negeri Orang

Ketika menerima tawaran dari VP HR Asia Tenggara untuk megisi lowongan sementara sebagai Direktur Sumber Daya Manusia untuk Unilever Australia dan Selandia Baru, Willy Saelan tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Walaupunp ernah bekerja di kantor pusat Unilever di Inggris dan Singapura, kedua jabatan tersebut, menurutnya, tidak mempunyai tantangan sebesar sebagai Direktur SDM Unilever Australia & Selandia Baru. Menimba pengalaman sebagai anggota jajaran direksi (menggantikan Direktur SDM yang cuti melahirkan) dan menjadi orang nomor satub idang SDM di negara maju dengan semua permasalahannya, menurut Willy, menjadi tantangan dan pembelajaran yang sangat berharga baginya.

Willy Saelan. Direktur Unilever Australia dan Selandia Baru

Willy Saelan. Direktur Unilever Australia dan Selandia Baru

Berbicara kepada Herning Banirestu dari Majalah SWA melalui fasilitas Skype, Willy menceritakan tidak ada waktu yang lebih “seru” untuk mulai menempati posisi tersebut, selain akhir tahun 2014 ketika ia memulai tugasnya di kantor Unilever ANZ (Australia & New Zealand) di kota Sydney.

Secara tradisional, periode antara bulan Desember –Maret selalu merupakan periode yang paling sibuk bagi departemen SDM Unilever. “Pasalnya, saat itu merupakan periode di mana setiap negara harus mempresentasikan rencana tahunan SDM kepadaPresiden Unilever Asia Tenggara” ujarnya.

Tantangan besar yang dihadapi tim HR ANZ yang dipimpinnya adalah menciptakan organisasi yang lebih fleksibel, lincah dan lebih produktif, membuat rencana pengembangan talenta dan suksesi kepemimpinan (hanya ada dua orang Australia asli di jajaran Direksi), memastikan fokus pengembangan keahlian yang tepat dan relevan serta memastikan terciptanya budaya perusahaan yang positif.

“Saya mengira bahwa bekerja di negara maju seperti Australia, semua tatanan akan lebih stabil, tetapi justru di sini saya mengerti betul apa arti sebenarnya dari istilah popular yang menggambarkan kondisi geo-politik dan ekonomi negara berkembang, yaitu VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, Ambiguous). Menurut Willy, ketidakpastian yang terutama berasal dari perekonomian lokal yang cenderung menurun dan menurunnya nilai tukar mata uang terhadap dolar AS membawa dampak yang signifikan terhadap tingkat kompetitif perusahaan dan kemampuan organisasi beserta seluruh karyawannya untuk beradaptasi.

Sebagaimana di Indonesia, tantangan SDM di Australia juga banyak berkisar seputar manajemen talenta, memastikan investasi skill dan kapabiliti yang tepat, penciptaan budaya yang kondusif, serta mendorong keterlibatan komitmen karyawan (engagement). Tetapi ada beberapa praktek SDM yang di Indonesia hanya dibahas sebatas wacana para praktisi SDM di Australia menjadi praktek yang cukup luas. Di antara praktek– praktek yang menarik itu, antara lain, agile working (bekerja tanpa batas geografi/waktu), menjadi pemimpin yang inklusif, bekerja dengan data yang massif (big data), menciptakan pemimpin sebagai CEO s ejati (Chief Energy Officer), manajemen daya kerja, berdasarkan hitungan FTE (Full Time Equivalent).

Agile Working adalah suatu kondisi yang mendorong karyawan untuk dapat bekerja di mana saj a dan kapan saja. Situasi ini tercapai karena perusahaan memberikan keleluasaan kepada satu tim untuk mengatur pola kerja yang unik yang disetujui bersama melalui kesepakatan anggota tim yang biasanya ditulis dalam manifesto tim. Misalnya, setiap anggota tim berkomitmen untuk bekerja satu atau dua hari di luar kantor dalam satu Minggu sambil tetap memastikan bahwa karyawan akan tetap dapat dihubungi melalui telepon atau fasilitas chatting internal perusahaan (Microsoft Lync). Dengan keleluasaan ini, karyawan dapat menyesuaikan pola kerja sesuai dengan kebutuhan pribadi tanpa harus mengorbankan kerjasama tim. Apalagi perusahaannya ini mendukung penyimpanan data berbasis cloud.

Kedua, mengenai terminologi pemimpin inklusif sering kita dengar, di Unilever Australia hal ini diterapkan dalam keseharian seorang pemimpin memimpin timnya dengan cara; a) mendorong dan menghargai perbedaan (diversity); b) menerapkan target keseimbangan antara karyawan laki-laki dan perempuan –saat ini 46% dari total karyawan adalah perempuan, tapi perusahaan masih belum puas karena sedikitnya perempuan di tingkat pemimpin senior; c) memperkuat suplai talenta yang beragam (diverse).

Data yang massif (big data) merupakan area lain yang sangat menarik, yaitu kapabilitas baru karyawan untuk dapat menarik kesimpulan (insight) dari data yang sangat besar. Di era digital, data menjadi sangat berlimpah, tapi hanya mereka yang dapat menarik kesimpulan (insight)-lah yang akan menang. Contoh pemakaian umum adalah analisis atas sifat konsumen di supermarket. Melalui analisis “big data”, perusahaan dapat membuat program promosi yang sangata kurat bagi konsumennya karena disesuaikan dengan demografi konsumen dan sifat belanja mereka selama ini.

Praktek SDM menarik lainnya adalah menciptakan pemimpin yang membawa energi bagi timnya, bukan pemimpin yang menyedot habis energi anak buahnya. Karena itu, Unilever Australia &Selandia Baru membuat program intervensi kepemimpinan yang mendorong upaya meningkatkan produktivitas karyawan dengan memastikan kebutuhan mental, fisik, spiritual karyawan terpenuhi, sehingga karyawan akan mempunyai energi yang terus menerus terbarukan, sehingga secara otomatis karyawan menjadi lebih produktif. Semua pemimpin harus menjadi chief energy officer (CEO), pemimpin yang memberi energi.

Praktek manajemen SDM menarik lain yang tak banyak ditemui di Indonesia adalah manajemen daya kerja. Prinsipnya, satu pekerjaan yang dilakukan oleh satu orang secara penuh waktu dihitung sebagai 100% FTE. Banyak karyawan (terutama karyawan wanita) yang hanya mau bekerja paruh waktu. Misalnya bekerja 3 hari dalam satu minggu, maka “headcount”-nya akan dihitung dan dibayar berdasarkan hitungan 60% FTE (3/5). Bila dibutuhkan, atasan karyawan tersebut dapat mempekerjakan karyawan lain yang akan bekerja 2 hari seminggu dengan hitungan 40% FTE. Dengan demikian satu pekerjaan dikerjakan oleh dua orang. Pengaturan ini memberikan fleksibilitas kepada karyawan untuk mengatur komitmen waktu. Bila dua orang pekerja paruh waktu itu bisa bekerja harmonis, maka perusahaan sebetulnya mempunyai kekuatan mental lebih dari satu orang.

Ditanya mengenai pengalamannya yang paling unik, Willy menuturkan, bahwa Australia sangat menghargai kesetaraan (dalam semua hal), termasuk usia. “Adalah melanggar hukum apabila perusahaan meminta data jenis kelamin, usia, suku atau agama saat melakukan rekrutmen,” tuturnya. Tidak heran ketika Willy mengunjungi sebuah pabrik, ia diperkenalkan dengan karyawan baru (operator mesin) wanita yang bergabung perusahaan di saat usianya sudah mencapai 56 tahun, sementara teman “satu angkatan”-nya masih berusia 19-21 tahun. “Hukum tenaga kerja Australia juga tidak mengatur usia pensiun (compulsory retirement),” ia menambahkan. Jadi, karyawan dapat bekerja terus sampai dia mengundurkan diri,


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved