Management Strategy

Peningkatan Cukai Rokok Bisa Tingkatkan Perekonomian Indonesia

Peningkatan Cukai Rokok Bisa Tingkatkan Perekonomian Indonesia

Pada November 2014 lalu, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Penimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (DJPK – Kemenkeu) telah merealisasikan penyetoran penerimaan pajak rokok ke Kas Umum Daerah (KUD) masing – masing provinsi. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.011/2014 tentang pemungutan dan penyetoran pajak rokok. Namun, besaran cukai yang ditetapkan dari industri rokok dinilai masih terlalu kecil, dan perlu ditingkatkan, dimana saat ini batas cukai rokok maksimal adalah 57%.

Ki-Ka_Hasbullah Thabrany_Farrukh Q_Irwan Julianto (moderator)_DR Widyastuti Soerojo

Menanggapi hal tersebut, Irwan Julianto, mantan jurnalis Kompas yang kini aktif di komunitas KBR, menggarisbawahi tiga aspek positif yang dihasilkan dari realisasi menaikkan cukai terhadap rokok. Pertama, dengan peningkatan cukai rokok, maka bisa menggenjot pendapatan negara. Alasan ini diperkuat oleh pendapat Abdillah Ahsan, Wakil Kepala I Lembaga Demografi UI bahwa apabila UU Cukai dinaikkan batasan atasnya dari 57% menjadi 80% maka bisa memberikan efek pendapatan dari sektor ini secara lebih terasa. Begitu juga dengan pajak pertambahan nilai rokok yang perlu ditingkatkan dari 8.4% menjadi 10%.

“Saat ini dengan besaran tarif cukai yang sangat rendah industri hanya membutuhkan jumlah yang sangat kecil untuk memproduksi rokoknya. Sebut saja untuk SKM sebesar Rp20 – Rp60 per batang, SKT Rp0 – Rp15 per batang, serta SPM Rp25 – Rp45 per batang,” rinci Abdillah.

Sementara itu, menurut Hasbullah Thabrany, dari Tobacco Control Unit, School of Public Health, Universitas Indonesia, memberikan acuan negara yang bisa dijadikan benchmark, yakni Thailand. “Di Thailand, cukainya sebesar 57%, dan pajaknya 69%, dan ini merupakan contoh negara dengan pajak tertinggi di dunia untuk rokok,” ujarnya.

Aspek kedua adalah menekan beban kesehatan negara. Seperti yang diungkapkan Irwan, bahwa jika harga rokok naik maka konsumsi rokok akan berkurang sehingga beban kesehatan negara yang perlu dipersiapkan untuk menanggulangi resiko penyakit yang diakibatkan oleh aktivitas merokok juga berkurang. “Beban rawat inap yang bisa kita saving dari akibat rokok itu sendiri bisa mencapai Rp5,1 triliun,” kata Widyastuti Soerodjo, Anggota Badan Khusus Pengendalian Tembakau PP IAKMI.

Aspek ketiga, dengan imbas kenaikan pada harga rokok yang terjadi hingga level eceran, maka, perokok yang kebanyakan adalah kalangan menengah ke bawah akan berfikir ulang untuk merokok, bahkan hingga sampai pada titik berhenti merokok. Berdasarkan pengamatan Widyastuti, sebanyak 63% dari perokok addict Indonesia berasal dari kalangan berpenghasilan Rp 2 juta ke bawah. “Sehingga mereka akan memilih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya daripada menghabiskan penghasilannya untuk merokok,” jelasnya.

Penerapan pajak yang tinggi, jika direalisasikan, bukan berarti lepas dari persoalan – persoalan yang ada, melainkan juga memungkinkan menghilangkan sebagian lapangan pekerjaan dikarenakan melejitnya cost of production industri rokok. Sebut saja, pedagang eceran, buruh pabrik, bahkan hingga ke level industri kreatif seperti periklanan, promotor event, serta sponsorship. Oleh karena itu, berdasarkan hasil diskusi dari Seminar Cukai Rokok yang diselenggarakan KBR, maka perlu adanya integrasi dari berbagai instansi baik publik maupun private untuk mengantisipasi kemungkinan tersebut. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved