Book Review Strategy

Progress Does Matter

Oleh Admin
Progress Does Matter

Judul : The Progress Principle Penulis : Teresa Amabile dan Steven Kramer Penerbit : Harvard Business Review Press, 2011 Tebal : 272 halaman

Hampir semua pengamat bisnis mengagumi kinerja dan status yang diraih oleh sang raksasa Internet dunia, Google. Di tahun 2008 misalnya, selain terpilih dalam lima besar perusahaan yang paling dikagumi versi Majalah Fortune, Google juga termasuk lima besar perusahaan tempat bekerja terbaik. Para pengamat bisnis itu menduga bahwa fasilitas wah yang diberikan Google-lah yang membuat karyawannya memiliki performa yang luar biasa.

Dugaan tersebut memang sangat beralasan. Bayangkan, kantor Google benar-benar bagaikan sebuah surga untuk bekerja. Koki kelas dunia yang selalu sigap menyediakan makanan tiga kali sehari, bus karyawan yang memiliki fasilitas Internet nirkabel, arena permainan yang tersedia pada jam kerja, hingga sarana gym lengkap yang bebas digunakan kapan saja.

Namun, kedua penulis buku ini – Teresa Amabile, profesor di Harvard Business School, dan psikolog Steven Kramer – menduga bahwa ada hal lain lebih mendasar yang membuat seseorang dapat melakukan kinerja yang superior.

Riset yang dilakukan kedua penulis ini menunjukkan, bukanlah fasilitas mewah yang membawa performa kerja superior. Rahasianya ternyata terletak pada cara membangun atmosfer kerja yang memiliki inner work lives, yaitu suasana kerja yang membangun emosi positif, motivasi kuat, serta persepsi yang baik tentang organisasi, pekerjaan, dan rekan sekerja. Kinerja superior adalah tentang bagaimana menghasilkan kinerja yang bermakna, bukan terletak pada fasilitas kerja semata.

Disebut sebagai inner work lives, karena merupakan aktivitas yang ada di level psikologis setiap manusia. Aktivitas ini melibatkan perasaan, pikiran, persepsi, ataupun emosi manusia yang ditimbulkan oleh rutinitas pekerjaan sehari-hari. Ini berbeda dari observable work lives yang merupakan aktivitas kerja dapat diamati secara eksplisit, seperti rapat, presentasi, ataupun perbincangan antarrekan sekerja (halaman 22).

Buku ini ditulis berdasarkan riset inner work lives yang menganalisis terhadap 12 ribu karyawan di berbagai organisasi di seluruh dunia. Riset tersebut menyimpulkan bahwa cara terbaik memotivasi orang, sehingga memunculkan inner work lives adalah dengan mengapresiasi progres (kemajuan kerja) yang telah dilakukan. Bahkan progres yang kecil (small win) pun akan memberikan motivasi yang luar biasa jika pemimpin mampu mengapresiasinya.

Penulis menunjukkan bagaimana progres dalam pekerjaan berperan penting dalam meningkatkan produktivitas kerja yang kreatif. Apresiasi terhadap progres pekerjaan akan membuat karyawan bekerja lebih produktif, lebih kreatif, lebih bahagia, dan lebih terikat secara emosional dengan organisasi tempatnya bekerja.

Sayangnya, banyak manajer yang tidak menyadari pentingnya progres dalam membangun atmosfer kerja yang harmonis. Banyak kesalahan dalam mengelola karyawan terjadi karena manajer tidak mengerti peran inner work lives. Misalnya, dikisahkan di tahun 1993, pramugari American Airlines berdemo besar-besaran memprotes kebijakan perusahaan. Penyebabnya bukan gaji yang rendah, melainkan perlakuan perusahaan yang tidak menghormati para pramugari itu. Pramugari diperlakukan semata-mata sebagai objek, sebagai benda, bukan sebagai manusia yang berpikir dan memiliki perasaan. Situasi ternyata memburuk ketika empat tahun kemudian giliran para pilot yang berunjuk rasa untuk masalah yang sama. Berita terakhir, pada 29 November 2011 American Airlines menyatakan dirinya bangkrut. Hal yang tampak sepele ternyata dapat berkembang menjadi bencana besar yang serius ketika tidak dikelola dengan baik. Di sini kita juga melihat bahwa penghargaan sebagai manusia ternyata lebih penting dari sekadar gaji dan kompensasi lainnya.

Selain apresiasi terhadap progres, ada dua faktor lain yang berkontribusi signifikan dalam membangun inner work lives (bab 6 dan 7). Faktor pertama adalah katalis. Seperti namanya, ini adalah faktor yang dapat secara langsung mempercepat pelaksanaan pekerjaan. Katalis ini di antaranya adalah tujuan yang jelas, pemberian kebebasan dalam bekerja, tersedianya sumber daya, hingga keterbukaan terhadap ide baru. Faktor kedua disebut nourisher, yakni berupa aktivitas interpersonal yang meningkatkan performa pekerja, misalnya saling memberi semangat, mengutamakan kebersamaan, dan pentingnya saling menghargai antaranggota organisasi.

Satu hal yang harus diwaspadai oleh para manajer adalah bahayanya sebuah setback, kegagalan atau kemunduran dalam pekerjaan. Kegagalan akan menyebabkan atmosfer inner work lives negatif. Ini adalah emosi negatif yang kerap muncul dalam tim kerja, seperti kemarahan, frustrasi, hingga hilangnya rasa percaya diri. Bahkan, inner work lives yang negatif memiliki efek destruktif jauh lebih besar dibanding efek konstruktif yang ditimbulkan oleh inner work lives positif (halaman 92).

Kolaborasi kedua penulis yang juga merupakan pasangan suami istri ini membuat buku ini sangat layak dibaca. Latar belakang yang berbeda dari keduanya membuat buku ini memadukan riset di bidang psikologi dengan ilmu bisnis untuk memunculkan kinerja superior dari seorang manusia. Menariknya, kedua penulis juga menyajikan berbagai tip kecil yang dapat digunakan untuk membangkitkan inner work lives di tempat kerja. Misalnya, manajer sebaiknya selalu memperhatikan kondisi kesehatan bawahannya karena kesehatan berpengaruh besar terhadap kreativitas dan produktivitas bawahan. Tip lain adalah kreativitas justru muncul pada tekanan kerja yang rendah. Tidak ada gunanya bagi manajer memberikan tekanan kerja yang berlebihan kepada bawahannya, karena hal itu justru akan mematikan kreativitas.

Di bagian akhir, kedua penulis mengkritik pandangan konvensional bahwa manajemen adalah sekadar mengelola orang. Bahkan Jim Collins sang management guru juga selalu mengatakan bahwa ilmu manajemen adalah to get the right people on the bus. Riset yang dilakukan oleh kedua penulis membuktikan bahwa ada hal lebih mendasar yang kerap dilupakan dalam ilmu manajemen, yaitu mengelola progres.

Yudo Anggoro

Peresensi adalah staf pengajar SBM ITB, kandidat doktor Kebijakan Publik di University of North Carolina, Charlotte, Amerika Serikat.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved