Management Editor's Choice Strategy

Transformasi Harus Dimulai dari Pucuk Pimpinan

Transformasi Harus Dimulai dari Pucuk Pimpinan

Neneng Goenadi, Country Managing Director PT Accenture, menekankan, dalam transformasi bisnis itu kuncinya pada pimpinan tertingginya. Dia melihat transformasi dalam bisnisnya sangat dibutuhkan untuk perusahaannya.

“Kala CEO atau leader-nya, sudah mencanangkan dan diskusi dengan board-nya, menegaskan yak, bahwa tidak mungkin berlanjut jika tidak transformasi. Itu dulu yang penting,” tuturnya kepada Herning Banirestu.

NenengAccenture

Berdasarkan pengalamannya, kala para leader melihat transformasi sebagai kebutuhan penting, prosesnya akan lebih mudah. Neneng memandang hampir tidak ada leader yang tidak bisa melihat kebutuhan itu (pentingnya transformasi).Lingkungan memaksa kita, pelaku bisnis untuk melakukan itu.

Pebisnis di Indonesia, melihat pertumbuhan bisnis di Indonesia itu sangat substansial, apa yang mereka harus lakukan agar mereka bisa “riding” pada pertumbuhan itu. Karena itu adalah the right timing. Kalau itu semua sudah selesai, mereka baru berpikir mau transformasi, itu sudah terlambat.

“Kunci keberhasilan di lingkungan bisnis yang berubah cepat ini adalah bagaimana mereka bisa riding on this economic growth, untuk mendorong pertumbuhan perusahaan mereka juga,” imbuhnya.

Menurut Neneng, mungkin bisa saja bisnis tetap berjalan tanpa harus melakukan transformasi, tapi apakah mereka bisa meraih keuntungan yang maksimum? Di sisi lain, dengan pertumbuhan ekonomi, otomatis mereka juga ditekan karena banyaknya permintaan.

Urgency needs for transformation menurut Neneng, tidak semua pemimpin merasakan ini. Karena mereka merasa nyaman dengan kondisi sekarang. Mereka hanya mengikuti saja, dengan kondisi ekonomi yang sedang tumbuh saat ini, mereka pasti ikut tumbuh juga. Namun pertanyaannya? “Hingga kapan mereka bisa terus tumbuh? Apakah rata-rata pertumbuhannya sudah maksimal?” kata Neneng.

Neneng2

Dorongan perubahan atau transformaasi dalam bisnis, bisa saja didorong dari bawah. Namun ini ada kelemahan. Tergantung jenis perusahaannya, kalau perusahaannya tipe top down, bukan musyawarah untuk mufakat, berapa pun besar dorongan dari bawah untuk transformasi, itu tidak akan berhasil.

Neneng menekankan bagaimanapun dorongan transformasi haruslah dari pucuk pimpinan teratas. Tidak bisa tidak. Ini berdasarkan pengalaman Neneng sendiri, transformasi yang tidak ada dorongan kuat dari atas tidak mudah prosesnya.

Menurut Neneng, setelah pemimpin perusahaan merasa ada urgensi untuk transformasi, ia melihat lagi ke depan, apakah visi dan strategi bisnis mereka masih berlaku dalam lima tahun ke depan? Dengan kondisi ekonomi keuangan berubah begitu cepat, fluktuasi dan SDM juga. Apakah visi mereka akan lebih berani dan lebih besar. Untuk melakukan itu, lanjutnya, tata cara bagaimana mereka menjalankan bisnisnya apakah proses bisnis maupun model bisnisnya bisa mencapai itu.

Dengan visi yang berubah, artinya mereka pun harus menantang diri mereka, apakah akan tercapai target itu, jika mereka melakukan bisnis seperti biasa? “Biasanya sih tidak, apalagi dengan tantangan yang lebih besar, target pun lebih tinggi, itu dalam kondisi yang normal belum tentu bisa mencapai yang ditargetkan. Jadi mereka harus menantang diri lebih,” ujarnya.

Contoh jika A adalah one billion dollar company dalam tiga tahun ke depan mereka ingin meningkat tiga kali lipat. Apakah sumber dayanya mendukung? Ini menurut Neneng harus menjadi tantangan pertanyaan yang harus diketahui. Juga dalam dua tiga tahun ke depan, tantangan apa yang ingin dicapai untuk pertumbuhan bisnisnya. “Apakah dengan sumber daya yang ada, bisakah mereka mencapai tantangan itu?” tanya Neneng.

Pertanyaan-pertanyaan seperti apakah SDM ada, operating middle dari organisasinya untuk mendukung itu ada, apakah ada jalan yang lebih cepat untuk itu tercapai dan sebagainya.

“Semua holistik dilihatnya, mem-picture apa insight perusahaan, apa yang yang ingin dicapai, apa strateginya untuk mencapai itu, pada tahun pertama harus tahu apa yang harus berubah. Ada blue print-nya,” imbuhnya. Bisa saja, orang akan mengatakan tanpa blue print bisa mencapai itu, Neneng bilang, bisa saja. Tapi semua jadi berdasarkan keberuntungan saja.

Dalam setiap transformasi selalu painful, maka itu pentingnya komunikasi yang benar dan intens harus dilakukan. “Pemimpin harus menyampaikan ke second layer, lalu dari second layer ke third layer, kita harus mencapai level ini. Semua harus memiliki visi yang sama. Biasanya harus dibuat frame transformation yang benar-benar memonitor ini berjalan sesuai dengan yang digariskan,” jelasnya.

Semisal ada sepuluh inisiatif, ternyata tidak ada yang mengelola setiap tahapan apa yang harus berubah. Tidak ada deadline-nya. Ini bahaya, target akan meleset terus. Maka itu harus ada project management yang melihat itu sebagai champion-champion dalam transformasi. Ini harus dikampanyekan ke bawahan. Dan setiap milestone harus diberitahukan bahwa mereka sudah mencapai posisi mana dalam transformasi itu.

“Maka itulah dalam transformasi komunikasi sangatlah penting. Tidak harus ada orang khusus. Tapi ada PIC dalam tiap level-nya, siapa yang akan menjadi sponsor apa? Siapa harus ngomong apa, ke masa apa, kapan waktunya? Itu harus dibuat,” ujarnya.

Misalnya, manajer ke dua layer di bawahnya mungkin masih nyambung, tapi sudah masuk ke blue collar, itu beda bahasanya. Pesannya harus sampai. Pada akhirnya semua harus merasakan dan terlibat dalam transformasi yang dilakukan perusahaannya.

“Dalam transformasi selalu ada pertanyaan, why do I have to change? Makanya dalam setiap transformasi yang tersulit adalah di people. Itu human nature, karena orang akan bilang, I’m oke saja kok,” ujarnya.

Kalau semua komit, dan menyadari ini memang painful, tapi sadar yang akan tercapai jika ini berhasil semua akan merasakan keberhasilan yang akan dicapai, itu akan lebih mudah dijalankan. “Sebab dalam transformasi, akan ada kerja dobel, selain daily work, mereka juga harus melakukan langkah-langkah strategis dalam rangka transformasi itu,” ujarnya. Semua harus menyadari, hasilnya semua kembali pada mereka. Inilah sangat pentingnya komitmen tinggi pucuk pimpinan, komunikasi dan harus walk the talk dari semua pemimpin.

“Kala agenda transformasi tergeser oleh agenda bisnis, itu berarti sudah tidak ada komitmen untuk berubah,” tegasnya. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved