CEO Interview Editor's Choice

Neneng Goenadi, Wanita Pertama di Posisi Puncak Accenture Indonesia

Neneng Goenadi, Wanita Pertama di Posisi Puncak Accenture Indonesia

Ketika menyambangi kantornya, Neneng Goenadi masih rapat bersama koleganya. Beberapa menit kemudian, beliau yang siang itu mengenakan dress batik datang dan menyalami SWA Online, yang sudah menunggu di sebuah ruang meeting. Dia kemudian menjawab pertanyaan-pertanyaan kami dengan ramah dan terbuka. Setelah wawancara usai, dia mengizinkan kami untuk melihat ruang kerjanya.

Beberapa saat kemudian, setelah sesi foto beliau dengan fotografer SWA Online selesai, beliau malah mau mengumpulkan cukup banyak anak buah wanitanya yang sedang ada di kantor untuk berfoto bersama. Momen inilah yang memperlihatkan kekompakan para pegawai wanita di Accenture, yang ternyata jumlahnya tidak sedikit, yaitu ada 300 orang, dari keseluruhan pegawai yang berjumlah 700 orang. Bagaimana cara Accenture menjadi perusahaan yang nyaman bagi wanita untuk bekerja di dalamnya, berikut penuturan wanita yang sudah bekerja di Accenture sejak 23 tahun lalu itu.

Neneng-Accenture

Apakah Anda bergabung dengan perusahaan ini (Accenture) sejak entry level?

Saya masuk Accenture sejak lulus MBA. Sebenarnya kuliah S1 saya adalah Teknik Sipil, tapi tak pernah mengerjakan pekerjaan yang berhubungan dengan itu, terus langsung mengambil MBA jurusan finance. Saya merasa bahwa saya adalah tipe orang yang senang sesuatu yang dinamis, bukan statis, dan consulting itu dinamis. Itu yang menyebabkan (dulu) saya diterima bekerja di sini.

Di Accenture, saya selalu belajar sesuatu yang baru. Jadi sampai sekarang saya sudah bekerja di Accenture selama 23 tahun. Dulu saya masuk ketika Accenture masih bernama Arthur Andersen Consulting. Pada bulan Januari 2001, secara global, kita memisahkan diri dari Arthur Andersen menjadi Accenture. Accenture sendiri sejarahnya dimulai dari SGV Utomo pada 1968, kemudian bergabung dengan Arthur Andersen Consulting pada 1988.

Apa Anda tidak kaget bekerja di bidang yang tidak terlalu sesuai dengan background pendidikan Anda?

Bidangnya Accenture itu kan manajemen. Namanya dulu saya masuk dari fresh graduate, jadi saya tidak merasa kaget tuh masuk di bidang ini. Karena memang dari awal masuk kita sudah menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaan, karena belum tahu apa yang akan dihadapi. Tapi ketika kita masuk sini, menariknya karena sebagian besar pegawai baru yang diterima (waktu itu) seumuran. Jadi menyenangkan, tidak seperti di perusahaan lain yang mungkin gap-nya jauh antara yang senior dan yunior.

Bagaimana perjalanan karier Anda di Accenture sampai menjadi Country Manager Director (CMD) seperti sekarang?

Awalnya saya menjadi analis di sini, sama seperti yang lain juga ketika mulai bekerja di Accenture. Kemudian saya dipromosikan sebagai konsultan, lalu jadi manajer yang berfokus di strategi. Pada waktu saya punya bayi, saya merasa bahwa pekerjaan sebagai konsultan itu tidak bisa membuat saya fokus dengan anak, jadi saya sempat pindah jalur karier menjadi support finance (di back office). Waktu itu, saya mengepalai support finance di Asia. Kalau di finance itu jam kerjanya lebih manageable. Karena customer kita adalah internal customer, maka kadang-kadang kita juga bisa kerja dari rumah. Karena mereka itu juga customer regional, jadi apakah kita kerjanya dari kantor atau rumah, mereka juga tidak tahu kan, dan ini oke-oke saja, karena di Accenture bisa seperti itu. Sedangkan kalau di bidang consulting kan kita ketemu klien, jadi kalau klien bisanya di jam-jam tertentu, ya kita harus menyesuaikan itu.

Kemudian di 2002, ketika anak saya sudah berusia sekitar lima tahun, saya kembali lagi ke consulting, dan itulah the beauty of Accenture, yang mana kita bisa pindah-pindah dulu. Sebab mereka sangat ingin saya tetap stay dengan sikon yang berbeda, dan kemudian baru fokus lagi di consulting. Lalu di 2005, saya menjadi Managing Director (MD), dan di 2013 saya menjadi Country Manager. Memang saya CMD wanita pertama di Indonesia.

Ketika dulu menjadi MD, mulai 2005, fokus saya adalah mengepalai bidang industri resources, yang di dalamnya ada migas, utility, SDA, pertambangan, dan sebagainya. Lalu, sebagai CMD, tentu fokus saya ke semua industri, jadi saya ingin membantu semua industri. Kedua juga merepresentasikan Accenture di Indonesia secara keseluruhan. Jadi tugasnya antara MD dan CMD memang berbeda, yang sebelumnya lebih fokus, tapi sekarang lebih luas dan mengepalai semua.

NenengAccenture(utama)

Bagaimana rasanya menjadi CMD wanita pertama di Indonesia?

Itu adalah sesuatu yang patut dibanggakan sebagai wanita, yang mana saya bisa mewakili wanita, baik di internal perusahaan ini maupun di Indonesia secara umum. Menurut saya, jumlah wanita yang menjadi CEO atau CMD di Indonesia belum terlalu banyak, karena biasanya mereka bila sudah mencapai puncak akan beralih ke karier yang fokus pada bidangnya atau kembali ke rumah tangga. Jadi saya bangga bisa menjadi pioner, baik di Indonesia maupun di dalam Accenture sendiri. Meskipun CMD wanita Accenture di dunia ada beberapa orang, namun di ASEAN cuma baru ada dua, yaitu saya dan CMD Singapura.

Apa Anda pernah mengalami friksi atau merasakan jealousy dari kolega Anda yang pria, karena Anda yang seorang wanita menjadi pemimpin tertingginya?

Kalau di Accenture tidak ada yang seperti itu. Karena mau wanita atau pria, kita sama sih. Bukan hanya masalah gender (wanita dan pria), tapi juga ada masalah etnis, orang yang disable, agama, dan sebagainya. Itu tidak pengaruh di sini. Karena saya dan kolega juga memulai bekerja di sini hampir bersamaan, jadi kita bersaing secara sehat saja. Kita mulai dari bawah banget (bersama), mulai dari analis waktu itu. Dan mereka juga melihat bahwa saya mempunyai kelebihan tertentu yang tidak mereka punya. Sebab untuk menjadi CMD itu yang memilih bukan dari Indonesia sendiri, tapi Accenture global.

Apa yang membuat Anda betah sehingga bisa bekerja di Accenture sampai berpuluh tahun?

Ada beberapa hal yang membuat saya betah bekerja di Accenture, yaitu pertama orang-orangnya (people). Kedua, pekerjaannya yang membuat kita belajar sesuatu yang baru terus menerus, dan ini lebih dulu daripada orang lain. Karena sebagai konsultan, kita melakukan riset terlebih dulu kan. Itu sangat dinamis. Ketiga adalah kepuasan kita setelah membantu klien menjadi lebih baik dan sukses. Hal ini tidak bisa dibayangkan (rasa puas dan senangnya).

Apakah di perusahaan tempat Anda bekerja memiliki keberpihakan kepada wanita sehingga memungkinkan wanita meraih jabatan tinggi? Atau semua berlangsung apa adanya dengan memberi kesempatan yang sama kepada pria-wanita?

Saya juga berperan sebagai Head of Inclusion and Diversity Asia Pasific untuk industri resources, Head of Human Capital and Diversity ASEAN, serta bagian dari CEO Advisory Committe secara global. Mengapa ada istilah Inclusion and Diversity, karena di Accenture ini sangat memberikan kesempatan supaya karyawati itu bisa stay dan terus berkarier. Jadi dia bisa slowing down sebentar (apabila menikah dan punya bayi), lalu dia bisa tancap gas lagi pada waktunya (mungkin ketika anakanya sudah agak besar). Jabatannya tidak diturunkan, cuma beda fokus saja. Misalnya kalau dia bekerja di consulting itu fokusnya ke klien, jadi kita deal dengan klien (eksternal), dan kalau di enterprise, artinya adalah fungsi support dari Accenture (internal). Dalam Inclusion and Diversity, kami juga memperhatikan semua pihak, tidak hanya persoalan gender (wanita dan pria), tapi juga mereka yang secara fisik/panca indera tertantang atau memiliki keterbatasan (handicapped), kaum LGBT, suku/ras, dan sebagainya. Kita menyadari bahwa keberagaman harus tercipta untuk mengimbangi kehidupan kerja kita.

Accenture fokus di Inclusion and Diversity sudah lebih dari 10 tahun. Di sini kita benar-benar selalu memikirkan inisiatif apa yang harus dilakukan, sehingga baik perempuan, orang yang punya disabilitas, maupun LGBT, bisa terakomodasi, dan kita mau menerapkan itu dengan baik. Sebab dengan semua inklusif maka benefit-nya jauh lebih besar. Karena ini lebih beragam, jadi tentunya lebih positif.

Mengapa tadi Anda bilang bahwa biasanya wanita jika sudah mencapai puncak karier, maka akan beralih ke karier yang fokus pada bidangnya atau kembali ke rumah tangga?

Kalau wanita itu kan pada waktu dia sudah mempunyai suami dan anak, biasanya misalnya punya pemikiran akan fokus kepada anaknya saja, sehingga mereka keluar (dari pekerjaan). Sering banyak kejadian seperti itu, padahal sebenarnya perusahaan memberikan kesempatan bagi dia untuk slowing down, atau mengambil apa yang disebut flexible work arrangement, sampai anaknya sudah bisa ditinggal sehingga dia bisa berkarier lebih cepat lagi. Nah, kadang-kadang kesempatan itu tidak dipergunakan oleh para wanita. Itu yang sekarang sedang kita lakukan supaya mereka mau menggunakan opportunity itu sehingga mereka tidak perlu keluar (dari Accenture).

Apa karena Accenture ini adalah perusahaan multinasional ya, makanya sudah lebih terbuka terhadap kesetaraan gender dan lainnya, sehingga wanita juga bisa sampai di posisi puncak? Mungkin tidak seperti perusahaan yang dari awalnya berdiri di Indonesia.

Menurut penelitian, perusahaan yang mempunyai pekerja wanita sampai ke level pemimpinnya, walaupun mungkin jumlahnyaa tidak 50:50 tapi mewakili cukup kuotanya, maka perusahaan itu bisa menjadi high performance dan sustainable. Sebab wanita bisa mengkomplemen pria dalam membuat keputusan, berkontribusi terhadap perusahaan, karena kan kadang cara berpikir wanita dan pria itu berbeda. Harusnya perusahaan lebih memberikan kesempatan itu (bagi wanita untuk meraih posisi puncak), karena benefit-nya pasti lebih banyak untuk perusahaan itu sendiri.

Tapi sebenarnya saat ini saya melihat sudah banyak perusahaan Indonesia yang mempunyai direktur atau CEO wanita. Misalnya ketika International Women’s Day yang kemarin kita adakan, hadir Ibu Parwati (Presdir Bank OCBC NISP), Ibu Frederica (Direktur BEI), dan lain-lain. Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa perempuan di Indonesia sulit maju dalam perusahaan itu hanya mitos saja. Sebenarnya, kalau satu perusahaan belum punya pemimpin wanita, maka suplainya untuk menjadikan leader itu belum banyak, karena di jalannya mereka sudah berguguran.

Kalau di rekrutmen juga, Accenture mendorong untuk bisa hire banyak wanita. Kita proaktif mencari (kandidat karyawati), misalnya sekarang kita punya program memberikan mentoring kepada beberapa mahasiswi dari universitas-universitas yang terbaik di Indonesia. Kita bantu mereka supaya siap masuk ke jenjang berikutnya (dunia kerja). Itu secara tidak langsung artinya kita ingin menggaet mereka. Namun, mereka tidak harus bekerja di Accenture setelah program ini, namun secara tidak langsung ini membuat mereka mudah-mudahan tertarik juga (ke sini). Tapi tidak pengikatan, karena kita juga menginginkan supaya mereka bisa berhasil di mana pun mereka berada. Itu sebenarnya bantuan dari kita untuk membuat para wanita berhasil.

Tapi bukan berarti kita memberikan pengecualian bahwa kalau dia perempuan akan lebih mudah masuk sini atau dipromosikan. Tidak seperti itu. Ini pasti dilihat dari KPI atau penilaiannya. KPI itu tidak menghalalkan segala cara dengan memberikan kemudahan ya. Itu obyektif, tapi kita melakukannya proaktif. Di Accenture Indonesia sendiri 40% karyawannya itu wanita, dari kurang lebih 700 karyawan. Saya tidak tahu di tempat lain seperti apa, saya tidak ada komparasinya tuh. Sekarang sudah beda ya jika dibandingkan dulu. Karena sekarang itu sudah maju, jadi wanita dan pria sama-sama bisa maju, terutama di kota besar. Mungkin yang harus dipikirkan adalah di desa-desa, bagaimana kita bisa empower supaya wanita di sana mendapatkan pendidikan yang setara dengan pria.

Berarti Accenture memang memberikan kesempatan yang luas dan terbuka kepada para karyawatinya untuk bisa mencapai posisi/jabatan yang lebih tinggi, bahkan sampai puncak?

Kita benar-benar open, maksudnya kita ingin agar para karyawati kita berhasil, jadi kita banyak program untuk membantu mereka supaya berhasil. Misalnya untuk tingkat manajer, kita punya (pelatihan) negotiation skills khusus untuk wanita. Ini untuk mengajari cara bernegosiasi yang benar. Mereka juga punya mentor atau sponsor yang bisa membantu mereka supaya bisa menjadi high performance woman. Jadi banyak sekali inisiatif dan pelatihan untuk membantu karyawati kami.

Lalu, untuk mereka yang sudah punya anak, kita juga membuat satu komunitas sehingga mereka bisa share, misal sedang tidak punya pengasuh, jadi kita bisa saling bantu memberi informasi. Hal-hal seperti ini kelihatannya kecil, tapi sangat bermanfaat, lho. Jadi mereka bisa nyaman, karena diberi kesempatannya. Kemudian, pada peringatan International Women’s Day kemarin, kita adakan sesi sharing, jika mereka punya masalah dengan klien, dan sebagainya.

Kita bisa juga diskusi bagaimana caranya kita sebagai wanita menempatkan diri, dan lain-lain. Mentornya wanita juga. Obrolan itu kita bikin sesi sharing, dan kita kan punya konselor karier serta mentor, dan misalnya dia (jabatannya) analis/konsultan, maka mentornya adalah manajer; sementara kalau dia manajer, maka mentornya adalah manajer senior atau Managing Director (MD). Sharing di luar kerjaan juga bisa di situ, bahkan curhat juga bisa, tapi itu lebih banyak di sesi one on one. Lalu, kita juga pernah bikin sesi untuk membahas bagaimana mencapai work life balance untuk wanita, nah pada waktu itu banyak curhat yang muncul.

Seperti apa pendekatan (approach) Anda dalam memimpin perusahaan?

Saya mendekatkan diri kepada semua, tetapi memang kalau seorang karyawan wanita punya masalah bisa kita lihat dari mukanya. Kebijakan yang ada namanya open door policy, setiap orang bisa masuk atau datang ke saya, tidak mesti orang yang laporan langsung ke saya. Meskipun dia itu analis baru, dan dia ingin mengobrol dengan saya, pintu saya selalu terbuka, dan mereka bisa menelepon saya juga ketika malam atau weekend. Karena susah kan kalau cari waktu bertemu saya langsung, karena saya pasti bekerja dari satu meeting ke meeting lain. Tapi kalau masalahnya serius banget, kita harus ketemu ya ketemu.

In a way, pendekatannya lebih ke kekeluargaan, tapi bukan berarti saya tidak pernah marah loh.. Karena kalau saya masih memberi tahu apa yang bisa di-improve, artinya saya masih care dengan kdia, karena saya mau dia lebih baik. Kalau saya tidak menegurnya artinya saya sudah tidak peduli. Karena prinsipnya di Accenture, kita mau kalian semua menjadi lebih baik setiap harinya. Kalau misal dia salah, tapi didiamkan saja, mana dia tahu kalau dia berbuat salah, terus di mana dia bisa menjadi lebih baik?

Sejak Anda menjadi CMD, apakah ada kebijakan tertentu yang sudah Anda terapkan yang berbeda dari CMD sebelumnya?

Kalau policy sebenarnya sama-sama saja (dengan CMD sebelumnya), tapi mungkin pendekatan saya yang berbeda. Ini kan tergantung leadership kita masing-masing, karena leadership itu kan otentik atau lebih melekat pada orangnya sendiri. Nah, tentunya leadership saya dengan CMD sebelumnya pasti ada perbedaan, tapi apa yang sebelumnya sudah dijalankan dengan baik pasti saya ikuti.

Tapi apakah ada perbedaan me-manage karyawan wanita dan pria?

Sebenarnya sih sama, tapi kadang-kadang karyawan perempuan itu yang main adalah perasaan, jadi bagaimana kita mendengarkan kalau mereka mau curhat. Mereka perlu curhat lebih banyak daripada pria, jadi kita harus selalu membantu lah, atau memberikan sarana kalau mereka mau mengeluarkan uneg-uneg.(***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved