Column

Menepis Paranoid MEA 2015

Oleh Admin
Menepis Paranoid MEA 2015

Seperti apa gambaran kesiapan para pelaku usaha di Indonesia sebagai respon atas dibukanya pintu integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015? Banyak yang optimis, namun tidak sedikit pula yang pesimis.

PZA_PPMHampir satu tahun yang lalu, tepatnya pada April 2014, sebuah firma konsultansi kelas dunia, The Boston Consulting Group (BCG), melakukan kajian dalam bentuk survei, yang ditujukan untuk menilai bagaimana para pelaku usaha memandang integrasi MEA di 2015 ini.

Survei yang bertajuk BCG ASEAN Economic Integration Survey (April, 2014) tersebut melibatkan sejumlah eksekutif puncak perusahaan-perusahaan di 10 negara ASEAN yang mewakili berbagai industri, termasuk di dalamnya energi, produk konsumen, barang-barang industri, jasa keuangan, dan telekomunikasi. Survei tersebut melibatkan pula pendapat dari pejabat senior pemerintahan di negara-negara tersebut.

Ada suatu hal yang menarik sekaligus memprihatinkan dari hasil survei tersebut; dari 10 negara asal para responden, 100% responden dari Malaysia menyatakan bahwa integrasi ekonomi ke dalam MEA akan memberikan peluang yang sangat menguntungkan.

Sementara dari negara-negara lain (selain Malaysia dan Indonesia), hanya sekitar 2-10% responden dari masing-masing negara yang memandang MEA sebagai suatu ancaman.

Bagaimana dengan Indonesia? Survei tersebut mengungkapkan bahwa Indonesia lah satu-satunya negara yang menghasilkan persepsi responden atas MEA sebagai suatu ancaman serius dalam proporsi yang cukup signifikan (42%).

Penjelasan di balik persepsi atas MEA yang akan menebarkan nuansa ancaman tersebut didasari fakta bahwa Indonesia merupakan pasar terbesar di kawasan di mana integrasi MEA akan diberlakukan. Dan oleh karenanya pelaku usaha domestik akan merasa berada dalam kondisi competitive disadvantage dengan hadirnya pesaing-pesaing baru dari negara-negara lain dalam satu kawasan akibat adanya integrasi MEA tersebut.

Meskipun baru dihasilkan dari sebuah survei terbatas, paling tidak hasil kajian BCG tersebut telah memberikan indikasi adanya kecemasan di antara para pelaku usaha domestik Indonesia atas integrasi ekonomi ala MEA. Suatu kecemasan atau ketakutan, yang mudah-mudahan tidak berangsur menjadi suatu bentuk paranoid (ketakutan yang berlebih tanpa alasan).

Menelaah kembali dengan semangat optimisme, fakta bahwa Indonesia merupakan pasar terbesar di ASEAN harus kita lihat sebagai ‘besar’ tidak hanya dari aspek luas dan cakupan geografis, namun juga besar dalam aspek demografis.

Dalam aspek demografis, sekitar 240 juta jiwa yang berdiam di Indonesia dapat disebut sebagai pasar yang besar. Namun demikian, pasar yang besar belum tentu menjadi pasar yang menarik bila pelaku usaha yang berniat masuk ke dalam pasar tersebut tidak dibekali dengan berbagai informasi dan pengetahuan atas karakteristik pasar, tuntutan dari pasar, ataupun proposisi nilai yang sebenarnya diharapkan oleh pasar.

Atas refleksi tersebut, mungkin dapat kita pertanyakan kepada para pelaku usaha yang berasal dari luar Indonesia; apakah Anda cukup mengenal pasar Indonesia? Apakah Anda sangat memahami apa yang sebenarnya diharapkan oleh pasar Indonesia tersebut?

Apakah mereka (para pelaku usaha dari luar Indonesia dan kawasan ASEAN) cukup memiliki berbagai informasi tersebut sebagai bekalnya meramaikan pasar? Ya, sangat mungkin mereka memiliki akses terhadap berbagai informasi tersebut, dalam bentuk hasil survei, riset dan informasi pasar lainnya. Tetapi tentunya berbagai informasi tersebut belumlah cukup untuk memenangkan pasar.

Masih banyak hal-hal lain yang dibutuhkan. Pengetahuan atas karakteristik pasar dalam aspek sosial budaya, pengetahuan paripurna atas kearifan lokal Indonesia, ataupun hal-hal yang bersifat intuitif pun sangat diperlukan untuk bersaing di pasar Indonesia. Bila memang demikian adanya, siapa yang seharusnya merasa ketakutan atau paranoid?

Suatu contoh menarik telah ditunjukkan oleh produsen kendaraan roda empat asal Amerika Serikat di akhir bulan Februari 2015 yang lalu. Pada 26 Februari 2015, seperti yang dilansir berbagai media cetak maupun daring (online), General Motors Company (GM), melalui Tim Zimmerman (Presiden GM South East Asia), menyatakan akan menutup pabriknya di Indonesia pada 1 Juli 2015 mendatang. Skala ekonomis pabrik yang tidak tercapai serta tingginya biaya produksi telah menjadi alasan utama produksi General Motors di Indonesia harus dihentikan.

Lantas ada apa dengan skala ekonomis produksi pabrik General Motor Indonesia? Jumlah produksi yang terbatas, karena terbatas pula permintaan pasar, pada akhirnya membawa perusahaan ke dalam kondisi inefisiensi. Bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla sendiri menilai bahwa Chevrolet (merek kendaraan roda empat keluaran General Motors) telah kalah dalam persaingan di industri otomotif nasional.

Kemudian, ada apa dengan perusahaan otomotif sekaliber General Motors? Sebagai anak kandung negara adidaya, tidakkah dengan mudahnya mereka memiliki berbagai akses informasi tentang pasar Indonesia? Sangat sulit kiranya untuk mendapatkan jawaban yang pasti atas pertanyaan tersebut.

Beberapa media pun menengarai; sepanjang perjalanannya di Indonesia, manajemenGeneral Motors (GM Indonesia) lebih banyak diawaki oleh profesional pilihan principal, bukan berasal ‘winning team’ lokal yang telah malang melintang di industri otomotif nasional.

Mereka bergerak dengan cepat, sangat elegan, dengan rasa percaya diri yang sangat tinggi. Namun mereka ternyata lebih memahami karakteristik pasar otomotif Indonesia melalui data-data riset pemasaran, tanpa dilengkapi dengan pengetahuan paripurna tentang kearifan lokal negeri ini.

Hasilnya? Ya, keputusan 26 Februari 2015 lalu untuk menghentikan produksi Chevrolet di Indonesia merupakan buah dari pilihan principal tadi. Rasa percaya diri yang berlebihan untuk membumikan produk dengan cita rasa Amerika, tanpa menghiraukan karakteristik pasar Indonesia dengan segala bentuk kearifan lokal-nya telah mendorong GM Indonesia memutar haluannya; kembali menjadi penjual saja.

Alasan yang lebih sahih atas penutupan pabrik GM Indonesia tersebut memang masih belum terungkap. Terlepas dari kebenarannya, paling tidak cerita di atas dapat menambah rasa percaya diri pelaku usaha domestik untuk menepis paranoid MEA 2015.

Oleh: Alphieza Syam, Core Consultant PPM Manajemen – PPM Consulting


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved