Profile Company Corporate Action

Tokio Marine Life Indonesia Mengincar Pasar Middle Low

Tokio Marine Life Indonesia Mengincar Pasar Middle Low

Sebanyak 120 juta masyarakat Indonesia belum terproteksi oleh asuransi. Jumlah tersebut berasal dari kalangan menengah ke bawah, atau yang berpenghasilan Rp1 – 3 juta per bulan. PT Tokio Marine Life Indonesia (TMLI) serius membidik segmen tersebut, yakni dengan cara menciptakan produk asuransi jiwa dengan premi yang relatif terjangkau bagi kalangan tersebut, namun memiliki nilai guna sampai jangka waktu yang panjang.

Bagaimana strategi perusahaan ini mengembangkan bisnisnya, berikut adalah petikan wawancara dengan Edy Purwanto, Vice President Director and CFO PT Tokio Marine Life Indonesia kepada tim wartawan SWA Online, dalam kunjungannya ke kantor redaksi.

edy purwanto

Boleh diceritakan singkat saja mengenai PT Tokio Marine Life Indonesia? Kapan mulai berdiri di Indonesia?

PT Tokio Marine Life Indonesia (TMLI) sudah ada sejak 2012, di mana kami menginduk pada brother company yang sudah established sejak 40 tahun lalu, yakni Tokio Marine Japan. Awalnya Tokio Marine ini bergerak di asuransi secara general, seperti lebih ke asuransi umum (kerugian). Namun pada tahun 1996 baru Tokio Marine bergerak juga di asuransi jiwa.

Awalnya kami masuk di Indonesia itu adalah saat kami membeli perusahaan asuransi kecil, yaitu MAA yang pada saat itu mengalami kesulitan modal. Karena memang ketentuan OJK untuk perusahaan asuransi itu minimum modalnya Rp100 miliar, yang dari waktu – ke waktu dilihat dari net assetnya, kalau menurun ditambah modalnya. Nah, MAA ini merupakan perusahaan asuransi dengan kantor pusatnya di Malaysia, mengalami kekurangan modal, dan masuk daftar di OJK untuk dicarikan investor. Kemudian kami hadir dengan membeli perusahaan ini, kemudian kami daftarkan sebagai Tokio Marine Life Indonesia.

Kenapa lebih tertarik untuk membeli perusahaan kecil? Apa pertimbangannya?

Karena begini, kami tidak membeli perusahaan besar yang sudah established, karena alasan pertimbangan yang kecil saja. Kalau mulai dari besar, berarti juga harus siap membawa riwayat lama perusahaan tersebut, agaknya itu complicated. Ditambah lagi mengubah system yang lama juga tidak mudah, produk – produk yang di tinggalkan belum tentu memiliki benefit baik bagi perusahaan kami, ditambah lagi adanya kekhawatiran bisa menyebabkan beban tambahan. Dan dari awal memang TMLI mau jadi majority shareholder, dengan membeli penuh perusahaan kecil, bangun dari kecil, dan mengembangkan produk dan sistemnya sesuai keinginan sendiri.

Berapa biaya yang digelontorkan TMLI untuk membeli perusahaan MAA tersebut, termasuk untuk membangun sistem operasional dan sebagainya?

Pada 2012 kami disuntikkan modal sekitar Rp1 triliun lebih, termasuk untuk membeli perusahaan MAA tersebut, dan membuka bebeberapa kantor operasional.

Anda membeli perusahaan MAA, bagaiman dengan karyawan MAA sebelumnya, apakah itu berarti juga menarik karyawan MAA tersebut untuk gabung dengan TMLI?

Memang ketika suatu perusahaan dibeli oleh perusahaan lain, yang dirasakan mereka adalah kemungkinan mereka bakal di lay off. Dan dari TMLI sendiri kami mempertahankan 54 karyawan MAA, juga agentnya sebanyak 30 orang. Karena memang pada saat itu, posisinya mereka tidak bisa berjualan karena kekurangan modal.

Setelah dua tahun bergeliat di bidang asuransi jiwa, berapa pertumbuhan karyawan perusahaan Anda?

Sekarang yang sudah terdaftar AAJI (Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia) itu sebanyak 1.700 agen maupun karyawan dan sedang dalam proses mendapatkan lisensi itu sekitar 1.300 lebih. Jadi totalnya 3.000.

Saat ini sudah mengoperasikan berapa kantor? Dan rencananya sampai tahun 2015 mendatang akan mengoperasikan berapa kantor lagi?

Bisa dikatakan perusahaan ini adalah perusahaan nation wide, dengan jumlah kantor pemasarannya yang tersebar di 11 kota – kota besar. Sampai akhir tahun 2014, kami juga sedang mempersiapkan 4 kantor lagi, dan apabila semua izinnya sudah selesai , kami memiliki total kantor sebanyak 15. Tahun depan, kami bakal menambah 20 kantor lagi.

Bicara soal kantor pemasaran, itu yang memiliki adalah agen kami (agency sales office), dan sebagian besar kantor pemasaran yang kita miliki itu dimiliki oleh para agen. Adapun untuk membuka kantor pemasaran ini, biayanya bukan hanya besar (sekitar Rp100 miliar), namun juga mereka dituntut oleh syarat produktivitas yang cukup tinggi.

TMLI berarti bisa dikatakan sebagai foreign company, apakah itu berarti akan mempekerjakan orang – orang ekspat di perusahaan ini?

Meskipun sebagai foreign company, hanya segelintir ekspat di sini, yakni CEO nya, bule Inggris, David Baynon, seorang mantan CEO Manulife Indonesia, technical advisor dari Jepang, dan satu BOD dari Jepang. Selebihnya merupakan orang Indonesia. Jadi bisa dibilang ini akan diarahkan sebagai Indonesian Company, yang kebetulan dananya aja dari Jepang.

Bicara soal induk TMLI, bagaimana diskripsi Anda mengenai Tokio Marine?

Tokio Marine (TM), established di Jepang pada tahun 1879, dimana by size, by rating, by financial heathy-nya tertinggi di Jepang. Jika dulunya hanya bergerak di general insurance, sekarang sudah didiversivikasi ke life insurance juga. Saat ini di dunia TM sudah ada di 40 negara, dengan total kotanya yaitu sebanyak 400 kota.

Anda sendiri, bagaimana awalnya bisa bergabung dengan TMLI?

Saya sebelumnya pernah di Manulife, jadi lumayan cukup mengenal David Baynon. Jadi beberapa saat setelah David Baynon meninggalkan Manulife, ia dihijack untuk jadi CEO Tokio Marine di Singapore, yang menjalankan Tokio Marine di Indonesia. Dan pada saat itu pula David mengajak saya untuk bergabung di TMLI. Sebelumnya, saya juga pernah bekerja di sebuah perusahaan akuntan publik.

Tokio Marine berinisiatif melakukan ekspansi ke Indonesia, Anda melihatnya seperti apa? Apa yang mendasari TM melakukan ekspansi tersebut?

Alasannya karena pertumbuhan bisnis ini (asuransi), di Jepang sendiri sudah stagnan. Oleh karena itu management melihat pangsa yang lebih menjanjikan lagi, yakni dilihat dari growing new businessnya. Nahh, growing new business ini, ada parameternya, yakni dilihat dari proyeksi polis – polis baru yang kita keluarkan untuk para new police holder. Bukan dilihat dari orang yang sama membeli polis kelanjutan di beberapa tahun ke depan (renewal), atau orang yang sama membeli polis lain. Sehingga bagi industri asuransi, kelanjutan tersebut tidak dihitung, melainkan yang bercermin pada pertumbuhan new customer. Dan saat ini, penetrasi industri asuransi di masyarakat Indonesai tidak sampai 10%, dengan kata lain masih banyak masyarakat yang belum tersentuh asuransi.

Dan kami menyasar pada masyarakat yang berada pada piramida di bawah middle class, dengan total setengah dari jumlah penduduk Indonesia saat ini (120 juta orang).

Apa saja terobosan yang dilakukan TMLI guna merealisasikan pertumbuhan bisnisnya?

Direct selling to customer. Pemasaran agak unik, melalui agen. Karena secara tradisional agen itu backbone marketing dari life insurance. Mereka secara face to face dapat menjelaskan produk lebih detil. Di samping itu mengggunakan media life, televisi, website, dan advertising board. Terutama untuk yang di televisi, iklan yang ditayangkan produk dengan banyak, preminya murah (Rp60 ribu per bulan dan bisa cover seumur hidup. Adapun produk ini ditujukan untuk orang – orang usia mapan, sehingga kalau terjadi sesuatu, pihak keluarga bisa melanjutkan.

Kemudian kami juga menciptakan sebuah produk yang kaya benefit, yakni TM50, yang lebih ditujukan untuk anak – anak muda atau pekerja yang biasa menggunakan kendaraan, yang mobile, sehingga kalau terjadi something bisa di-cover melalui ini. Proses underwriting tidak diperlukan, tidak melalui proses seperti ditanya dulu kesehatannya, risikonya, dan sebagainya. Sebab produk ini dirancang simple dan murah agar dapat menjangkau masyarakat dengan pendapatan Rp1 – 3 juta per bulan.

Hasilnya, meskipun Ini masih private project, responsnya saja ada 100 ribu penelepon. Artinya mereka lihat tayangan kita, dia kontek kita untuk beli.

Adakah tantangan yang dihadapi TMLI dalam menjalankan bisnis ini?

Ada, yakni dari realisasi penjualannya. Dari 100 ribu penelepon misalnya, masih sangat rendah yang akhirnya transaksi dengan kami (jumlahnya sekitar 4%). Itu karena , pertama, metode pembayaran, terbatas hanya 1 ATM saja, dan penelepon rata – rata tidak memiliki account di bank itu. Sekarang kami sedang menambah jaringan banknya, melalui kerja sama dengan jaringan bank lain, agar respon dengan lebih baik dapat dikonversi menjadi transaksi. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved