Update Diaspora

Indonesia Terlambat Menangani Diaspora

Indonesia Terlambat Menangani Diaspora

Diaspora Indonesia merupakan potensi yang sangat besar dalam membangun bangsa. Sayangnya, selama ini Indonesia terlambat menangani diaspora, tidak seperti negara-negara lain seperti Vietnam dan Mexico yang memiliki Kementrian Diaspora dalam pemerintahannya. Bagaimana kebijakan Indonesia mengenai diaspora? M.Wahid Supriyadi, Staf Ahli Bidang Ekonomi, Sosial, Budaya Kementrian Luar Negeri RI yang juga Kepala Desk Diaspora menururkannya kepada Rif’atul Mahmudah:

Bagaimana Pemerintah RI melihat diaspora kita?

Sekarang ini sudah mulai ada pergeseran memandang diaspora, terutama yang warga negara asing. Dulu, zaman Orde Baru kalau ada orang pindah kewarganegaraan dianggap pengkhianat. Tetapi saat ini, belajar dari negara lain seperti China, Mexico, India, saat ini sudah terbalik, diaspora dipandang memiliki potensi yang besar. Salah satu yang membangun negara-negara tersebut adalah diaspora.

WahidKemnelu (utama)

Berapa data resmi jumlah diaspora kita?

Kalau jumlah WNI yang ada di luar dan terdaftar, ada 4,7 juta orang. Itu belum termasuk warga negara asing ya karena ketika itu memang kita tidak ada konsep. Kalau termasuk, mungkin jumlahnya bisa mencapai 7-8 juta. Dengan jumlah itu, tentu besar sekali potensinya. Vietnam, yang jumlah diasporanya sepertiga kita, sekitar 2,3 juta, kontribusi remmitance mereka bisa lebih besar, mencapai US$ 10 miliar. Kita hanya US$ 7,2 miliar. Kita tidak punya catatan.

Tetapi dengan yang dimulai Pak Dino dengan Kongres Diaspora pertama di Los Angeles, kita baru mulai terbuka bahwa banyak sekali orang Indonesia yang sukses di luar negeri. Misalnya seperti Sehat Sutardja, dia warga negara Amerika. Kalau dia datang ke sini, disebut orang asing, kalau investasi di sini, masuknya PMA. Belum ada aturan-aturan yang mengakomodasi kepentingan diaspora-diaspora itu.

Makanya ketika kongres kedua, dibentuk task force-task force supaya fokus. Di antaranya yang paling seksi adalah task force diaspora. Ada riset kecil-kecilan, ada sekitar 90 negara yang memiliki dwi kewarganegaraan. Dari yang dipelajari, memang banyak karena kepentingan ekonomi. Mereka bisa datang, investasi, dagang, dsb. Kita ada task force itu, kami temukan dengan DPR, imigrasi, dan sebagainya.

Selain remittance para TKI, apa sumbangan diaspora kita ke Indonesia? Apa contohnya?

Ada pendidikan, ternyata banyak orang kita yang professor. Kawan-kawan itu punya informasi yang penting seperti job opportunity. Mereka bisa sharing banyak hal dari pengalaman yang telah mereka lakukan, memberi informasi. Kepada masyarakat yang ada di derah-daerah. Ini penting. Ada juga menyangkut pendidikan dan keilmuan, sudah ada database para intelektual di luar negeri beserta bidangnya. Kalau kita ada database dan dibutuhkan, nanti bisa dipanggil juga. Potensinya besar sekali.Perhitungan kasar kami, ada sekitar satu juta diaspora yang memiliki kemampuan bisnis, perdagangan dan investasi. Untuk menangkap mereka, dibutuhkan aturan-aturan.

WahidKemenlu

Apa saja yang dilakukan pemerintah untuk mereka? Apakah pemerintah sudah cukup mengakomodasi kebutuhan diaspora kita?

Dibutuhkan aturan-aturan untuk mengakomodasi mereka. Misalnya, kebebasan pajak masuk, kemudian kalau dia pindah dan sebagainya, imigrasinya bagaimana. Saya lihat sudah ada respons positif, dari imigrasi, orang Indonesia yang sudah jadi WNA bisa mendapat visa permanen residen, dia dapat izin tinggal tetap. Itu sudah seperti Green Card. Ini suatu kemajuan, dulu tidak pernah. Berlaku setelah kongres lalu, Agustus sudah diberlakukan.

Memang ada tuntutan lebih yaitu dwi kewarganegaraan. Tetapi ini tidak mudah, masalah mengubah undang-undang, harus lewat DPR, tidak bisa pemerintah saja. Task force dwi kewarganegaraan terus berjalan, melakukan FGD, sosialisasi dan sebagainya karena di kita pun, masih ada yang berpandangan: Anda sudah jadi orang asing, ya sudah lah. Itu salah. Nasionalisme kan bukan di paspor. Kalau paspor Indonesia tetapi korup, apakah menguntungkan? Kan tidak.Saya ada contoh, seorang ibu di Tasmania, dia orang Indonesia warga sana, dia kerja tidak pernah ada hambatan. Kalau dia WNI, dia mentok kariernya. Ada pekerjaan volunteer yang dia lakukan di sana, mengajar bahasa Indonesia. Dari bahasa tidak dikenal, menjadi bahasa yang terkenal. Dedikasinya luar biasa, pikirannya bagaimana mengenalkan Indonesia walaupun dia sudah WNA.

Banyak orang-orang yang ketika kembali ke Indonesia merasa tidak nyaman, dianggap orang asing. Presiden ketika Kongres sudah mengatakan, diaspora apa pun kewarganegaraannya harus dianggap sebagai keluarga besar Indonesia. Salah satunya adalah dengan kemudahan visa itu, tetapi belum sampai pada dia boleh beli rumah.

Kita ada forum, antar kementerian, terakhir rapat bulan lalu. Kira-kira ada 18 kementerian yang terlibat. Kami beri TOR, bagaimana agar kawan-kawan diaspora itu mudah.

Apa sih untung-ruginya dwi kewarganegaraan bagi diaspora dan bagi Indonesia?

Bagi diaspora, tentu itu yang dicari. Mereka kadang merasa banyak yang sudah empat puluh tahun di luar negeri tetapi mereka takut untuk jadi warga negara sana. Akibatnya karier mereka tidak naik, kesempatan untuk berpolitik tidak bisa. Tidak bisa jadi anggota parlemen. Kalau ada dwi kewarganegaraan, karier mereka bisa naik, mereka bisa dipilih di politik, jadi walikota misalnya. Itu tetap akan menguntungkan kita. Selalu ada ikatan batin. Ini belum banyak kita manfaatkan.

Bagi kita, ini bisa generate income, investment. Contoh China, Vietnam. Investasi Vietnam US$ 4,6 Milyar. Jadi begitu besarnya potensi itu yang selama ini tidak kita lihat sebagai potensi.

Lalu, sampai di mana upaya pemerintah menggolkan dwi kewarganegaraan diaspora? Kapan itu direalisasi? Mengapa sepertinya sepi-sepi saja? Apa hambatannya?

Makanya diwadahi dalam kongres. Pada saat kongres yang lalu, dibentuk Indonesia Diaspora Network Global, sebagai jembatan antara diaspora dengan kementerian, dengan desk diaspora. Dari kesimpulan rekomendasi kemarin masih banyak yang belum dilakukan. Ini yang pelan-pelan harus dilakukan.

Hambatannya, pandangan masing-masing kementerian tidak sama dalam memandang diaspora. Jadi tugas desk diaspora juga meyakinkan kepada yang lain bahwa ini potensi. Saya melihat, sejauh ini ditanggapi positif, beberapa kementerian selalu hadir, beri masukan. Beberapa malah sudah ada kerja sama. Misalnya, saat kongres, Kemenhut kerja sama untuk menanam pohon.

Untuk menggolkan dwi kewarganegaraan, itu proses panjang. Saya tidak punya target, tetapi yang penting dilakukan adalah sosialisasi. Intinya sejauh mana, kawan-kawan diaspora bisa meyakinkan publik, parlemen, kementerian bahwa ini pentingnya dwi kewarganegaraan. Kami sebatas memfasilitasi. Ini masalah undang-undang. Nanti mereka juga mencari masukan para ahli juga mengenai itu.

Kementerian pun juga responsif, melakukan diskusi dengan Kemenhukkam. Sudah ada pembicaraan itu. Kelompok yang mix-marriage, mereka juga termasuk yang mendorong dwi kewarganegaraan, karena menyangkut anak-anak mereka. Memang sekarang ada dwi kewarganegaraan terbatas, anak-anak mix marriage, batasnya sampai 18 tahun. Memang prosesnya masih panjang. Saya lihat , di DPR, mereka menanggapinya sangat positif. Ini perubahan yang cukup bagus.

Mengapa pemerintah tidak punya kementrian untuk diaspora seperti negara lain? Mengapa hanya “Desk” di kementrian luar negeri? Apakah itu memadai?

Memang di kita ini sifatnya masih Desk. Kalau kita lihat di beberapa negara lain, mereka ada kementerian khusus, seperti Mexico, India. Kami ingin bertahan dan ada peningkatan, entah itu nanti dalam bentuk badan, atau lainnya. Kami ingin bisa lebih fokus. Karena memang selama ini belum cukup. Pekerjaan saya sebagai Staf Ahli, tetapi merangkap desk, tentu ini belum cukup. Anggota-anggota lain banyak yang merangkap juga sehingga belum fokus benar. Walaupun kami sudah berupaya yang terbaik.

Ke depan, apa policy dan strategi yang akan diberikan pemerintah untuk diaspora, misalnya kebijakan investasi yang memudahkan mereka berkontribusi untuk Indonesia?

Belum. Ini baru mulai diurai. Di sini contact person-nya BKPM. BKPM akan mengumpulkan kasus-kasus investasi diaspora. Contohnya yang akan sangat berarti, pada pengiriman remmitance TKI, BNI bekerja sama dengan mastercard. Saat ini pengiriman uang bisa 16-18% biayanya. Jadi ada sekitar US$ 700 juta dolar yang hilang di jalan, ini hitungan Pak Edward dari pengusaha. Mastercard sudah menyetujui dengan pengiriman melalui mereka dengan potongan 3%. Bagi TKI kelas bawah, ini sangat berarti. Ini tentu harus dipayungi aturan. Soal ini, undang BI, terserah bagaimana mengaturnya. Jadi, kami terbuka. Saat ini masih diurai oleh kelompok-kelompok, dari BKPM undang instansi lain. Perlu kerjasama dengan berbagai pihak dan pemahaman yang sama. Kita ini terlambat untuk mengelola diaspora.

Untuk kebijakan ke depan, sesuai dengan kesepakatan bahwa kongres diadakan dua tahun sekali, ada lagi 2015 mendatang. Nanti akan ada pertemuan in between, sebelum kongres. Akan formulasikan, dari yang sudah jalan bagaimana evaluasinya, baik pemerintah atau pun mereka sendiri. Tetapi kami melihatnya, ini adalah bagian dari kita, mereka berikan kontribusi dan kami fasilitasi. Bentuknya gimana, pelan-pelan akan terurai. (***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved