Entrepreneur

Babeh Idin: Sang Jawara Pelestari Lingkungan

Babeh Idin: Sang Jawara Pelestari Lingkungan

Namanya Haji Chaerudin, sapaan akrabnya Babeh Idin. Orang Betawi tulen ini menjadi pelopor pelestari lingkungan Kali Pesanggrahan, dan membangun hutan kota Sangga Buana seluas 40 hektare.

Babe Idin, entrepreneur, sosial, bisnis

Babe Idin

Kali pesanggrahan yang semula kotor dan penuh sampah kini menjadi sebuah kali yang bening. Masyarakat sekitar banyak yang berusaha di sekitar Kali Pesanggarahan: menjadi petani ikan, membangun usaha kolam pemancingan, dan beternak berbagai hewan peliharaan. Hutan kota Sangga Buana juga menjadi tempat yang nyaman dan asri untuk warga setempat melakukan sosialisasi dan aktivitas bersama. Kepada Radito Wicaksono, Babeh Idin menuturkan pengalamannya dalam pelestarian Kali Pesanggaran. Berikut ini wawancaranya:

Kapan Babeh Idin mulai membersihkan Kali Pesanggrahan dan membangun Hutan Kota Sangga Buana?

Kalau kapannya, kira-kira tahun 1989-an. Waktu itu kali di sini (Kali Pesanggrahan), kondisinya memprihatinkan. Kotor, banyak sampah, kering, kagak ada tanaman di pinggir-pinggirnya. Kalau kayak begitu, bagaimana ikan mau idup. Prinsip gue, ini alam bukan warisan nenek moyang, tapi titipan dari anak-cucu kita. Untuk itu, benar-benar harus dijaga.

Semakin ke sini, orang semakin memiliki orientasi hidupnya adalah keuntungan uang atau profit. Kalau guekagak. Kalau orientasinya keuntungan uang, tidak akan bertahan lama. Paling-paling 5 tahun juga kelar. Itu kan yang sekarang ini sering disarankan sama ahli-ahli manajemen dan lain-lain.

Kalau gue, tanam tuh padi. Kalau tanam padi, nanti ada rumput yang tumbuh. Kalau ada rumput tumbuh, orang jadi bisa hidup. Tuhan gak kasih ini alam ke kita-kita kok. Kita cuma dititipkan sama Tuhan. Kita disuruh jaga alam ini. Kalau alam kita jaga secara benar, orang jadi bisa hidup dalam jangka waktu lama. Ini yang gue sebut dengan “Manajemen Kearifan Alam”.

Gue cuma melakukan apa yang gue bisa lakukan untuk alam ini. Gak ada yang spesial dari apa yang gue lakukan, semua biasa-biasa aja. Gue cuma mau bertahan hidup di lingkungan yang juga hidup. Orang-orang di sekitar gue juga bisa hidup dengan bahagia. Gimana caranya? Ya jaga ini alam. Itu baru namanya jawara!

Yang namanya jawara bukan berarti apa-apa mesti berkelahi. Jawara itu yang bisa bertahan hidup dengan mempertahankan kehidupannya juga. Yang namanya jawara kudu lempeng (lurus), bisa bantu lingkungannya supaya tetap bisa hidup. Bukan yang apa-apa terus berkelahi. Apa yang gue lakuin ini sebenarnya juga dibilang sebagai bentuk protes terhadap kondisi yang ada. Tapi, protes gue gak teriak-teriak maki-maki orang di Bundaran HI. Protes gue dalam bentuk nyata. Gue lakuin apa yang gue mau. Gak perlu menunggu bantuan-bantuan dari pemerintah atau apapun itu.

Babe Idin

Babe Idin

Pola kegiatan apa yang dipilih sama Babe Idin selama ini?

Kayak yang tadi gue bilang, ga ada yang spesial. Gue melakukan hal yang biasa-biasa saja. Kegiatan kayak gini sudah gue lakukan sejak lama. Gue tidak pernah ngajak orang-orang di sini melakukan hal yang gue lakuin. Gue gak pernah memaksa mereka melakukan hal seperti yang gue lakukan.

Yang pasti sampai saat ini gue masih bersihin kali, melakukan perlindungan satwa liar, meningkatkan kesadaran pelestarian alam dengan membuat larangan membuang sampah di sekitar bantaran kali, melestarikan mata air dan makam-makam tua, serta benda-benda bersejarah dan lain-lain, dan juga menanam pohon bambu di bantaran kali. Kalau ada yang mau ikut bantuin, ya silahkan. Intinya, sebagian orang di sini sudah mulai sadar akan pentingnya menjaga lingkungan di sini.

Dengan apa yang sudah gue lakuin, orang bisa menikmati manfaatnya. Ada yang bikin ternak ikan di pinggiran Kali Pesanggrahan ini. Ada yang bikin kolam pemancingan. Kalau kali ini kotor, ga bakal bisa mereka bikin usaha kayak begitu.

Banyak juga anak-anak muda dari luar daerah datang ke sini untuk mempelajari apa yang gue lakuin. Mereka datang kesini karena dapat informasi dari mana-mana. Ada yang dari temannya, ada yang dari internet, dan lain sebagainya. Yang pasti, gue ga pernah ajak mereka datang ke sini. Kalau mau datang, pasti gue terima, gak mungkin gue usir. Tapi yang pasti, paling lama mereka 2 tahun di sini untuk belajar, ga boleh lebih. Ada yang 6 bulan saja belajar di sini.

Gue juga bentuk yang namanya Kelompok Tani Lingkungan Hidup (KTLH) Sangga Buana. Kita adakan pertemuan rutin. Dalam pertemuan, tiap anggota membawa bibit pohon untuk ditanam di pinggiran kali. Kita juga menebarkan bibit-bibit ikan ke dalam kali, di mana ikan-ikan tersebut merupakan ikan yang dibudidayakan di tambak-tambak yang ada di bantaran sepanjang kali Pesanggrahan ini.

Bagaimana liku-liku pemberdayaan? Tantangan apa saja yang dihadapi saat melakukan pemberdayaan? Bagaimana mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi? Apa catatan-catatan unik yang dijumpai?

Kayak yang gue bilang tadi. Gue melakukan ini dengan penuh keikhlasan, tidak mengharapkan pamrih apa-apa. Jadi, karena mengerjakan dengan ikhlas, gue tidak pernah merasa ada yang sulit dalam melakukan kegiatan seperti ini.

Hasilnya seperti apa jika dibandingkan pada saat kegiatan ini dimulai?

Ya bisa dilihat sekarang. Kali menjadi tampak lebih bersih. Banyak orang menggantungkan hidupnya dari sini. Di sepanjang kali ini, sudah berapa banyak orang yang bisa hidup lantaran kali ini bersih. Mereka bisa bikin usaha masing-masing. Ada yang bikin tambak ikan, ada yang bikin pemancingan, ada yang bikin tempat wisata. Kalau kali ini kotor, gak bakal orang-orang di sekitarnya bisa hidup dalam jangka waktu lama.

Gue juga bikin lingkungan di sekitar ini dengan nama Hutan Kota Sangga Buana. Luasnya sekitar 40 hektare. Di sini Gue lestarikan tuh tanaman-tanaman. Gue tanam pohon-pohon dan tumbuhan-tumbuhan disini. Gue ternak kuda, kambing, kelinci, ayam, bebek, dan lain-lain.

Di Hutan Kota ini, orang bisa sesukanya datang. Duduk-duduk di sini. Menikmati kelestarian alam di sini. Anak-anak bisa main di sini. Orang-orang di sekitar sini menjadikan tempat ini sebagai tempat mereka berkumpul. Mereka bersosialisasi di sini. Ada wadah untuk mereka bertemu dan berkomunikasi. Sekarang sudah tidak ada lagi yang namanya (suku) Jawa, Sunda, Betawi, Batak, Ambon, dan mana saja. Semua berkumpul di sini, bercengkrama di sni, ngobrol di sini.

Kenapa gue buat tempat ini? Waktu gue muda dulu, pernah berkhayal di Candi Borobudur. Dulu gue berkhayal, kalau zaman raja-raja kita bertemu rakyatnya di pasar atau tempat keramaian lainnya. Gue pengen kayak gitu. Semua orang bisa bertemu di satu tempat, ramai-ramai. Hutan Kota ini fungsinya juga seperti itu lah.

Anak-anak muda yang mau datang kemari, melakukan kegiatan jaga lingkungan juga ada. Aspirasi anak muda jadi dituangkan di sini. Daripada mereka bikin kegiatan-kegiatan yang tidak-tidak, lebih baik membersihkan kali, bantu-bantu melestarikan alam. Makanya, sekarang banyak anak muda yang malah jadi teroris. Itu lantaran gak ada lagi wadah mereka buat mengapresiasikan diri mereka masing-masing. Kalau ada tempat seperti ini kan jadi ada wadah untuk mereka mengapresiasikan apa yang mereka mau. Mereka bisa sekedar nongkrong-nongkrong,kongkow-kongkow di sini.

Apa target dan rencana ke depan untuk semakin meningkatkan pemberdayaan ini?

Gue cuma mau 20 tahun ke depan area disini semakin terjaga kelesatariannya. Gue juga mau wilayah di sekitaran kali ini, hingga mana-mana menjadi semakin lestari. Dan gue bakal terus melakukan kegiatan-kegiatan yang sudah gue jalankan ini.

Seperti apa governance dari kegiatan ini? Bagaimana bentuk pertanggungjawaban dari dana-dana yang masuk? Bagaimana laporan keuangan kegiatan ini? Siapa yang mengontrol?

Gue gak mikirin yang kayak begitu-begituan. Gue cuma bersihin kali, ternak kambing dan hewan-hewan lain, bersosialisasi dengan orang-orang di sini, sudah! Kalau ada yang mau datang membantu, ya datang aja kemari.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved