Editor's Choice Entrepreneur

Dafam Group, Jagoan Perhotelan dari Semarang

Dafam Group, Jagoan Perhotelan dari Semarang

Dafam Group baru dibentuk pada tahun 2010, namun pada akhir tahun 2013 lalu mampu membukukan pemasukan sebesar Rp180 miliar per tahun. Kesuksesan ini tidak lepas dari tangan dingin Billy Dahlan selaku Direktur Utama Dafam Group dalam mengelola lini bisnisnya, yang tidak hanya bergerak di bidang hospitality saja, melainkan juga bidang-bidang lain seperti management hotel, entertainment, serta properti. Bagaimana lika-likunya dalam membesarkan Dafam Group? Billy Dahlan menuturkannya kepada Fardil Khalidi dari SWA Online berikut ini:

Dafam

Bisa diceritakan awal mula ketertarikannya menjajaki dunia perhotelan?

Awalnya seperti ini, kami ada beberapa perusahaan keluarga yang dikelola oleh ayah saya, Soleh Dahlan, yakni sarang burung walet, farmasi, pabrik rokok yang menjadi mitra produksi Sampoerna. Namun saya tidak melihat adanya peningkatan, sarang burung walet panennya sedikit, harga jual jatuh. Perusahaan farmasi saat 2006 sudah dijual. Lantas hanya menyisakan pabrik rokok yang terletak di Tegal. Walaupun memiliki 2.000 karyawan saya belum mendapatkan passion.

Saat 2006, ketika saya lulus kuliah sempat menjalankan usaha ayah saya, yakni pabrik rokok. Tapi karena tidak terlalu prospektif menurut saya, jadi sempet buka beberapa bisnis lain seperti bisnis PLN, trading and supply, finansial, hingga bisnis tanaman. Namun hampir keseluruhannya tidak begitu jalan.

Pada 2009, kala itu saya bertemu dengan Pak Andhy Irawan, seorang General Manager dari suatu hotel swasta. Saya mulai melakukan pembicaraan dengannya untuk bekerja sama di bidang perhotelan. Jadilah pada 2009 kita melakukan perencanaan bisnis ini, dan 2010 mulai bangun satu hotel, yakni hotel Dafam Semarang, hotel pertama dari Dafam Group. Jadi, nama Dafam Sendiri baru resmi dikenalkan pada tahun 2010 tersebut.

Bagaimana awal mula penetrasi anda bersama pak Andhy Irawan dalam mengembangkan jaringan hotel hingga begitu luas seperti saat ini?

Jadi saat 2010 kami baru punya satu hotel, yakni Dafam Group Semarang. Pada 2010 akhir kami putuskan untuk take over mal di Pekalongan jadi hotel Marlin. Jadi dalam setahun kami memiliki dua hotel.

Saat itu kami merasa kok dengan manuver seperti ini ternyata cocok. Akhirnya kami pun putuskan untuk ekspansi ke Cilacap, yakni dengan takeover salah satu hotel lama di sana, tepatnya di tahun 2011. Hotel lama di sana, kami renovasi dan operasikan.

Setelah itu kami merealisasikan pembangunan hotel di Pekalongan, masih di tahun yang sama yakni 2011. Jadi dalam dua tahun semenjak Dafam berdiri, kami telah memiliki empat hotel.

Kemudian bagaimana awal mulainya Dafam Group menjadi manajemen hotel?

Begini, berdasarkan diskusi saya dengan Pak Andhy Irawan, kami menyimpulkan bahwa dunia properti pada saat itu sedang mengalami masa emas, karena dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Hal tersebut ditandai dengan menjamurnya beberapa hotel lain di satu wilayah tersebut. Akhirnya kami pun putuskan untuk membuat satu tim untuk menjalankan bisnis operator hotel untuk mengelola hotel – hotel yang baru bermunculan pada saat itu.

Kami bentuk satu tim yang terdiri dari 30 orang khusus untuk operator hotel tersebut. Alhasil, sampai 2014 ini kami sudah berhasil menjalin agreement dengan total 40 hotel yang tersebar di Indonesia. Sementara yang sudah running totalnya 14 hotel, termasuk hotel kita sendiri. Adapun rencananya 2015, 40 hotel tersebut sudah running.

Dafam(tegak)

Apakah itu berarti ada dua perusahaan berbeda? Ya, untuk pembangunan hotel dengan operator hotel kami petakan hirarkinya berbeda. Yang pembangunan dibentuk dengan nama PT Dafam Line, sementara operator hotel adala PT Dafam Hotel Indonesia. Namun keduanya saling sinergi satu sama lain dalam satu kesatuan Dafam Group.

Antara Anda dengan Pak Andhy, bagaimana posisinya dalam perusahan?

Pak Andhy, merupakan hotelier terbaik yang pernah saya kenal. Awalnya saya temui ia kala itu masih menjabat sebagai GM di suatu hotel di Semarang. Namun sekarang ia merupakan managing director untuk divisi PT Dafam Hotel.

Sementara saya, jujur saja, tidak punya spesifik skill dalam bidang perhotelan. Adapun secara pribadi saya cenderung men-set up bisnis ini secara general, mulai dari manajemen, finansial, SDM, relasinya, saya coba bangun di situ. Termasuk juga dari sisi networking bisnis, seperti deal soal properti, menggandeng mitra bisnis, set up project, negosiasi, dll.

Sedangkan Pak Andhy, lebih ke pada sisi teknis hotelnya karena berbekal capability-nya di bidang pehotelan. Jadi, ia merupakan sosok yang tepat untuk me-running divisi hotel ini.

Berapa nilai investasi dari tiap hotel yang Anda bangun/miliki?

Soal investasi hotel itu terbagi ke dalam beberapa kelas, yakni: Bintang 2 : ranging antara Rp30 – Rp40 milira seperti Miotel dan Dafam Express Bintang 3 : ranging antara Rp60 – Rp70 miliar seperti Dafam Hotel Semarang Bintang 4 : ranging antara Rp90 – Rp120 miliar seperti Grand Dafam Yogyakarta Bintang 5 : investasi unlimited, ada tapi belum launching. Kenapa unlimited? Karena diproyeksikan untuk membuat settle orang-orang dengan keuangan yang banyak.

Bagaimana Anda melihat peta persaingan dunia perhotelan saat ini?

Sejak 2010 kita ketahui bahwa sudah ada beberapa pemain besar di kelasnya seperti Accor Group, Harris, Aston, Novotel, Amaris dll. Sekarang? Sudah pasti berambah banyak. Saat pertama kali berdiri di Semarang, itu pesaingnya baru 7. Sekarang sudah sekitar 20 – 25 hotel. Di sini terlihat pengembangan industri hotel di kota- kota yang prospektif seperti Semarang ini begitu pesat.

Apa strategi yang Anda terapkan untuk leading?

Mungkin bagi sebagian pemain bisnis perhotelan memandang bahwa jika belum punya hotel di Jakarta belum bisa dikatakan pemain nasional, walaupun punya berpuluh-puluh hotel di daerah. Mungkin itu benar, namun ini merupakan bagian dari strategi kami yakni dengan menggarap di 2nd / 3rd cities terlebih dahulu. Ya seperti strategi gerilya.

Kenapa 2nd / 3rd cities terlebih dahulu? Karena dari situ kami baca trennya lebih mudah ketimbang di Jakarta, yang sudah banyak pemain di bisnis ini, serta investasi yang besar. Kalau di 2nd / 3rd cities kami lebih mudah membaca trennya. Paling tidak 3 – 5 tahun ke depan, Semarang misallnya, perkembangan kotanya bisa seperti Surabaya. Surabaya 3 – 5 tahun ke depan seperti Jakarta, Jakarta 3 – 5 tahun ke depan seperti Singapura. Singapura 3 – 5 tahun ke depan seperti London / New York. Kira – kira trennya seperti itu.

Hal lain adalah karena di 2nd / 3rd cities kompetitornya tidak terlalu banyak. Jadi kami bisa berdiri sebagai pionir.

Faktor apa saja yang menjadi pertimbangan Anda membangun hotel di suatu kota?

Banyak sekali. Salah satunya adalah tren kota tersebut, seperti ada proyek apa yang sedang berjalan di sana, daya serap serta mobilitas masyarakat antar kota seperti apa, serta bagaimana pariwisatanya.

Misalnya saja Cilacap, di sana sedang berlangsung proyek kilang minyak Pertamina, pabrik Holcim, industri perkapalan, serta pariwisatanya juga sedang digenjot. Amazingly dari sekian hotel yang kita miliki, Hotel di Cilacap leading di antara hotel – hotel grup kita, performing-nya paling bagus.

Nah, dari sini tren tersebut bisa terbaca, bahwa kemajuan suatu kota, dilihat dari berbagai aspek seperti pembangunan, industri, serta pariwisata merupakan modal penting. Karena pasti mereka membutuhkan akomodasi yang memadai untuk men-support aktivitas tersebut.

Bicara soal Cilacap, yang kami dapati juga, ternyata pasca pembangunan hotel di sana, beberapa hotel lain juga masuk. Nah, ini juga menurut saya bisa menjadi faktor pendongkrak revenue , baik itu dari segi aset, okupansi, tanah, bisnis value pun meningkat.

Bentuk kerja sama yang Anda jalin dengan berbagai mitra seperti apa?

Mulai dari yang kita running sendiri. Ada beberapa bentuk kerja sama misalnya, ada seorang pengusaha land rent, pengen diinvestasikan, kemudian kami terima, kami dirikan hotel. Pada kasus seperti ini bentuk kerja samanya adalah investasi, adapun yang diinvestasikan pihak ke dua adalah lahannya. Kemudian jika ada hotel lama, gak menutup kemungkinan untuk kita take over, kita percantik. Selain itu, bisa kami juga tidak menutup kemungkinan untuk para investor masuk guna melakukan ekspansi / penambahan aset.

Sementara itu, yang secara bisnis operator hotel, kami menggandeng individual, di mana mereka merupakan pengusaha yang membangun hotel dan butuh support kita untuk perencanaan, setting awal, recruitment, training, project, hingga ke manajemennya. Adapun jumlah pengusaha hotel secara individu ini jumlahnya sekitar 85% dari total hotel yang kita operasikan, sisanya ya hotel sendiri. Adapun keuntungan yang bisa kita peroleh adalah dari biaya operasional yang mereka bayarkan ke kami.

Ada juga baru-baru ini kami menjalin kerja sama dengan PT Pos, yang minta dibangunkan hotel sebanyak 5 hotel. Kalau yang ini keuntungannya dalam bentuk profit sharing. Intinysa sih kerja sama dilakukan se-fleksibel mungkin.

Berapa okupansi rata – rata tiap hotel?

Sangat positif. Hampir setiap hotel yang berada pada manajemen kami tidak kurang dari 80% setiap tahunnya. Hal ini karena lokasi yang kita pilih cukup strategis.

Untuk mencapai BEP dari satu hotel berapa tahun dibutuhkan? Mencapai BEP itu sekitar 7 – 8 tahun

Bisa digambarkan jaringan hotel yang Anda miliki?

Dari ke 40 hotel yang sudah / akan kami operasikan, beberapa tersebar di berbagai kota di Indonesia. Misalnya saja hotel Arawana, yang merupakan hotel yang telah kita take over di Pekanbaru pada 2013 akhir lalu. Kemudian di Palembang ada hotel mal. Di Lampung ada dua hotel lagi. Kemudian ada juga di Palembang, Bali. Beberapa juga sedang dalam proses tindak agreement yakni di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara. Nah, Senin tanggal 21 Juli 2014, kami meresmikan satu hotel baru lagi di Bandung. Jadi degan demikian, bisa dikatakan, hampir seluruh Indonesia kami sudah straight out.

Berapa omset yang anda dapatkan? Pergerakan dari tahun ke tahun bagaimana? Untuk Dafam Group saja di luar rokok dan usaha family itu sebesar : 2010: Rp5 miliar; 2011 sebesar Rp60 miliar; tahun 2012 Rp120 miliar; pada 2013 nilainya Rp180 miliar dan tahun 2014 sebesar Rp300 miliar.

Disamping bisnis hotel, apa lagi bisnis yang Anda jalankan?

Ya, dalam satu lingkup Group Dafam. Selain bisnis hotel, kami juga menjalankan bisnis entertainment (karaoke, resto, bar, lounge, studio musik, dll) serta bisnis properti (perumahan). Kalau bisnis hotel adalah bisnis jangka panjang, kedua bisnis ini masuk katagori jangka pendek. Tujuannya ya untuk balancing saja, ada long term, ada short term.

Untuk lokasinya sendiri hampir di seluruh Jawa Tengah ada, yakni di Cilacap, Purworkerto, Pekalongan, Semarang, Jogja, dan Solo.

Apa key factor yang membawa Anda sukses di bisnis ini?

Secara grup kita tidak terbentuk by design. Artinya tidak melalui perencanaan yang benar-benar matang, melainkan by nature / by insting. Kemudian harus berani ambil risiko serta bertanggung jawab. Dengan kata lain, we’re not plan ahead, melainkan ahead of plan.

Kami berdiri satu langkah di depan rencana. Sehingga sewaktu -waktu terjadi deal – deal yang tidak diduga, kami siap, baik secara finansial, SDM, manajemen, dll. Begitu pun dengan kesempatan-kesempatan yang lewat di depan kita, kita ambil sebisa mungkin namun tidak merasa kewalahan.

Saya mengagumi sosok Sandiaga Uno, dan mencoba mempraktekkan prinsip kerja beliau, yakni kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas, kerja ikhlas. Dan itu saya implikasikan sebagai dasar bisnis saya. Kerja keras dan kerja cerdas seperti yang kita ketahui itu penting, dalam artian harus gigih namun pandai menyiasati suatu obstacle. Tapi yang tidak kalah penting kerja tuntas, dalam artian setiap masalah pasti selalu datang silih berganti, dan itu sesuai tanggung jawab, harus diselesaikan secara tuntas. Perkara hasilnya nanti bagaimana, kadang ada yang memuaskan, kadang ada yang tidak memuaskan, kita harus menerimanya dengan ikhlas.

Pernah mengalami masa sulit?

Pernah suatu ketika di tahun 2010, saya melakukan pengembangan yang terlalu pesat, seolah tidak punya rem. Dalam waktu dua tahun saya mendirikan empat hotel di mana pendanaannya masih dari hutang bank. Padahal saya sama sekali belum memiliki pengalaman di bisnis hotel tersebut, bahkan banyak sekali risiko yang saya sendiri tidak mengetahui konsekuensinya. Hingga sampai puncaknya, saya tidak mampu bayar cicilan hutang, cash flow kita bocor. Dan saya sempat khawatir bahwa bisnis ini tidak akan bertahan lama.

Akhirnya saya putar otak melakukan rekonsiliasi di berbagai aspek, secara SDM, manajemen, hingga sampai titik tertentu pengembangan bisnis sudah jauh ke depan. Akhirnya saya beranikan untuk membuka bisnis selain di perhotelan, yakni perumahan yang dipegang adik saya, Junaidi Dahlan, serta entertainment yang dipegang kakak saya, Wijaya Dahlan, yang sebenarnya sudah beroperasi sebelum bisnis hotel terbentuk, namun baru kali ini saya betul-betul fokuskan.

Tujuannya apa? Karena begini, bisnis hotel itu kan long term, kami merasa perlu adanya penyeimbang cashflow, jadilah kami sasar dua bisnis tersebut sebagai bisnis short term kami. We’re creating that to cover, jadi pada akhirnya menjadi subsidi silang. Itulah yang membuat bisnis perhotelan kami tetap berjalan. (***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved