Editor's Choice Entrepreneur

Didiet Maulana, Sang Maestro Tenun Ikat

Didiet Maulana, Sang Maestro Tenun Ikat

Di KTT APEC 2013 lalu, para menteri peserta perhelatan akbar ini menggunakan baju produksi IKAT Indonesia yang dibesut Didiet Maulana. Di tahun 2013 lalu juga, rancangan Didiet dipakai Maudy Koesnaedi untuk hadir di sebuah festival di Cannes. Pencapaian tersebut tentu menunjukkan bahwa produk rancangan Didiet Maulana berupa busana maupun pakaian ready to wear bukan produk biasa. Diluncurkan 29 Juli 2011, kini produk rancangannya semakin dikenal publik. Lebih lanjut mengenai usaha yang digeluti lulusan Arsitektur Universitas Parahyangan ini dituturkan kepada Rif’atul Mahmudah:

Didit Maulana (utama)

Apa latar belakang meluncurkan produk ini?

Jadi latar belakang saya dulu kuliah Arsitektur di Universitas Parahyangan, Bandung. Saya memang punya hobi menggambar. Dari kecil saya suka gambar orang dan mendetilkan orang ini menggunakan pakaian dan tas seperti apa. Ada ketertarikan pada sketsa. Selepas lulus kuliah, saya bekerja di MTV dan di PT Gilang Agung Persada menangani Marcomm Division untuk merek internasional hingga kemudian saya tergerak untuk menyumbangkan sesuatu buat negeri ini. Waktu itu saya lihat sedang heboh kita merasa tidak terima karena batik mau diakui negara lain. Di titik tersebut, saya melihat demam batik belum seperti sekarang.

Jadi saya melihat, jangan sampai nanti kita melakukan kesalahan yang sama, ada kekayaan budaya yang akan diakui negara lain karena tidak kita kelola dengan baik. Ide pemikiran dimulai akhir 2010, saya tergerak karena teman dekat saya yang kemudian jadi mentor, Edward Hutabarat melansir Part One dia. Brand batik diberi warna moderen. Saya ingin membuat sesuatu dengan produk Nusantara yang lain, kemudian saya pilih tenun ikat.

Kenapa Anda memilih tenun?

Kenapa memilih tenun karena menurut saya, yang memiliki potensi setelah batik adalah tenun. Secara perajinnya sudah terbentuk, sekarang tinggal bagaimana menciptakan demand-nya.

Didit Maulana

Produknya apa saja? Siapa saja yang disasar?

Setahun pertama, saya buat ready to wear untuk pasar perempuan. Kemudian demand untuk pasar laki-laki meningkat, saya mengeluarkan Men’sCollection, yang dibintangi Nicholas Saputra tahun 2012. Pada waktu itu belum populer kain tenun ikat dijadikan blazer, jaket, celana dan sebagainya. Sekarang semuanya melakukan. Kemudian berkembang, pertengahan 2012 banyak permintaan kebaya, baik kebaya kurung maupun kebaya nasional yang bisa digunakan dengan tenun ikat. Kemudian 21 April 2012 saya launching kebaya.

Kemana saja produk Anda dipasarkan? Seperti apa coverage-nya?

Saat ini kami konsentrasi berjualan di butik kami Jl. Dempo 1 No.59 Jakarta Selatan. Kemudian ada di Bali dan juga di Alun-Alun Grand Indonesia dan Galleries Lafayette.

Positioning produk Anda seperti apa?

Positioning kami kalau dilihat dari level harga, dari 1,7 juta sampai 5,9 juta. First line ini, Swarna, saya launching 2013, ini yang range-nya di atas 25 juta. Jadi, saya main di level A dan B. Kalau saya lihat sekarang, untuk range harga untuk ready to wear dibuat seperti level A dan B.

Bagaimana Anda menarik minat mereka, terutama untuk level A atau A+?

Mereka yang ada di level A dan A+ ini adalah orang yang terbiasa menggunakan brand internasional. Terbiasa dengan kualitas pelayanan yang plus plus juga. Kalau sekarang lebih mudah karena di kalangan A dan A+ sudah terbiasa menggunakan Ikat Indonesia. Tetapi bagaimana memunculkan demand, dan memunculkan bahwa tenun ikat cocok juga untuk kelas A dan A+ ini yang menjadi PR. Sehingga saya banyak dibantu teman-teman selebritis dan para influencer yang berpengaruh di lingkungannya sehingga saya membawa tenun ikat ini tidak hanya cocok dipakai untuk acara-acara tradisional tetapi juga untuk acara formal atau acara internasional seperti Maudy di Cannes.

Bagaimana terobosan pemasaran yang dilakukan?

Terobosan pemasaran dengan konsentrasi dan fokus memakai medium komunikasi yang sama untuk beberapa periode tertentu. Intinya konsisten.

Bagaimana memanfaatkan media sosial maupun komunitas-komunitas yang ada (termasuk Jakarta Fashion Week, dll)?

Media Soisal adalah media di mana kita bisa berhubungan dengan dunia luar. Di mana semua pertanyaan atau masukan dari orang bisa kita dapatkan. Sangat menarik karena bisa mempermudah jalur komunikasi dan membawa materi lokal kepada audience yang lebih mendunia. Kalau komunitas seperti acara-acara fashion, menurut saya adalah ajang yang sangat baik untuk menggelar koleksi terbaru, karena biasanya didukung oleh banyak media. Bisa menjadi ajang untuk berjualan kepada buyer yang lebih luas juga.

Bagaimana kinerja bisnisnya saat ini?

Business growthnya baik. Bisa dikatakan development-nya naik dan kami akan jaga grafik ini tentunya. Belum ada ekspansi bisnis untuk membuka gerai sendiri di mal, karena kami masih ingin konsentrasikan energi kami pada pembangunan lini terbaru yaitu uniform/seragam.

Bagaimana liku-liku mengawali bisnis, mulai dari merancang desain, mencari bahan baku, mencari tempat untuk memproduksi, kisah-kisah awal saat menawarkan produk, kesulitan-kesulitan yang pernah dihadapi ?

Bisnis kreatif ini dibangun dengan cinta dan kepercayaan. Beberapa tahun lalu perajin belum sebanyak sekarang. Sehingga antara demand dan supply sering tidak berimbang. Namun sekarang semakin banyak perajin dan pemerintah daerah semakin positif dan aktif mendorong pelaku usaha tersebut. Yang diuntungkan adalah kami para pengguna bahan tersebut. Lika liku pasti ada. Mulai dari plagiat model busana hingga bahan tekstil yang sudah dibuat namun dijual kepada pihak lain. Awalnya pun banyak yang belum yakin dengan saya karena tidak ada latar belakang fashion. Tetapi kami menyikapinya secara positif, artinya harus semakin kreatif menelurkan ide-ide baru.

Bagaimana agar bisnis ini terus berlanjut?

Terus menjaga kelangsungan populernya agar masyarakat terus terinspirasi dan bisnis akan berjalan sebagaimana mestinya. (***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved