Entrepreneur

Lyra Puspa, Membangun Teknik Coaching Bisnis Ala Indonesia

Lyra Puspa, Membangun Teknik Coaching Bisnis Ala Indonesia

Setelah memutuskan berhenti dari profesi sebagai eksekutif disebuah perusahaan tahun 1999 , Lyra Puspa bersama sang suami memutuskan untuk membangun bisnis sendiri. Suami isteri yang sama-sama mengantongi gelar MBA dari PPM School of Management tahun 2000 itu kemudian mulai membangun bisnis warung telepon (wartel) yang sangat booming di masa itu. Setelah berjalan 3 tahun skala bisnisnya membesar, konsepnya pun menjadi integrasi antara wartel, warnet, jasa foto copy dan kebutuhan perlengakapan kantor lainnya, hingga akhirnya sayap bisnisnya berkembang hingga ke bidang otomotif, properti, dan sebagainya.

Kini Lyra telah membangun sebuah lembaga coaching bisnis yang diber nama Vanaya Institute, tetapi apa latar belakangnya berpindah jalur dari pebisnis menjadi coach bisnis? Bagaimana lika-likunya menjadi coach? Berikut kutipan wawancara reporter SWA Online, Arie Liliyah dengan Lyra Puspa di Jakarta (7/4).

Lyra Puspa Founder Vanaya InstituteApa yang melatar belakangi Anda mendirikan lembaga coaching bisnis?

Jadi setelah saya dan suami membangun beberapa bisnis kami, kami berdua jadi sering diminta menjadi pembicara di seminar-seminar wirausaha, itu sangat tren mulai tahun 2005-2006. Kami jga jadi mentor untuk membina UMKM dalam bentuk workshop dan lain sebagainya. Dari sana saya menemukan bahwa persentase UMKM yang bisa “naik kelas” setelah ikut seminar atau pelatihan itu sangat kecil sekali, dari 10 mungkin hanya 1-2 UMKM yang bisa naik kelas.

Saya lalu bertanya-tanya, apa ada yang salah dengan seminar dan pelatihan? Ternyata kuncinya ada pada diri si pelaku usaha itu sendiri. Maka saya mencari metode apa yang paling pas untuk menumbuhkan potensi dari si pelaku usaha itu sendiri, bukan bimbingan soal teknis berbisnis tetapi menggali kelemahan dan kekuatan diri sendiri. Akhirnya saya temukan coaching.

Bagaimana mulanya Anda membangun Vanaya Institute? Apakah Anda harus memiliki lisensi atau sertifikasi khusus?

Jadi setelah megikuti coaching yang pertama, saya merasakan damapaknya powerfull, lalu saya bicarakan dengan tiga orang rekan yang masih jalan bersama membangun Indonesia Bisnis Forum saat itu. Jadi tepatnya tahun 2007 kami bangun Vanaya Institute, tetapi hingga tahun 2012 kami masih terus mengekplor metode yang tepat dan lembaga yang bisa kami gandeng. Saya lalu keliling mengikuti coaching dari berbagai lembaga sampai akhirnya ketemu Erickson Collage International yang bermarkas di Vancouver Kanada. Saya sendiri kemudian mendapatkan sertikat sebagai coach dari International Coach Federation.

Mengapa memilih menggandeng Erickson Collage International?

Ini tujuannya agar kami bisa memberikan coaching yang terstandar, tersertifikasi dan kredibel. Karena di Indonesia ada banyak yang menyelenggarakan coaching tetapi belum tersertifikasi dan kredibel.

Apa perbedaan mendasar antara coaching dan motivasi bisnis?

Jadi perbedaan mendasarnya adlah pada metodenya. Dalam coaching yang dilakukan adalah menjalin komunikasi yang indepth agar seseorang bisa memetakan sendiri masalah atau tantangannya kemudian menemukan sendiri solusi untuk mencapai tujuan baik pribadi maupu organisasi. Sedangkan motivator dalam seminar misalnya, memberikan motivasi dan bahkan solusinya.

Setelah 8 tahun menjalankan coaching untuk berbagai skala bisnis, apa permasalahan yang paling sering dihadapi para pebisnis berdasarkan kelas bisnisnya?

Setiap level bisnis berbeda masalahnya. Kami pernah melakukan pendampingan untuk yang level super mikro, yang penghasilannya sekitar Rp 20 ribu per hari, mereka umumnya berpendidikan rendah. Ini secara umum masalah mereka adlah soal mengenal dan menghargai diri sendiri, terutama untuk pelaku usaha mikro yang peempuan, mereka mendapat tantangan terutama soal apresiasi dan dukungan dari suami. Bahkan mereka yang menjadi tulang punggung keluarga.

Lalu di level kedua, ini kelas UKM, jadi skala bisnisnya kecil menengah dan menengah. Mereka umumnya sudah berpendidikan tinggi, SLTA atau sarjana. Di kelompok ini maslah mereka umumnya soal management waktu dan masalah konsistensi mengikuti aturan dalam manajemen resiko.

Kemudian untuk mereka yang skala bisnisnya sudah menengah ke atas atau sudah besar, mereka menghadapi masalah bisnis yang umum, seperti produktivitas, kompetisi, wealth achievment serta menjaga keseimbangan antara bisnis dan kehidupan pribadi.

Apa tantangannya menjadi seorang coach ?

Sebenarnya tantangan dalam oaching itu justru jadi penyemangat saya. Contohnya soal komunikasi, saya pernah harus menemukan metode yang tepat untuk meng-coaching klien saya yang tuna rungu. Itu tantangan yang membuat saya lebih semangat mengeksplor metode-metode baru.

Apa impian yang masih ingin dicapai dalam dunia coaching ?

Sejauh ini metode coaching masih berkiblat ke barat. Saya ingin membuat metode yang berakar dari budaya Indonesia, sehingga lebih mengena dengan latar belakang budaya dan cara berpikir klien yang orang Indonesia, dan tumbuh besar dengan budaya Indonesia. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved