Entrepreneur

Perjuangan Kuncarsono Berbisnis Cinderamata "Jadul"

Perjuangan Kuncarsono Berbisnis Cinderamata "Jadul"

Hobi menggambar berpadu dengan gairah konservasi budaya menjadi kunci sukses Kuncarsono Prasetyo membesarkan bisnis cinderamata yang berkonsep Surabaya tempo dulu. Meski perjalanannya diwarnai banyak hambatan, kini dia sukses meraup omset miliaran Rupiah per tahun.

Mantan wartawan Harian Surya yang dua kali menyabet penghargaan jurnalistik Anugerah Adiwarta Sampoerna itu mengaku mulai serius berbisnis pada 2010. “Saya selalu total dalam berkarier. Karena itu, saya pilih mengundurkan diri dari perusahaan untuk membesarkan Sawoong,” ujar pria kelahiran Balongsari, Kecamatan Tandes, Surabaya, 1 Maret 1977, ini.

Kuncarsono Prasetyo, Pendiri Sawoong

Kuncarsono Prasetyo, Pendiri Sawoong

Konsep Sawoong yang berupaya mengampanyekan konservasi cagar budaya di Surabaya sesungguhnya muncul saat dirinya menjadi wartawan. Ceritanya, pada 2004, alumni FISIP Universitas Airlangga itu memergoki upaya pembongkaran Stasiun Surabaya Kota atau yang dikenal dengan sebutan Stasiun Semut di Surabaya.

“Ketika itu, saya tidak hanya liputan, tetapi belajar tentang restorasi dan advokasi. Saya tampaknya melibatkan diri terlalu dalam untuk urusan cagar budaya, sampai menjadi bagian dari tim advokasi. Syukur, bangunan itu akhirnya gagal dibongkar dan direstorasi,” ungkapnya menceritakan kisah penyelamatan stasiun tertua di Indonesia itu.

Dari peristiwa itu, muncul ide sederhana di benak Kuncarsono yang hobi menggambar sejak kecil, yakni mengedukasi soal cagar budaya tetapi dengan gaya kasual nan ringan. Tujuannya, agar anak muda merasa ikut memiliki warisan budaya. “Visinya sih sebagai upaya kampanye bersama penyelamatan warisan budaya,” dia menjelaskan filosofi Sawoong. Produknya menyasar usia 25-30 tahun, segmen yang dirasanya cukup matang untuk mencerna pesan-pesan Sawoong sekaligus memiliki daya beli yang memadai.

Pada 2009, sembari menjalankan tugas kewartawanan, dia mulai mewujudkan idenya dengan membuat kaus bergambar khas Surabaya tempo dulu. Modal pribadi sebesar Rp 4 juta digunakan untuk memproduksi 100 kaus, biaya sewa pameran, dan menggaji beberapa pegawainya. Meski produksi kausnya dialihdayakan ke pihak ketiga, saat permintaan membesar, dia mulai kesulitan membagi waktu. Ditambah lagi, dia kerap mengikuti pameran di Surabaya demi memopulerkan Sawoong. “Sampai kemudian saya memilih resign tahun 2010,” katanya.

Kuncarsono memang serius membesarkan bisnisnya. Gambar-gambar yang dibuatnya bukan sekadar hasil imajinasi, tetapi berdasarkan hasil riset mendalam. Dia kerap berdiskusi dengan ahli sejarah dan budaya, belajar dari para desainer berpengalaman, hingga mengunjungi berbagai tempat lawas di Surabaya, salah satunya makam kuno. “Kalau ingin tahu tren desain setiap zaman, tinggal melihat saja tahun berapa orang itu dimakamkan. Bentuk makam dan ornamen desain prasastinya berbeda setiap tahun,” ujarnya.

Ketekunan itu didasari keinginannya untuk menghasilkan produk dengan desain yang kuat dan unik. Setiap desain Sawoong berciri khas Surabaya jadul alias zaman dulu, termasuk kata-katanya. “Orang yang membeli Sawoong akan menemukan hal unik. Bahkan, sampai ejaan kami menggunakan ejaan lama. Ini kekuatan Sawoong, semua dari riset,” paparnya.

Keunikan Sawoong terbukti mampu mengangkatnya memasuki museum rokok terbesar di Indonesia, House of Sampoerna (HoS), yang berlokasi di Surabaya. Ceritanya, saat Kuncarsono tengah pameran di mal, gerainya didatangi seseorang yang ternyata general manager HoS. “Dia tertarik dan akhirnya mengajak saya kerja sama di HoS. Saat itu rasanya tidak percaya, kerja sampingan yang main-main itu ditawari untuk menempati shop di museum rokok terbesar, tempat wisata utama Surabaya. Dari situ, Sawoong berkembang. Permintaan banyak, varian bertambah. Sampai kami kewalahan melayani,” tuturnya.

Permintaan yang meroket membawa tantangan tersendiri. Kuncarsono kepayahan mengimbangi kapasitas produksi dengan permintaan pasar. Apalagi, mitra penjahitnya tak lagi mampu menghasilkan produk berkualitas baik dan keteteran memenuhi tenggat. Setelah tujuh kali berganti mitra penjahit, dia memutuskan memproduksi sendiri. “Saya merasa lelah, bahkan terpikir tutup saja,” katanya mengenang.

Untung saja, dia memutuskan satu usaha terakhir sebelum berhenti, yakni membuka bengkel kerja sendiri. Modal Rp 12 juta dikucurkan untuk membeli mesin jahit dan peralatan sablon, serta sewa tempat dua tahun di garasi rumah kosong milik tetangga, juga gaji seorang tukang jahit dan satu tukang sablon.

Ujian lain sempat menerpa kembali. Dari diusir dari lokasi produksinya hingga ditinggal pekerja andalan. Berkat kegigihannya, satu per satu masalah bisa diatasi. Perjuangannya tak sia-sia. Dengan bantuan 24 karyawan tetap, puluhan pekerja lepas dan juga plasma yang dibinanya, dia kini mampu menghasilkan 10 ribu kaus oblong saban bulan. Dia bahkan mampu meluaskan lini produknya dengan aneka produk lain seperti mug, pin, jaket, kemeja, tumbler, tas, hingga kartu pos.

Hebatnya lagi, tahun lalu dia mampu membeli sebuah rumah cagar budaya seluas 350 m2 untuk basis produksi sekaligus gerai Sawoong. “Ini rumah cagar budaya, berdiri tahun 1907. Saya membutuhkan waktu untuk konservasi rumah ini untuk mengembalikan bentuk seperti saat rumah itu dibangun. Menarik, karena ini pas dengan passion saya,” ungkapnya dengan nada gembira.

Produk-produk Sawoong kini bisa diperoleh di berbagai gerainya di Mal Cito Surabaya, Plaza Jembatan Merah 2, House of Sampoerna, Terminal 2 Bandara Juanda, hingga di galeri Utama Jl. Makam Peneleh 46. “Awal tahun ini kami sedang develop platform e-commerce untuk menyasar penjualan melalui online,” ungkapnya.

Selain penjualan ritel, klien korporat menjadi pelanggannya seperti Olympic Spring Bed, Semen Indonesia, Adira Finance, dan beberapa bank. “Bahkan, pasar kami hingga ke Timor Leste dan beberapa perusahaan di Australia,” katanya. Tahun lalu, Sawoong menembus omset hingga Rp 3,1 miliar.

Rani Anggraini, Manajer Pemasaran House of Sampoerna, memaparkan, pihaknya tertarik membantu Sawoong karena memang memiliki program pembinaan usaha kecil-menengah (UKM). Selain itu, desain Sawoong yang unik turut memperkuat minat HoS. “Konsep desain produk Sawoong yang mengedepankan sejarah Kota Surabaya membuat Sawoong memiliki daya tarik tersendiri dibanding produk-produk sejenis,” ujarnya.

Rani mengakui, produk Sawoong di HoS mendapat sambutan yang baik dari pengunjung museum. “Hasil penjualan itu pun melebihi penjualan di outlet Sawoong di beberapa mal di Surabaya,” ungkap Rani melalui sambungan telepon.

Sebagai salah satu UKM yang berhasil dibantu HoS, Rani terus mendorong Sawoong untuk turut membantu masyarakat lain agar dapat mengikuti jejak suksesnya. “Sawoong pun sudah mendidik pemuda pengangguran dari warga sekitar usahanya, yang awalnya tidak memiliki keahlian khusus, saat ini sudah menjadi tenaga terlatih untuk turut membantu proses produksi,” katanya. (Riset: M. Khoirul Umam)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved