Editor's Choice Entrepreneur

Jurus Philippe Delaisse Besarkan Ethnicraft di Indonesia

Jurus Philippe Delaisse Besarkan Ethnicraft di Indonesia

Bermula dari kunjungannya ke Bali pada tahun 1995, Philippe Delaisse, pendiri sekaligus pemilik Ethnicraft ini, melihat kursi tunggu di stasiun yang unik, yaitu terbuat dari kayu dengan ukiran yang khas ala Bali. Mulai dari situ, ia terpikir untuk menjual produk-produk furniture di kampung halamannya di Belgia.

Philippe Delaisse (kiri) dan Benoit Loos. Founder Ethnicraft

Philippe Delaisse (kiri) dan Benoit Loos, ounder Ethnicraft

Dengan modal US$8.000, Philippe membawa satu kontainer produk furnitur dari Indonesia. Lalu ia tawarkan produk tersebut ke berbagai teman, tetangga dan keluarganya di Belgia.

“Kalau respon positif seperti ini, kenapa saya tidak buat brand sendiri saja ya,” ingat pria yang sebelumnya berprofesi sebagai pegawai pajak ini. Lalu, ia cetuskan nama Ethnicraft sebagai nama dan brand usahanya bidang furniture.

Philipe mulai menancapkan gas bisnis furniture-nya sejak bertemu dengan Andi Pramudi, seorang perajin furniture di Semarang. Pertemuan dengan Andi tahun 1999 lalu, membawa Ethnicraft memiliki lahan produksi di Semarang dan Tegal.

Dengan jumlah karyawan sebanyak 1.250 orang yang menempati lahan seluas 13 hektar di Tegal itu, Philippe terus mengembangkan bisnisnya dengan mengambil 10% dari para desainer dari Indonesia.

Dengan mengincar pasar kelas menengah ke atas, Philippe mengaku merasa kesulitan dalam proses bahan bakunya. Pasalnya, nyaris semua bahan baku furniture Ethnicraft dari kayu oak dan kayu jati sangat sulit untuk didapati. Khususnya kayu jati yang berasal dari Indonesia. Dengan mengontrol semua lini bisnis dari management, produksi hingga distrusinya. Philippe yakin bisnis yang ia geluti lebih dari 20 tahun itu dapat tetap berjalan dan berkembang.

“Untuk pengembangan bisnis sendiri, kami tidak melihat pada short profit. Melainkan prospek jangka panjang yang kami perhatikan. Mengikuti berbagai trade atau exhibition di berbagai negara, juga bagian dari langkah kami untuk mengambil peluang-peluang yang bisa kami garap,” ungkap Philippe pada SWA Online di showroom Ethnicraft di Jl. Radio Dalam, Jakarta Selatan.

Salah satu furniture karya Ethnicraft

Salah satu furniture karya Ethnicraft

Selain di Radio Dalam, di Jakarta sendiri showroom Ethnicraft berada di BSD Tangerang yang menempati lahan seluas 1.400 m2.

Philippe juga menjelaskan, strategi yang ia tempuh tersebut membuahkan hasil. Pertumbuhan bisnis dalam kurun waktu 3 tahun terakhir di wilayah Asia sebanyak 10-15% per tahunnya. Sedangkan untuk wilayah Amerika, Philippe mengaku hanya tumbuh sebanyak 10%.

Philippe mengaku, dalam ekspansi bisnis yang ia lakukan sangat tidak mudah. Agar ekspansi bisnisnya terus tersebar, salah satu langkah yang ditempuh adalah menjual produk Ethnicraft lewat jalur online. Dari berbagai kantor cabang yang ada, penjualan produk secara online baru dilakukan di negara Singapura, Malaysia dan Sanghai. Untuk di Jakarta sendiri baru akan dimulai di tahun 2015 ini.

Soal kompetitor bisnis, Philippe menjelaskan selama percaya diri dengan produk yang dibuat, akan tetap mendapat pangsa pasar tersendiri. Maka, di tahun 2015 ini dengan banyaknya kompetitor bisnis furniture, Phillippe akan lebih efisien dalam segala hal, terutama dalam proses produksi. Mengingat harga bahan baku terutama kayu jati yang sangat mahal. Dengan begitu, Philippe berharap perkembangan bisnis Ehtnicraft akan semakin maju.

Pengalaman Philippe yang sudah malang melintang di dunia bisnis furniture, diakuinya bermodal dari kecintaan pada desain. Meski tidak pandai menggambar atau mendesain seperti desainer pada umumnya. Philippe mengaku punya daya tarik sendiri dalam memoles dan meningkatkan daya seni dan keunikan produk sehingga bernilai tinggi. “Bagi saya, bakat seseorang dalam segala hal hanya menyumbangkan 5% saja, sisanya adalah latihan. Begitu juga dalam desain,” ujar Phillippe. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved