Editor's Choice

Thomas Clayton, Besarkan Start Up dengan Tangan Dinginnya

Thomas Clayton, Besarkan Start Up dengan Tangan Dinginnya

Twitter,WhatsApp, KakaoTalk, LINE. Kini, tambah 1 lagi: Bubbly. Uniknya, jejaring sosial ini mengizinkan pengguna berkirim teks dan pesan suara baik lewat ponsel pintar maupun feature phone. Mirip Twitter, namun menggunakan jaringan seluler. Pengguna Bubbly regional Indonesia dan Malaysia sudah mencapai 3 juta. Di antaranya, tak sedikit selebritas. Bisa dikata, Bubbly punya kans bagus merebut hati pengguna Indonesia.

Lebih dari 5 tahun lalu, masa depan Bubble Motion, perusahaan asal Singapura yang memproduksi Bubbly dengan suntikan dana dari Sequoia Capital dan Singtel Innov8, tak secerah kini. Bayangkan, US$ 30 juta modalnya sempat melayang. Untung Sequoia Capital mendatangkan Thomas Clayton pada saat yang tepat.

Tom, demikian veteran Silicon Valley ini kerap disapa, sudah membuktikan tangan dinginnya membuka usaha start up. Start up pertamanya diawali dengan modal US$ 500 kemudian dijual seharga US$ 900.000. Start up kedua, ketiga, dan seterusnya pun sukses di bawah tangan dingin dan pengalaman Tom. Maka, begitu nyemplung ke Bubble Motion pada 2008, ia tak buang waktu membenahi aset utama, insinyur.

Bagaimana Tom menceburkan diri ke lautan start up? Dan bagaimana ayah 2 putri yang pernah merajai ring tinju US National Championships ini mengelola Bubble Motion meski kini belum mengukir kisah sukses setaraf Facebook dan Twitter? Simak obrolan dengan pemilik mata hijau dan pecinta pantai ini di sela focus group discussion Bubble Motion.

Masih ingat usaha start up pertama Anda?

Thomas Clayton, CEO Bubble Motion

Saya memang menggemari mobil sejak remaja. Di sekolah, saya juga belajar mengotak-atik mobil. Lalu hobi ini jadi start up pertama saya. Saya memulainya saat masih 15 tahun, yakni restorasi mobil-mobil tua, contohnya Mustang keluaran 1965. Saya bekerja sampingan juga waktu itu sehingga saya bisa menambahkan dana setahap demi setahap.

Dengan modal awal US$ 500, saya membeli sebuah Mustang usang. Setelah direstorasi, saya bisa menjualnya kembali seharga US$ 12000. Apalagi di Silicon Valley waktu itu, semua anak laki-laki ingin punya mobil sendiri dengan harga yang lebih murah. Jadi, laba saya pakai membeli lebih banyak mobil karena saya bisa beli dengan harga murah lalu jual dengan harga mahal. Begitulah cara saya mengembangkan usaha ini. Akhirnya pada usia 19, saya menjual bisnis ini seharga US$ 900.000.

Apakah umumnya remaja di Silicon Valley punya bisnis?

Sebenarnya itu bukan hal biasa. Kalau tumbuh di lingkungan yang tidak berkelimpahan, tentu Anda akan mendapatkan drive berbeda.

Anda sendiri, mengapa memilih start up?

Di Silicon Valley, semua orang membuka start up dan bisa menghasilkan jutaan dolar dari situ. Para perintis start up di sana adalah Hewlett-Packard, Apple, Cisco, Oracle, Yahoo!. Efeknya menular sehingga mustahil untuk luput dari itu. Entah usaha perbaikan mobil atau pembuatan speaker, start up sudah ada dalam DNA saya.

Waktu masih dirintis, tiap pelaku start up selalu bergairah. Tapi kemudian, tak semua mampu bertahan. Apa ini tahapannya selalu seperti ini?

Berwirausaha banyak miripnya dengan bertinju. Waktu baru uji coba, ada ribuan peminat karena mereka ingin tampak keren. Namun baru beberapa kali latihan, setengah lebih akan menghilang karena tak tahan beratnya latihan. Setelah naik ring, hanya 50 orang yang melanjutkan bertinju. Sama halnya dengan wirausaha, ketika melihat kesuksesan Bill Gates dan Larry Ellison, orang tertarik membuka start up. Padahal itu butuh perjuangan. Dari sekian start up yang sukses, ada puluhan ribu yang sudah gagal. Yang sukses seperti Mark Zuckerberg pun mengalami 10 kali lebih banyak hari buruk dibanding hari baik. Mempertahankan start up itu sulit kecuali Anda siap mengais tanpa apa-apa atau memang mewarisi drive untuk bisnis.

Karena itulah saya lihat, negara tertentu saja yang lebih cocok untuk wirausaha, yakni negara yang belajar dulu sebelum bisa berkembang dan kekurangan sarana. Lihat India dan Singapura. Singapura adalah negara besar. Generasi tuanya merupakan wirausahawan hebat. Namun, mereka harus berjuang menyadarkan generasi muda bahwa wirausaha tak gampang. Pasalnya, generasi muda Singapura punya semua yang mereka butuhkan berkat jerih payah generasi tua.

Apa yang bisa dilakukan untuk mengawetkan semangat wirausaha di kalangan start up?

Kesuksesan melahirkan kesuksesan baru. Semakin sukses dan high-profile suatu start up, orang akan makin tertarik. Ini merupakan ekosistem yang terbangun seiring berjalannya waktu.

Momentum ini mulai bergerak di Asia Tenggara. Dan mulainya lebih awal. Namun, jalannya masih panjang. Di Silicon Valley, momentum ini sudah berjalan ratusan tahun.

Apa transformasi yang Anda lakukan di Bubble Motion?

Saya mulai dengan membenahi SDM. Jika Anda mengelola sebuah perusahaan teknologi, insinyur yang bagus bekerja 10 kali lebih produktif daripada insinyur yang buruk. Mempekerjakan 1 insinyur yang handal, semahal apa pun Anda membayarnya, selalu lebih murah ketimbang 10 insinyur yang biasa-biasa saja.

Ketika baru masuk Bubble Motion, saya perhatikan, mutu SDM masih rendah dibanding insinyur yang biasanya bekerja dengan saya. Saya mem-PHK hampir separuh dari seluruh karyawan. Lalu saya merekrut insinyur baru dari China, India, Indonesia, Bangladesh, Filipina, Thailand. Tapi, Sequoia Capital hanya memperhatikan pelamar dari AS. Maka, saya langsung menelepon 20 pelamar terbaik dari Asia dan mendatangkan mereka ke Singapura. Sekarang mutu tim di Bubble Motion menyamai tim saya di Sequoia Capital.

Lalu apa yang membawa Anda ke Indonesia?

Indonesia adalah pasar kedua terbesar bagi Bubbly. Dan Bubble Motion sudah bekerja sama dengan 3 operator utama, Telkomsel, XL, Indosat. Sejauh ini, ada jutaan pengguna Bubbly aktif dan lebih dari 120 adalah selebritas. Baru-baru ini saya berembug dengan operator, bagaimana agar kerja sama dengan mereka bisa lebih mendalam, termasuk bagaimana merangkul selebritas untuk mempengaruhi pengguna agar lebih aktif. Saya juga berdiskusi dengan pengguna Bubbly Indonesia untuk mengetahui apa yang mereka sukai dan apa yang bisa kami tambahkan lagi.

Di atas Indonesia, pasar terbesar adalah India. Namun, tingkat penetrasi pasar Indonesia sedikit lebih tinggi ketimbang India. Sementara itu, Jepang merupakan pengguna keempat terbanyak. Dan Bubbly baru saja diluncurkan di Korea sehingga kami belum fokus pada itu.

Tentu Anda akan mengembangkan Bubble Motion agar memasuki pasar Eropa dan AS?

Aplikasi Bubbly sudah tersedia di Eropa dan AS. Sekarang kami biarkan mengalir saja, sementara fokus kami benar-benar untuk Asia dulu. Benua ini sangat luas dan peluangnya besar. Saya lebih suka punya 50 pengguna terkumpul di 1 negara daripada 1 juta pengguna tersebar di 50 negara. Sebab jejaring sosial lebih bernilai jika makin banyak orang terkoneksi. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved