Editor's Choice

Generasi Ketiga Sumitro Djojohadikusumo di Panggung Bisnis

Generasi Ketiga Sumitro Djojohadikusumo di Panggung Bisnis

Aryo P.S Djojohadikusumo menyadari lahir dari keluarga berkecukupan dan pebisnis. Maka itu selepas lulus kuliah di London, ia memutuskan membangun bisnis sendiri. “Waktu itu tahun 2007, saya bersama teman-teman dengan kemampuan bisnis terbaik, mencoba mendirikan bisnis sendiri, masih general trading, ide awal bisnisnya,” ujar pria kelahiran Jakarta 25 April 1983 kepada Herning Banirestu. Nama perusahaannya adalah PT Karunia Tidar Abadi dan ia menjadi dirut. Bisnisnya meliputi: mobile advertising, trading, pertambangan, pertanian dan perkebunan.

Ternyata anak pertama dari tiga bersaudara, putra dari Hasyim Djojohadikusumo ini, justru diajak ayahnya untuk ikut membesarkan bisnisnya pada 2008. Waktu itu ayahnya, menurut Aryo juga sedang gencar-gencarnya ekspansi bisnis. “Pak Hasyim juga sedang membutuhkan orang-orang terbaik. Jadilah, teman-teman saya itu direkrut ke grup bisnisnya, termasuk saya,” ujarnya. Sejak itulah ia bergabung membesarkan bisnis ayahnya.

Aryo (utama)

Tapi di balik itu, ternyata pria yang mengidolakan klub bola Arsenal ini, awalnya bercita-cita menjadi seorang arkeolog, bahkan ia sempat kuliah arkeologi selama satu semester di London, Inggris. Ketertarikannya pada arkeologi karena ketika bocah ia gemar membaca komik-komik Indira seperti Tintin, Asterix dan sebagainya.

“Dari komik itu saya memahami dan belajar figur sejarah dan kota tua, hingga tertarik mempelajarinya,” kenangnya sambil tersenyum. Terlebih ia mengagumi film Indiana Jones, yang seorang arkeolog. Ternyata setelah benar-benar mengambil satu semester kuliah arkeologi, ia merasa bosan dengan bahan kuliahnya.

Akhirnya diputuskan untuk mengambil kuliah bisnis. Lulusan jurusan bisnis, University of Durham ini melihat kembali bagaimana ayahnya sukses sebagai pebisnis. Dikatakan Aryo, semacam kelakar untuk menjadi kaya, ia menyebut ada empat cara yaitu terlahir dari keluarga kaya, punya bakat (seni atau olah ragawan), punya rupa yang ganteng atau cantik, dan menjadi wirausahawan. “Saya pikir cara kedua dan ketiga saya tidak masuk kriteria itu, maka saya gunakan kelebihan pertama dan keempat untuk bisa bermanfaat pada lebih banyak orang, bukan saja sekadar menjadi kaya,” jelas Aryo yang masih betah melajang ini.

Paska turunnya Soeharto, ia memperhatikan, banyak orang kaya dengan cara yang tidak baik. Makin banyak orang yang kaya karena korupsi. “Kondisi itu membuat saya berpikir, cara ayah saya itu benar, menjadi wirausaha, mencari uang halal, yang didapat dengan cara yang baik. Mempekerjakan banyak orang, menghidupi banyak orang dan dengan ini kita bisa melakukan kegiatan sosial,” tuturnya.

Pria yang sebagian besar masa hidupnya menimba ilmu di luar negeri ini, mengatakan mungkin jika ia tetap di luar negeri, ia tidak akan menjadi pengusaha. Dengan potensi baik pasar dan sumberdaya yang besar di Indonesia, artinya peluang bisnis di sini sangat besar. Akhirnya diputuskan Aryo untuk menggeluti dunia usaha.

Keputusan bergabung dengan kerajaan bisnis ayahnya, tepat kala Hasyim pada 2007 mulai ekspansi bisnis di Indonesia. Yang sebelumnya banyak bisnisnya dijalankan di luar negeri.

Aryo mengakui, sebagai keturunan pertama Hasyim, ia memang langsung menempati posisi puncak di bisnis-bisnis baru ayahnya itu. “Kebetulan kan banyak bisnis baru Pak Hasyim dibangun saat itu. Jadi, saya dipercaya mengelolanya,” ujar cucu dari begawan ekonomi Indonesia, Sumitro Djojohadikusumo. Ia beralasan, banyak wirausahawan sukses dunia, bukan dari bawah dulu, tapi berani bertanggung jawab semua kendali bisnis. Dari situ belajar mengasah mentalitas sebagai orang yang berada di puncak.

Ario (tegak)

“Saya tidak mulai karier dari nol, tapi saya berada di posisi puncak di bisnis yang baru dibuat atau yang tadinya masih nol,” ujarnya.

Meski demikian ia belajar banyak dari pebisnis dunia yang memulai usahanya dari nol, yang makin lama makin besar. “Saya rasa, DNA memimpin organisasi dan perusahaan harus dimulai sejak dini. Kalau dimulai dari bawah, jadi terlalu lama, apalagi bisnis Indonesia sedang dinamis,” katanya.

Ia juga mengikuti gaya Hasyim bagaimana memulai dan membangun usaha selama 30 tahun. Menurutnya, Hasyim bukan tipe pengusaha yang menekuni satu bidang saja. Tapi lebih memilih masuk ke dalam bisnis apapun, asalkan : kembali modalnya cepat (ROI jadi patokan). Tidak terlalu terikat secara emosional dengan bidang bisnis yang digeluti (bisnis tertentu), dan pada saat yang sama bisnis harus halal serta mencapai untung.

“Jadi bagaimana saya mulai dari bawah, selalu ada PT atau perusahaan baru yang didirikan Pak Hasyim, yang harus dibangun lebih besar,” ujarnya sambil tersenyum. Karena ia aktif di holding company, Aryo ikut membantu restrukturisasi bisnis keluarga bersama sepupunya yang posisinya sebagai Deputy CEO ayahnya.

Diterangkan Aryo, bisnis ayahnya, memang bergerak di segala bidang, mulai dari bisnis karet, perdagangan komoditas, tambang, minyak, dan sebagainya. “Jiwa wirausahawan Pak Hasyim sangat tinggi, pure entrepreneur, tapi tidak ada trade mark seperti Sinar Mas yang dikenal di bisnis perkebunan sawit dan properti atau Agung Podomoro yang dikenal di bisnis properti,” ujarnya

Memang menurut Ketua Umum Tunas Indonesia Raya (Tidar) sebelum 2007, ayahnya dikenal sebagai pengusaha perminyakan. Tapi setelah itu Hasyim masuk ke berbagai bidang bisnis.

“Saya menyadari, sebagai anak muda banyak kekurangan, maka itu saya banyak belajar dari ayah dan direktur-direktur beliau yang sudah mengabdi sejak di Semen Cibinong atau sejak 1990a-n dulu,” ujarnya.

Kalau mentoring dari ayahnya, Aryo banyak lakukan dengan cara yang kasual, sambil makan santai Burger King atau McDonald. Waktu khusus mentoring dengan ayahnya, dilakukan saban akhir pekan, sebelum pergi ibadah ke Gereja.

Nilai yang selalu diingat Aryo dari ayahnya dalam membangun bisnis di Arsari Group adalah kekeluargaan yang kuat. Meski ayahnya belajar di luar negeri, prinsip atau nilai tersebut terus dijaganya. “Dalam bisnis kan tidak selamanya mulus atau sukses, banyak pengusaha kalau sudah rugi, akan langsung rasionalisasi atau PHK besar-besaraan. Ayah saya tidak begitu. Beliau selalu mengusahakan supaya itu tidak terjadi PHK,” ujarnya.

Karena ayahnya menganggap yang bekerja di perusahaannya sudah seperti keluarga sendiri. Ia mengakui, ini tidak terlalu bagus juga. Namun ia melihat dengan tetap menjaga nilai tersebut, justru sense of belonging dan loyalitas karyawan di grup bisnis ayahnya sangat tinggi. “Semua orang di grup bisnis kami seperti memiliki atau punya saham secara emosional di perusahaan di mana bekerja,” ujarnya.

Ketua Yayasan A. Djojohadikusumo ini mengaku tidak pernah didoktrin tentang nilai tersebut oleh ayahnya. “Saya pikir itu juga pengaruh eyang buyut saya Margono Djojohadikusumo, salah satu pendiri BNI. Eyang selalu mengajak keliling Indonesia cucu-cucunya meski banyak sekolah di luar negeri, itu membangun rasa kecintaan kekeluargaan dan leluhur,” ujarnya. Melihat langsung rakyat di bawah, merasakan suasana kekeluargaan dari bawah, nilai itulah yang dipegang terus hingga kini.

“Selain itu keluarga kami juga pecinta binatang dan lingkungan hidup, maka itu bisnis kami sangat konsern pada hal ini. Meski kami berbisnis juga di tambang dan perkebunan, yang katanya andil merusak lingkungannya kuat, tapi keluarga kami tegas pada aturan, jangan sampai kedua hal itu dirusak,” tegasnya.

Menurut Aryo, ayahnya sangat percaya pada responsibility capitalism (kapitalisme yang bertanggung jawab), pada lingkungan dan semua yang bekerja di dalamnya. Jadi meski banyak belajar di luar negeri, nilai-nilai Indonesia selalu dipegang dalam keluarganya dan juga dalam bisnisnya.

Setelah tujuh tahun turut mengelola Grup Arsari, Aryo mengakui banyak yang terjadi mulai dari perubahan manajemen, bongkar pasang orang, mengalami banyak kondisi pasar yang kurang menguntungkan, dan sebagainya, menurut Aryo, bisnis grup ini kini sangat bagus. Untuk perdagangan komoditas (berbagai macam: cengkeh, kopi, teh dan sebagainya) misalnya, tahun 2013 tumbuh sangat luar biasa, disebut Aryo, profit-nya mencapai US$ 12 juta.

Bisnis tambang timahnya sudah jalan. Bisnis perkebunan karet (pabrik dan kebunnya) serta financing-nya juga sudah jalan, setelah menurut Aryo mengalami kesulitan mendapat izin. “Kami juga mulai masuk lagi bisnis migas secara signifikan, yang sebelumnya ayah punya pengalaman di luar negeri,” katanya. Bisnis itu pun menurutnya prospeknya sangat bagus.

Kakak dari Rahayu Saraswati dan Siti Indrawati ini menuturkan dalam budaya timur, filosofi Jawa, bagaimana menghormati yang senior itu sangat kuat. “Apapun yang terjadi, pengalaman mereka sangat matang. Saya pikir kendalanya, adalah bagaimana kami yang muda, harus belajar mengendalikan diri,” jelas penyuka olah raga polo berkuda, renang dan tenis lapangan ini.

Bagi Wakil Sekretaris Jendral Partai Gerindra ini, mengakui ada masa di mana dalam mengelola bisnis, berpikir, mengapa ayahnya punya pemikiran seperti itu, yang berbeda dengannya. Namun pada akhirnya setelah dijelaskan ia pun memahami pandangan ayahnya.

Belakangan Aryo aktif di politik dan kini menjadi caleg Gerindra. Ia mengatakan ini panggilan hati. Sebelum aktif, ia sudah menyiapkan orang-orang yang mengurus bisnis untuk mewakilinya. Ia memilih orang-orang terbaik untuk itu. Tentu saja ia tetap mengontrol bisnisnya, terutama keputusan penting ditentukan oleh Aryo.

Target ke depan apa? “Saya ingin bisnis ini berkelanjutan, sustain, baik itu bisnis migas atau tambang, semua disiapkan untuk terus berkelanjutan,” kata pengkoleksi kereta modern dan lego ini. Diakui Aryo, kedua bisnis itu ada masa “tua” atau tidak berproduksi lagi. Maka itu ia sudah menyiapkan bisnis bio ethanol. Ini energi yang terbaharukan. Selagi ada, bisnis migas dan tambang ini sebagian keuntungannya untuk di-reinvest untuk bisnis bio ethanol. Karena SK Menteri bisnis ini belum ada, ia tetap siapkan modalnya, lahan pabrik, konsesi, bahkan bisnis modelnya.

Selain itu, bisnis tambang seperti timah, di Bangka dan Belitung, mencontoh apa yang dikembangkan di Thailand (waktu itu ia membeli kapal tambang baru di sana 1,5 tahun lalu). Bagaimana Pukhet yang semula lahan tambang timah, ternyata bisa disulap menjadi danau wisata, wisata air dan resort yang mahal juga ada prospek yang bagus untuk pariwisata. (***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved