Listed Articles

Akhirnya, Mereka Bisa Memboyong VNC

Oleh Admin
Akhirnya, Mereka Bisa Memboyong VNC

Merek asal Malaysia ini memang tengah naik daun. Di negeri asalnya, Vincci hadir sejak 1981 dan sekarang telah memiliki 29 gerai. Selain di Malaysia, Vincci juga memiliki gerai di Brunei Darussalam (1), Thailand (8), Singapura (3), Filipina (3), Uni Emirat Arab (1), dan Arab Saudi (5). Sekarang, para pecinta sepatu di Indonesia, terutama merek Vincci, tak perlu pergi ke Malaysia atau Singapura untuk membelinya. Sejak Juni lalu, gerai Vincci telah hadir di mal-mal papan atas di Jakarta.

Adalah empat sekawan — Dandan Hamdani, Dewi Ivo, Nadia Nasoetion, dan Loemongga Haoemasan — yang nekad memboyong merek Vincci. Potensi merek Vincci yang terus berkembang dan pasar Indonesia yang mulai fanatik pada merek ini membuat mereka memberanikan diri memboyongnya ke Indonesia dengan sistem waralaba. “Banyak orang yang kalau berkunjung ke Malaysia membeli oleh-oleh sepatu Vincci, termasuk saya. Saya pikir-pikir, mengapa tidak membawa merek ini ke sini,” ungkap Dewi yang kemudian mengajak tiga sahabatnya: Dandan, Loemongga dan Nadia untuk bergabung. Lewat PT Vinccindo Asia Sepatu, empat sekawan ini membuka gerai Vincci pertama di Mal Taman Anggrek. Di Indonesia, mereka memakai nama VNC untuk produk sepatu keluaran Vincci.

Kehadiran VNC disambut gembira oleh pecinta Vincci. “Kesempatan untuk membeli dan mencocokkannya dengan baju yang saya kenakan akan semakin banyak,” ungkap Vera yang sebulan sekali membeli sepatu. Meski hadir di Indonesia dengan merek yang lain, ia tetap menyambut baik. “Saya tahu, merek VNC itu dari mana. Jadi tidak masalah. Saya tahu sekali karena sering ke Malaysia, modelnya pun sama kok,” katanya. Yang lebih penting lagi, tambahnya, model yang dijual di Indonesia tidak ketinggalan dari yang di Malaysia.

Sebelum mengerek merek ini, menurut Dandan, pihaknya sudah melakukan riset dan analisis pasar untuk melihat seberapa besar potensi pasar sepatu wanita di sini. Ia mengaku harus nongkrong dan menghitung berapa jumlah pelanggan yang datang ke gerai kompetitor, terutama merek dari Singapura seperti Charles & Keith, URS, Ever Best atau Rotelli dari Indonesia. “Saya juga intip berapa yang dibeli konsumen setiap bulannya,” kata Dandan. Dari hasil riset yang memakan waktu dua tahun itu ternyata hasilnya cukup fantastis. Penjualan sepatu bisa mencapai 4-6 ribu per bulan per gerai. Menurut Dandan, di Metro saja, untuk satu merek bisa terjual 3 ribu pasang sepatu. “Riset-riset inilah yang menjadi bahan presentasi kami ke prinsipal,” tutur Dandan.

Diakui Dandan dan Loemongga, tak mudah menyakinkan pihak Vincci Ladies Specialties Center Sdn. Bhd. — pemilik merek Vincci. Bahkan, untuk membukakan jalan bagi mereka, Dewi lewat sang ibu yang kebetulan kenal baik dengan Raja Perempuan Kelantan, meminta bantuannya. Pada Mei 2003, pemilik Vincci menerima kehadiran mereka. Selang empat bulan kemudian, mereka baru bisa melakukan presentasi di hadapan prinsipal. Toh, jalan mulus tak lantas terhampar di depan mata. Mereka sampai butuh waktu dua tahun untuk meyakinkan prinsipal. Maklum, mereka berempat sendiri adalah para wirausaha (entrepreneur) pemula. Sebagai pendatang baru di bisnis ritel, tentu tak gampang membuat pihak prinsipal menyetujui proposal mereka. “Untuk mendekati pemilik merek ini memang dibutuhkan usaha yang keras,” Dandan mengakui.

Selama dua tahun itu, Dandan dan Dewi bolak-balik Jakarta-Kuala Lumpur setiap minggu atau dua minggu sekali. “Mereka ingin ada connecting antara kami dan memiliki kesepahaman atau persepsi yang sama,” timpal Dewi. Terlebih, mereka bukanlah siapa-siapa dan orang yang masih baru sekali dalam mengembangkan bisnis. “Strategi kami adalah membangun kepercayaan dulu dan sering melakukan presentasi,” kata Dandan. Selama menunggu persetujuan, mereka mencoba memasarkan produk Vincci ke teman-teman dekat dalam jumlah kecil, 100-200 pasang sepatu. “Ternyata diterima pasar dengan baik, rupanya Vincci lovers di Indonesia memang banyak,” kata Dewi.

Alotnya kesepakatan, menurut Dandan, karena pemilik merek Vincci ingin mencari mitra bisnis yang tepat. “Yang mempunyai semangat untuk membesarkan merek ini,” ungkap Dewi. Maklum, sebelum mereka masuk, sudah ratusan orang dan beberapa perusahaan besar yang tertarik membawa merek Vincci ke Indonesia. Bahkan, menurut Dandan, ada beberapa pengusaha besar Indonesia sekaligus pemegang hak waralaba merek-merek besar yang juga berminat membeli merek ini. “Semua ditolak karena pemilik Vincci takut mereka tidak fokus membesarkan merek ini,” tutur Dandan yang sepertinya menjadi juru bicara empat sekawan itu. Pemilik merek Vincci Malaysia, lanjut Dandan, rupanya memiliki pengalaman pahit dengan pebisnis Indonesia yang meregistrasi merek Vincci atas nama mereka sendiri. “Karena itu mereka sangat hati-hati,” katanya.

Di Malaysia sendiri, perusahaan pemegang merek ini merupakan perusahaan publik sehingga membutuhkan jaminan performa merek yang bagus. Setelah menyetujui serangkaian peraturan sesuai dengan ketentuan pemegang lisensi, latar belakang finansial juga merupakan aspek yang menjadi perhatian prinsipal. “Makanya, kami mengumpulkan uang dalam satu rekening,” ujar Dandan.

Setelah mendapat lampu hijau dari pemilik merek, kendala menghadang lagi. Sesuai kesepakatan dengan prinsipal, mereka harus membuka gerai VNC di lima mal terbaik di Jakarta, yakni Plaza Indonesia, Plaza Senayan, Mal Pondok Indah, Mal Taman Anggrek, dan Mal Kelapa Gading. Namun, tidaklah mudah mencari space di mal yang sudah mapan. Selain harus masuk daftar tunggu, ukuran space yang ada belum tentu sesuai dengan permintaan prinsipal. Padahal, harga sewa di mal-mal itu sangat mahal. Bahkan, diakui Dandan, seorang petinggi di sebuah plaza terkenal sempat sangsi dengan potensi merek VNC dan kredibilitas mereka. “Jika Anda menjual sepatu dengan harga murah, mampu tidak membayar sewa yang tentunya tidak murah.”

Kendala lain lagi adalah persoalan dana yang untungnya mereka bisa atasi. Menurut Dandan, kekuatan dana menjadi faktor penting. Pasalnya, pemesanan sepatu harus dilakukan 6 bulan sebelumnya. Padahal, setiap bulan, mereka harus order sepatu. Sistem pembelian yang diterapkan adalah beli putus. Belum lagi, karena sistemnya waralaba, maka mereka harus membayar fee waralaba tiap gerai sekitar US$ 25 ribu. Adapun fee royaltiya 3% dan 4%-nya disisihkan untuk fee pemasaran. Toh, dana yang paling terasa kencang adalah dana order untuk pembelian sepatu 6 bulan di muka. “Padahal, kami belum bisa menggantungkan dana ini dari cash flow penjualan. Setiap bulan, kami akan mempunyai revenue yang berbeda-beda,” katanya. Misalnya, untuk bulan November atau bulan mendekati akhir tahun atau menjelang tahun baru Cina, maka penjualan bisa meningkat dua kali lipat. Alhasil, ordernya pun bisa dua kali lipat. “Target-target penjualan yang akan dicapai ini juga dipresentasikan kepada pemilik merek,” kata Dandan.

Mereka mematok order 4 ribu pasang sepatu per gerai. “Kami sendiri yang menargetkan. Tapi kami juga melihat performanya. Juni ini saja sudah terjual 3.500 pasang di gerai pertama kami,” kata Dandan. Awalnya, mereka ragu-ragu. “Bener nggak yah, kami membeli dalam jumlah seperti itu. Padahal kami belum tahu berapa penjualan kami di masa mendatang. Ternyata kami selalu kehabisan stok. Bahkan bulan lalu, kami pakai boks-boks kosong untuk menutupi kekosongan tempat,” Dandan memaparkan.

Empat sekawan ini optimistis VNC bisa diterima pasar dengan baik, meski dengan nama yang berbeda. Merek VNC sendiri diregistrasi sejak 2001 dan digunakan di luar Malaysia, seperti Singapura, Filipina, Thailand, Australia, Kamboja dan Indonesia. “Bagi kami tidak masalah pakai merek apa pun. Yang penting dari sisi produk, harga ataupun promosinya bisa masuk,” lanjut Dandan. Menyadari nantinya akan terjadi kebingungan di pasar Indonesia, mereka pun lantas berupaya mengedukasi pasar. “Hampir setiap hari kami mengedukasi pasar tentang Vincci dan VNC,” tambahnya. Selain menggunakan fungsi public relations, mereka juga melakukan pendekatan yang lebih personal yaitu melalui SMS dan e-mail. Cara ini jugalah yang digunakan VNC untuk memasarkan produknya. “Saat ini kami memiliki database pembeli kami sebanyak 2 ribu orang,” kata Dandan. Data ini dikumpulkan dari teman-teman mereka yang membeli produk atau dari konsumen yang memesan. Misalnya, ketika pesanan mereka datang, konsumen di-SMS. Itu pun dengan perjanjian, bila tiga hari setelah di-SMS barang tidak diambil, pesanan itu dijual ke umum. “Konsumen yang loyal juga diberi tahu melalui SMS kalau ada model baru,” ujar Dandan.

Mereka juga optimistis meski ada selisih harga sekitar 1,7 kali lebih mahal ketimbang harga yang dipatok di Malaysia. Kisaran harga di Malaysia Rp 125-200 ribu/pasang, sedangkan di Indonesia mereka menerapkan harga Rp 125- 380 ribu untuk sepatu formal. Menurut Dandan, biaya overhead untuk mal di Indonesia tinggi, belum dihitung juga PPN atau PPh. Misalnya, sewa tempat di mal sekitar Rp 50 juta per bulan. Itu di luar PPN dan lain-lainnya sehingga overhead untuk sewa tempat Rp 50-60 juta. “Untuk mematok harga, kami bolak-balik sampai tiga kali ke sana. Paling kami cuma mengambil 20-30 ribu. Kami bermain di volume,” Dandan menjelaskan. Mereka menargetkan meraup pendapatan sekitar Rp 600 juta per bulan. “Kami jual 3 ribu pasang per outlet, bisalah,” kata Dandan. Belum lama ini, mereka baru membuka gerai VNC kedua di Mal Pondok Indah. Target mereka dalam lima tahun ke depan, 10 gerai lagi bisa dibuka.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved