Listed Articles

Arwana, Penguasa Pasar Keramik di Daerah

Oleh Admin
Arwana, Penguasa Pasar Keramik di Daerah

Menyebut keramik, orang lebih merujuk merek-merek seperti Mulia, Asia Keramik, Roman dan KIA. Harap maklum, mereka merupakan pemain besar yang mendominasi pasar keramik. Diperkirakan, Mulia menguasai 28%, Asia Keramik 20%, Roman 18% dan KIA 7%.

Arwana? Boleh dibilang, masyarakat Jakarta tak banyak yang mengenalnya sebagai merek produk keramik. Orang malah mengenalnya sebagai nama ikan hias yang cukup populer sebelum ngetop-nya louhan. “Pangsa pasar Arwana memang hanya 6%-7%,” kata Tandean Rustandi, Direktur Pengelola PT Arwana Citramulia, produsennya.

Wajar nama Arwana belum banyak dikenal di pasar keramik Jakarta. Pasalnya, Arwana memang lebih kuat di pasar keramik daerah. Namun, sebagai pemain baru, Arwana terus tumbuh. Ini terlihat dari peningkatan penjualan dalam tiga tahun terakhir, dari Rp 92 miliar (2000), menjadi Rp 115 miliar (2001) dan Rp 165 miliar (2002). Laba bersih pun meningkat dari Rp 4 miliar (2000) menjadi Rp 10 miliar (2001) dan Rp 15 miliar (2002). Menurut Tandean yang juga pendiri Arwana, hingga akhir tahun manajemen menargetkan omset Rp 185 miliar dengan laba bersih Rp 19,5 miliar. “Kami yakin target laba bersih tersebut akan tercapai,” kata alumni Universitas Colorado, Amerika Serikat itu.

Yang jelas, pasar keramik di Indonesia cukup potensial. Saat ini total kapasitas terpasang industri keramik nasional 230 juta m2/tahun dengan porsi keramik lantai 72,7%, setara 167,3 juta m2, dan keramik dinding 62,7%.

Arwana mulanya merupakan kongsi bisnis tiga anak muda keturunan Arab, Jawa dan Cina yang pernah menimba ilmu di AS. Tandean salah seorang dari mereka. Awalnya, Arwana membidangi perdagangan hutan tanaman industri dan perkayuan. Hanya, bisnisnya tidak berjalan mulus dan kedua rekan Tandean — yang tak ingin disebutkan namanya — meninggalkan Arwana.

Sebagai anak muda, semangat bisnis Tandean seakan-akan tak pernah padam. Kebetulan ia bertemu dengan temannya yang menjadi distributor keramik, yang menginformasikan bahwa bisnis keramik amat menjanjikan, mengingat marginnya lumayan besar. “Saya berpikir, ini peluang yang perlu dijajaki,” ujar Tandean mengenang.

Meskipun tanpa pengalaman, ia memberanikan diri menerjuni bisnis keramik. Bahkan, untuk mendapatkan mesin produksi keramik berteknologi tinggi dengan harga murah, ia mau mencari ke beberapa negara seperti Spanyol, Italia, Thailand, Cina dan Taiwan. Hasilnya, ia memperoleh mesin produksi keramik dengan teknologi cukup mutakhir (telah dilengkapi dengan genset sebagai sumber tenaga penggerak) dari Grup Barbieri & Tarozzi, Italia.

Peraih penghargaan Entreprenuer of the Year 2002 dari Ernst & Young ini mengaku tak mudah mengembangkan bisnis keramik Arwana. Apalagi, untuk memulai bisnis ini dibutuhkan investasi yang tidak sedikit, misalnya buat mengoperasikan pabrik pertama di Tangerang yang memiliki kapasitas terpasang 2,9 juta m2/tahun. Karenanya, ia menggandeng seorang investor bernama Tan Tju Jin.

Di PT Arwana Citramulia, Tan Tju Jin duduk sebagai Direktur Utama dan Tandean sebagai Direktur Pengelola. Adapun posisi Direktur Keuangan dipercayakan pada Johan Lugiman Louw yang mulai bergabung tahun 1996.

Dengan tiga pabrik dan satu perusahaan distribusi, Arwana memiliki sekitar 1.000 karyawan. “Pabrik dan perusahaan distribusi ini merupakan tulang punggung perusahaan,” kata Tandean. Ia mengaku tak segan-segan turun ke bawah, untuk mendengar langsung masukan dari konsumen.

Pria kelahiran Pontinak 38 tahun lalu ini menyebutkan, untuk menunjang perkembangan bisnisnya, Arwana akan menambah kapasitas produksi pabrik keduanya di Cikande, Serang, Banten, dari 4,6 juta m2 menjadi 5,6 juta m2 pada 2004. “Investasi untuk penambahan kapasitas tersebut sekitar Rp 27 miliar, dananya merupakan pinjaman dari BNI,” ujarnya menjelaskan. Pabrik di Cikande yang dibangun tahun 1997 dengan bendera PT Arwana Nuansakeramik ini menelan investasi sekitar Rp 70 miliar. Pabrik Arwana lainnya berlokasi di Pasar Kemis, Tangerang, yang dibangun pada 1995 dengan investasi Rp 25 miliar. Sebesar 60%-65% pendanaan pabrik pertama dan kedua itu berasal dari pinjaman BNI.

Pabrik ketiga dengan bendera PT Sinar Karya Duta Abadi yang berlokasi di Wringin Anom, Gresik, memiliki kapasitas terpasang 3,6 juta m2/tahun dengan investasi sekitar Rp 100 miliar, 50%-nya dibiayai dengan pinjaman BRI. Dengan ketiga pabrik itu (utilisasi 100%), setiap bulan diproduksi sekitar 900 ribu m2 atau 11 juta m2/tahun.

Sementara itu, untuk memperluas jaringan distribusi, Arwana membangun PT Primagraha Keramindo (PGK), distributor utama produknya. PGK bekerja sama dengan PT Catur Alamindo Adiprana untuk distribusi produk ke seluruh Indonesia. Saat ini PGK memiliki jaringan pemasaran di 24 kota di Indonesia dan mempunyai 12 subdistributor dengan 2.400 toko/agen yang aktif. “Ini salah satu keunggulam kami,” kata Tandean. Maklum, tidak semua produsen keramik memiliki subdistributor hingga ke pelosok.

Umumnya produsen merek lain hanya memiliki subdistributor di kota-kota besar. Di Jawa Timur misalnya, subdistributornya tidak hanya di Surabaya, tetapi juga di beberapa kota kabupaten seperti Malang, Kediri, Jember, Tulungagung dan Madiun. Begitu juga di Jawa Tengah, ada di Solo, Yogyakarta, dan lain-lain. “Arwana justru kuat di daerah,” katanya.

Pertimbangan menguasai segmen di luar Jakarta, menurut Tandean, karena produk Arwana diposisikan untuk segmen menengah-bawah, khususnya bagi mereka yang pertama kali memiliki rumah. Alasannya, inilah pasar terbesar. “Segmen ini tidak pernah mati, meskipun sebenarnya ini area killing field,? ujarnya. Arwana, ia menambahkan, punya prinsip memproduksi barang dengan kualitas yang baik dengan harga semurah-murahnya, sehingga mampu dijangkau konsumen.

Membuat produk murah dengan kualitas baik bukan hal yang mudah. Namun, Arwana, seperti dituturkan Tandean, punya strategi tersendiri untuk mengemas paket tersebut, meskipun marginnya sangat tipis. Caranya, dengan mengoptimalkan ketiga pabrik. Misalnya, pabrik di Gresik lebih banyak memproduksi warna putih dan marble, meskipun marginnya tipis, tapi permintaannya besar. Berbeda bila kedua jenis ini diproduksi di Tangerang dan dikirim ke Surabaya, sebab marginnya tidak bisa menutup ongkos angkutnya.

Sementara itu, pabrik di Tangerang hanya memproduksi satu tipe tapi yang bernilai jual cukup tinggi. Meskipun jumlah peminatnya tidak terlalu besar, bisa didistribusikan ke seluruh Indonesia. Adapun produk yang nilai jualnya rendah, produksinya harus dekat dengan pasarnya. Misalkan, keramik warna putih yang diproduksi di Tangerang tidak bisa dijual ke Ja-Tim. “Itu pasti rugi, karena itu harga yang paling murah,” kata Tandean lagi.

Saat ini, Arwana memiliki berbagai variasi ukuran produk, yakni 20x20cm, 30×30 dan 40×40. Motifnya: plain color, light, rich marble, granity, fancy dan trata texture. Dari berbagai motif itu, yang terbesar kontribusinya terhadap penjualan adalah plain color (warna putih) dan rich marble.

Menurut Tandean, dengan memiliki tiga pabrik yang masing-masing memproduksi tipe tertentu, antarpabrik bisa berkompetisi. Begitu pula, dengan tiga pabrik yang berbeda lokasi, produk Arwana bisa dekat dengan pasar. Misalnya untuk memenuhi kebutuhan pasar Surabaya, tidak perlu membawa keramik dari Jakarta. Atau, untuk mengisi pasar Sumatera, akan lebih murah bila mengirimnya dari pabrik di Serang.

Tandean mengakui, keberhasilan Arwana tidak terlepas dari peran agen ataupun dealer yang berhadapan dengan end user. Menurutnya, yang terpenting bagaimana toko/dealer selalu mempromosikan produk Arwana. Tentunya ini bukan hal mudah, sebab masing-masing merek menjanjikan margin dan iming-iming bonus bila penjualannya mencapai target tertentu. “Kami menjual putus, sehingga tidak memberikan blind bonus,” ia menandaskan. Alasannya, margin yang diberikan cukup besar, 5%-6%.

Untuk meningkatkan loyalitas agen, beberapa hal dikembangkan Arwana. Antara lain, keterbukaan dan komitmen perusahaan memberikan harga sama bagi seluruh agen di seluruh Indonesia. Tak heran, kini keramik merek Arwana berkibar di beberapa daerah di Indonesia. Seperti diakui Willy Candra Wijaya, Manajer Cabang PT Catur Sentosa Adiprana, subdistributor di Surabaya, saat ini Arwana menguasai pasar keramik dengan penjualan 350-400 ribu m2/bulan, dan telah menyalip Mulia yang sebelumnya mendominasi pasar keramik di Ja-Tim dengan penjualan 250 ribu m2/bulan. Selain Mulia, pesaing Arwana di Ja-Tim adalah Murono (Asia Tile), Akura (Grup Mulia), Garuda dan KIA. “Saat ini rasanya Arwana sudah tidak di bawah Mulia,” ujar Willy.

Kelebihan Arwana, menurut Willy, manajemennya mampu menjaga hubungan baik prinsipal-distributor/subdistributor-toko. Sebagai prinsipal, ia melanjutkan, Arwana cukup responsif terhadap informasi yang diberikan. Apalagi, untuk distribusi produknya Arwana menggandeng PT Catur Sentosa Adiprana yang memiliki gudang cukup banyak di Ja-Tim, antara lain di Kediri, Malang dan Madiun, sedangkan Mulia hanya memiliki gudang di Surabaya. “Ini salah satu kekuatan distribusi Arwana.”

Strategi promosi? Boleh dibilang, hampir tak terdengar. Namun, menurut Willy, yang terpenting bagaimana bisa masuk sampai ke pelosok daerah tanpa biaya ekstra. Sepanjang pengetahuannya, Arwana memang tak melakukan promosi above the line ataupun below the line. “Tanpa melakukan aktivitas promosi saja, saat ini sering terjadi kekosongan barang,” ujarnya.

Sebagai prinsipal, Willy mengatakan, Arwana juga tidak jorjoran memberikan hadiah ataupun insentif kepada subdistributor dan toko. “Itu kadang dilakukan, tapi sifatnya temporer,” katanya. Subdistributor misalnya, hanya diberi margin sekitar 10%, sedangkan toko mendapat keuntungan Rp 1.000-2.000 untuk penjualan per m2.

Menurut John S.L. Chang, General Manager PT Satya Langgeng Sentosa, distributor Roman, Royal dan Grace Wood, di pasar Arwana tidak melakukan gebrakan apa-apa. Yang ia tahu, Arwana sangat memperhatikan harga, sehingga bisa menjual produk dengan harga murah. “Mungkin di antara pemain keramik, harga produk Arwana yang paling murah,” katanya.

Berbeda dari para produsen keramik lainnya, hingga kini Arwana belum berminat menggandeng pengembang. Alasan Tandean, saat ini banyak perusahaan properti yang masih sekarat, sehingga dikhawatirkan akan menghambat pembayaran. ?Jadi, kami tetap mengandalkan penjualan ritel,? ujarnya.

Yang menonjol dilakukan Arwana justru berbagai langkah efisiensi. Meskipun laba perusahaan terus meningkat, manajemen tetap konservatif. Misalnya, kendaraan operasional direksi hanya Toyota Kijang. Begitu pula, untuk tugas ke luar kota direksi cukup menggunakan penerbangan kelas ekonomi. Toh, kendati menghemat di sana sini, setiap tahun Arwana menaikkan gaji karyawan.

Ke depan, menurut Tandean, Arwana tetap mempertahankan pertumbuhan 20% per tahun agar bisa memberikan dividen kepada pemegang saham. “Tahun 2005, mungkin kami akan menambah pabrik baru, meskipun lokasinya saat ini belum bisa ditentukan,” katanya. Ia menambahkan, Arwana belum akan melirik pengembangan ke bisnis keramik dinding. Alasannya, permintaannya belum besar, padahal biaya produksi rata-ratanya relatif tinggi, tapi marginnya relatif tipis.

Riset: Asep Rohimat.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved