Listed Articles

Dampak Publikasi Best Brand

Oleh Admin
Dampak Publikasi Best Brand

Publikasi tentang keberhasilan suatu merek sebagai the best brand selalu mengundang tanggapan, baik yang positif maupun negatif. Seperti yang bisa ditebak, tanggapan negatif datangnya lebih banyak dari pihak perusahaan yang mereknya tidak masuk dalam daftar; ataupun jika masuk, tidak menduduki peringkat yang diharapkan. Keluhan bermunculan, antara lain mempertanyakan validitas dan reliability metodologi penelitian yang dilakukan, serta kredibilitas lembaga periset.

Perusahaan yang mereknya tidak berhasil menduduki peringkat atas boleh saja menghibur diri, menganggap bahwa publikasi tersebut kecil dampaknya terhadap pemasaran karena hanya merupakan potret sesaat akan keadaan pasar. Pendapat ini tidak sepenuhnya salah, karena untuk kategori produk tertentu, memang benar konsumen tidak terlalu ambil peduli: merek yang dipilihnya the best untuk ukuran kebanyakan orang ataukah tidak.

Pendapat ini sayangnya tidak berlaku untuk produk yang tergolong dalam kategori high involvement, yaitu jenis produk yang sebelum diputuskan dibeli, konsumen terlibat dalam suatu proses pencarian informasi yang cukup panjang. Suka atau tidak suka, publikasi peringkat merek, apa pun kemasannya, baik dalam bentuk penganugerahan ?best brand? maupun dalam bentuk ulasan topik utama di media, akan membawa dampak yang cukup besar dalam pemasaran produk.

Debat seputar penting-tidaknya publikasi sebagai merek terbaik ini membuat saya teringat pada anak saya yang baru duduk di kelas satu sekolah dasar di Sydney. Ia sempat kesal ketika saya berkali-kali bertanya padanya, apakah ada di antara temannya yang memberikan selamat pada saat ia menerima academic proficiency award dalam pembagian raport belum lama ini. ?Who cares about award, Mum. We are only small kids,? begitulah ekspresi kekesalannya.

Meminjam istilah anak saya, konsumen akan menjawab ?who cares about award? kalau ditanya mengapa ia tidak memilih merek yang dinobatkan sebagai merek terbaik pada saat membeli minuman ringan, biskuit atau sabun cuci. Proses penentuan pembelian merek untuk produk yang masuk kategori small ticket item atau low involvement ini sangat berbeda dari produk high involvement.

Michael Ray mengidentifikasi kontras yang mencolok antara Learning Hierarchy dan Low-Involvement Hierarchy dalam model information processing yang ia kembangkan (lihat Tabel). Learning Hierarchy berlaku untuk produk high involvement. Urutan proses yang dilalui oleh konsumen dimulai dari ?Learn (mempelajari produk)?, diikuti dengan ?Feel (merasakan/menghayati)? dan diakhiri dengan ?Do (membeli)?. Konsumen perlu waktu yang panjang di tahap ?Learn? untuk mempelajari secara aktif seluk-beluk produk.

Untuk sebagian besar konsumen, membeli mobil hanya dilakukan beberapa tahun sekali. Karenanya, wajar jika mereka meluangkan waktu khusus untuk riset tentang kelebihan dan kekurangan berbagai jenis merek, agar tidak kecewa setelah membeli. Publikasi tentang Toyota Kijang sebagai Merek Terbaik versi IBBA 2003, misalnya, akan berarti banyak bagi yang sedang menganalisis kredibilitas kendaraan non-sedan. Demikian pula, iklan yang dibuat Telkomsel untuk produk kartu Halo dan Simpati saat mendapat IBBA 2003. Publikasi ini sangat bermanfaat bagi konsumen yang sedang mencari informasi produk telekomunikasi.

Sekolah bisnis juga termasuk dalam kategori produk high involvement, karena selain tuition fee-nya mahal, penentuan sekolah ini juga besar pengaruhnya terhadap karier seseorang. Pada saat muncul keinginan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yang dilakukan adalah mencari informasi sebanyak-banyaknya. Mulai dari membuka situs web tiap sekolah, menanyakan pengalaman teman dan relasi, hingga mencari berita di media massa. Publikasi peringkat sekolah bisnis di media yang kredibel menjadi sumber referensi yang besar peranannya.

Lain halnya dengan proses Low-Involvement Hierarchy atau dengan urutan ?Learn?Do?Feel?. Proses ?learn? hanya dilalui secara pasif melalui informasi yang diterima secara acak. Konsumen tidak terlibat dalam proses pencarian informasi yang seksama, karena produk small ticket item ini risikonya kecil. Selain harganya murah, dampak psikologis bila salah membeli juga rendah. Karena itu, dalam iklan-iklan produk low involvement seperti sampo, permen dan sejenisnya, perusahaan lebih menitikberatkan pada faktor non messages seperti jingle, musik dan selebriti. Tujuannya, menarik perhatian konsumen yang dalam situasi ?don?t care? terhadap informasi produk.

Kesimpulannya, bila produk yang kita tangani termasuk low involvement, tidak usah terlalu panik menyikapi publikasi merek-merek terbaik. Ini hanya sebagai masukan untuk mengamati sejauh mana penerimaan konsumen terhadap merek. Sebaliknya, bila produk yang kita pasarkan masuk dalam kategori high involvement, dan kali ini tidak terpilih sebagai best brand, hadapilah publikasi itu sebagai alarm tanda bahaya. Jauhkan sikap ?who cares?. Yang harus cepat dilakukan adalah pembenahan internal, antara lain meningkatkan kualitas produk, diimbangi dengan pembenahan eksternal lewat media massa untuk memperbaiki persepsi konsumen. Targetnya, jadi merek nomor satu pada saat pemilihan best brand tahun depan!


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved