Listed Articles

Indosat: Saatnya Jadi Challenging Brand

Oleh Admin
Indosat: Saatnya Jadi Challenging Brand

Life begins at fourty. Barangkali ungkapan itu tepat buat Indosat saat ini. Di usia ke-40 tahun pada 2007 ini, Indosat benar-benar mulai dihadapkan pada situasi persaingan bisnis yang makin terbuka, makin berani (vulgar), dan berlangsung sangat ketat. Bisa dibilang seperti iklan rokok: “Bikin hidup lebih hidup”.

Yang paling menohok adalah di bisnis seluler, yang memberikan kontribusi pendapatan terbesar Indosat, sekitar 77%. Dalam dua tahun terakhir terjadi dinamika luar biasa dalam hal penetrasi pasar, perkembangan teknologi dan inovasi layanan. Siapa pun pemain di dalamnya — termasuk Indosat — dibuat terengah-engah karena kegairahan yang diciptakan. “Beginilah kalau industrinya belum mature. Semua pemain memiliki kesempatan sama besarnya merebut pasar,” ujar Agus W. Soehadi. Guru besar Prasetiya Mulya Business School itu memperkirakan empat tahun mendatang barulah akan tampak situasi pasar yang lebih matang.

Berdasarkan data Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia, potensi pasar seluler memang masih menggiurkan. Diperkirakan baru 80 juta pengguna telepon nirkabel (wireless line) dari sekitar 230 juta jiwa penduduk Indonesia atau sekitar 34%. Padahal, di beberapa negara mapan, jumlah pengguna telepon nirkabel bisa mencapai minimal 75%. Artinya, masih terbuka peluang besar bagi pemain seluler di Indonesia untuk membiakkan diri. Indosat yang memiliki tiga produk unggulan — Matrix, pascabayar untuk pelanggan profesional; Mentari, prabayar untuk pelanggan menengah; dan IM3, prabayar untuk pelanggan muda & trendi — masih berpeluang besar memenetrasi pasar. Dikatakan Guntur S. Siboro, Direktur Pemasaran Indosat, pihaknya baru mengumpulkan sekitar 18 juta pelanggan layanan seluler, tak sampai 8% dari penduduk Indonesia. “Bagi kami, pasar seluler memang masih menjanjikan. Ia baru bisa dibilang saturated (jenuh) kalau angkanya mendekati 50%,” ujar Guntur mantap.

Kendati peluang pasarnya sangat besar, bukan berarti bisa mudah menggarapnya. Kini, setidaknya ada 12 produk beradu di telepon nirkabel (berbasis GSM dan CDMA). Masing-masing masih sibuk mencari kekuatan dan diferensiasi yang berbeda-beda, meskipun pasar yang dituju kurang-lebih sama. Akibatnya, seperti terlihat belakangan ini: terjadi overcommunicated — gara-gara masing-masing operator ingin paling didengar pelanggannya.

Melihat komunikasi yang makin crowded ini, menurut Agus, para operator perlu mengevaluasi program pemasaran yang dijalankan. Lebih baik lagi jika mengkaji kembali cetak biru pemasaran yang telah dibuat.

Mengapa? Karena, produk dan teknologi di bisnis seluler kurang-lebih sama. Bahkan Mas Wigrantoro, Ketua Masyarakat Telematika Indonesia, menyebutkan bisnis seluler sudah seperti komoditas saja. Sehebat apa pun produk, teknologi dan layanan yang diberikan, semuanya dengan mudah bisa diikuti operator lain. Wigrantoro mengatakan, sesungguhnya tidak ada diferensiasi yang kuat antara Simpati, XL, Mentari, Jempol, Bebas, dan lainnya. Kalaupun operator memiliki dua produk yang berbeda, menurut dia, sebenarnya cuma satu macam produk, soalnya yang membedakan hanya segmen pasarnya.

Dari sisi harga juga tidak jauh berbeda. Hanya pengemasannya yang berbeda. Strategi promosinya pun sama. Kalau operator yang satu pasang model A, yang lain mengikuti dengan perbedaan yang tidak signifikan. Satu mensponsori event atau membuat event, yang lain pun begitu. Pesannya relatif sama pula: satu mengandalkan coverage, yang lain juga. “Lama-kelamaan industri ini akan menjadi generik,” ucap Wigrantoro.

Seharusnya, menurut dia, semirip apa pun produk-produk itu, harus tetap ada keunikan atau diferensiasi yang dikembangkan sebagai nilai tambah yang enabler dengan produknya. “Tidak harus ikut-ikutan, tapi sesuatu yang diterima konsumen sebagai value yang berdaya saing,” katanya tandas. Misalnya, memberikan paket istimewa untuk pasar korporat. Hingga sekarang, pasar ceruk ini masih berpeluang besar dikembangkan.

“Di sinilah, strategi pemasaran yang berorientasi ke pelanggan (customer centric strategy) menjadi mutlak dibutuhkan,” ujar Agus. Ia menunjukkan tiga poin yang harus dimainkan: mengakuisisi pelanggan, mempertahankan pelanggan dan meningkatkan keuntungan pelanggan.

Upaya mengakusisi pelanggan bisa dilakukan dengan membuat diferensiasi atau inovasi produk. Lalu, upaya mempertahankan pelanggan dapat dilakukan dengan meningkatkan layanan, siap mendengarkan keluhan pelanggan, memperkenalkan produk baru, terus menambah fitur baru, ataupun membuat program-program loyalitas. Dan guna menambah keuntungan pelanggan, program yang sering dilakukan: memberikan paket kemasan, melakukan subsidi silang, meningkatkan value (baik di produk maupun harga) dan memberikan tarif murah.

Menurut Agus, operator harus bisa memberikan nilai tambah yang konkret, tepat sasaran dan sesuai dengan kapasitasnya (kompetensi). Jangan sampai terjadi: ingin mendapatkan semuanya, tetapi dilakukan dengan strategi pas-pasan. “Itu namanya terjebak strategi pemasaran semu. Artinya, strategi yang diberikan sangat mudah dibaca lawan dan diketahui apa ujung-ujungnya,” tuturnya lagi.

Sayangnya, pendekatan seperti itu justru banyak terlihat sekarang. Kebanyakan pemain tidak dibekali latar belakang strategi yang kuat dan matang. Akibatnya, mau mengakuisisi, eh program yang dijalankan malah hanya memainkan harga. Bukankah dalam konsep yang berorientasi ke pelanggan, akuisisi berarti menggarap inovasi dan diferensiasi? Namun, mengapa malah bicara potong harga? Itu contohnya.

Itulah yang layak menjadi perhatian Indosat sebagai pemain seluler nomor 2 di negeri ini agar tidak terjebak pada pertarungan liar. Dalam beberapa kasus, Indosat menonjol dengan strategi harganya. Ia pun bisa menempatkan dalam objektif yang tepat untuk memberikan manfaat kepada pelanggan tetapnya, seperti bundle pricing, package pricing, usage induced pricing, hingga family & friend pricing (Mentari Hebat Berlima).

Akan tetapi, untuk sekarang tidak cukup hanya itu. Lebih dari itu, sebagai merek, Indosat harus secara terbuka menempatkan diri sebagai challenger, bukan sekadar follower. Sebagai penantang, kekuatan yang dimilikinya adalah mengenali pesaing dengan seksama, dan menjadikan kelemahan pesaing sebagai kekuatannya. Ini berbeda dari follower, yang selalu ikut apa yang dilakukan pionir. Follower pun tidak membutuhkan cetak biru jangka panjang. Sebab, mekanisme kerjanya memang mengikuti apa yang dilakukan pesaing. Modalnya, uang dan nekat saja. Lain halnya jika menjadikan mereknya sebagai challenger, sang penantang. Di mana pun berada, banyak contoh penantang bisa menjungkirkan pemain utama. Misalnya, Adem Sari menjungkirkan Cap Kaki Tiga, dan pembalut Softex yang makin mengungguli Laurier. Rahasia sukses mereka adalah semangat sebagai penantang.

Selama ini, Indosat yang telah memiliki 7.666 base transceiver station pada akhir triwulan I/2007 terkesan head-on dengan pemain-pemain yang sesungguhnya ada di bawahnya dalam hal penetrasi pasar. Indosat tampak lebih suka berjibaku dengan pemain-pemain yang memang memburu posisi kedua untuk menggantikannya, seperti XL dan Hutchitson dengan Threenya. Mengapa seolah-olah semua follower? Mengapa Indosat tidak mengubah pola pikir komunikasinya hingga menjadi challenger dan menantang Telkomsel, umpamanya?

Padahal, sebagai challenger, modal Indosat sangat memadai. Pertama, pengalaman yang panjang dan pengembangan infrastrukturnya yang memadai. Sesuai dengan sifat bisnisnya, industri ini terus membutuhkan investasi tambahan untuk pengembangan infrastruktur. Indosat punya itu. Buktinya, ia telah mengantongi lisensi 3G dan ekspansi FWA di 22 kota serta layanan 3,5G di Jakarta dan Surabaya.

Kedua, layanan dan portofolio mereknya sudah lengkap. Di bisnis seluler, Indosat punya empat merek: selain Matrix, Mentari dan IM3, ada pula 3G ? HSDPA Services for Wireless Broadband. Di luar itu, ada bisnis telekomunikasi tetap: SLI 001, SLI 008, Flat Cal 016, Star One, SLJJ 011; dan Multimedia Komunikasi Data & Internet (MIDI) yang tumbuh baik. Kelengkapan portofolio produk ini akan dapat menyeimbangkan skala ekonomis perusahaan hingga efisien dan maksimal.

Yang ketiga, dukungan tim pemasaran yang andal. Seperti pendapat Agus, dalam situasi hiperkompetisi seperti saat ini, dibutuhkan pemasar yang bisa menggerakkan seluruh sendinya untuk mencapai hasil maksimal: keuntungan perusahaan. ?Dibutuhkan kecerdasan dan kecermatan mengalkulasi situasi pasar agar tidak terjerumus beradu di red ocean,? tutur Agus menyitir W. Chan Kim dalam bukunya, Blue Ocean Strategy.

Agus memberikan contoh, agar konsumen tertarik berkomunikasi dengan intens, pemasar harus bisa bekerja sama dengan pengembang bisnis untuk mengembangkan konten secara terus-menerus. “Tapi, sayangnya, inovasi dan diferensiasi tidak dikembangkan secara baik,” ujarnya. Ia mencatat ringback tone sebagai inovasi yang fenomenal. “Setelah itu, saya lihat diferensiasi dan inovasi tidak banyak dikembangkan, lebih banyak diferensiasi harga sekarang,” katanya lagi bersemangat. Menurutnya, menambah konten baru harus menciptakan revenue. ?Jangan sekadar menambah fitur, tapi tidak benar-benar menempel,? lanjutnya sambil menambahkan, fitur mesti memberikan daya tarik kepada pelanggan tetap.

Begitu pula di Indosat. Tim pemasarannya dituntut secara cerdas dan cermat memperbarui cetak biru pemasaran ke depan. Tiba saatnya bagi Indosat mengembangkan strategi Blue Ocean: keluar dari persaingan paritas dan membangun medan pertempuran baru.

Guntur tidak ingin muluk-muluk dengan program pemasaran yang dijalankannya. Dalam pertemuan di Indosat Press Tour CommunicAsia 2007 di Singapura, ia mencanangkan: sampai akhir 2007 pihaknya akan menambah target 7 juta pelanggan baru dengan angka pertumbuhan 20%. Dan karena yang dituju saat ini adalah segmen pasar bawah, tantangannya adalah bagaimana bisa menawarkan program yang kompetitif tapi dengan angka keuntungan yang tidak tergerus. “Kami ingin menjalankan marketing yang efisien,” katanya bertekad. Dalam arti, pemasaran yang optimal dari segi biaya dan dampak yang dihasilkannya. “Tidak mudah lho, membuat program yang diapresiasi secara tepat itu,” Guntur mengingatkan.

Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengembangkan upaya akuisisi serta mempertahankan ataupun meningkatkan pendapatan perusahaan. Antara lain, kini baru saja diluncurkan keberadaannya: community marketing. Sebuah pendekatan pemasaran yang berbasis pada komunitas.

Dari survei Majalah SWA dengan Prasetiya Mulya Business School tentang komunitas Indosat, Indosat Community (IC), diketahui bahwa mereka berada di tipe developer yang berprospek tumbuh semakin solid dan memberikan kontribusi ke perusahaan. Artinya, IC masih berpeluang dipoles dan dibesarkan. Potensi IC yang sangat besar belum dimanfaatkan secara maksimal. “Dengan memberikan penanganan terhadap komunitas yang baik, saya yakin akan menambah barisan nilai tambah yang menjadi daya saing Indosat,” kata Agus sebagai salah satu penelitinya.

Menurut Agus, Indosat punya pelanggan switcher dan loyalis. Kelompok switcher biasanya tertarik pada harga dan hadiah. Adapun kelompok loyalis cenderung tidak sensitif harga. Dengan memahami data lengkap menyangkut portofolio pelanggan, Indosat bisa mengembangkan program yang tepat, terutama untuk pelanggan loyal.

Kalau bertahan dengan kondisi perang seperti saat ini, dikhawatirkan akan terjadi perang otot saja, bukan pertarungan strategis yang melibatkan kecerdasan dan kreativitas. Padahal, aspek bisnis seluler bukan hanya bagaimana bermain kata-kata lewat iklan atau bermain harga yang disebut dengan innovative pricing. Bisnis seluler juga menyangkut kualitas jaringan dan layanan.

Reportase: Herning Banirestu dan Afiff M. Dewanda

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved