Listed Articles

Jurus Watchout Berbisnis Outdoor Fashion

Oleh Admin
Jurus Watchout Berbisnis Outdoor Fashion

“Free your nature”. Slogan citra produk fashion outdoor merek Watchout ini memang tecermin dari aneka ragam produknya yang kasual, macho dan natural. Sejak diluncurkan tahun 1983 Watchout dirancang dengan karakter comfort, styling, ready topack and go serta dapat dipakai dari pagi sampai malam hari. Tak pelak, konsumen yang menggandrunginya terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah jalur distribusi. Kini Watchout memiliki 150 konter dan 7 Oxa House di seluruh Indonesia.

Nama besar Watchout tak bisa lepas dari sosok Imelda The. Berangkat dari hobi membuat baju sendiri, pada 1979 ia mulai percaya diri menjual ke tetangga kiri-kanan. Berikutnya, merambah toko-toko di pinggir jalan. Karena model dan kualitas bahannya banyak disukai, Imelda kewalahan kalau mengerjakan sendiri. Maka, diajaklah 9 rekannya untuk bergabung dan suaminya, Muljadi, juga mendukung sebagai penyuplai bahan baku serta penasihat tren fashion. Waktu itu, model pakaian pertama yang dibuat adalah untuk segmen wanita dengan merek Win&Win.

Tak puas cuma menggarap pasar wanita, Imelda ingin lebih serius berbisnis pakaian. Lalu, ia merangkul adik lelakinya, Aan Sinanta, dengan membuka toko ritel kecil yang memasarkan pakaian merek Oxa dengan mengibarkan bendera PT Binacitra Kharisma Lestari pada 1983. BKL didirikan dengan modal sendiri dan pembiayaan bank. Dan, merek Oxa membidik segmen pria dan wanita remaja. Merek Oxa dipilih dengan pertimbangan agar gampang dibaca dan diingat lantaran menggunakan huruf-huruf yang sangat familier. Katakanlah, untuk menyebut O cukup dengan kode lingkaran, silang untuk X dan segi tiga untuk huruf A. Jadi, sebagaimana diakui Imelda, tidak ada arti khusus untuk penamaan merek Oxa.

Akan tetapi, menurut Winny Muljadi, Manajer Merchandising BKL, karena alasan merek Oxa terlalu umum, BKL me-leverage lagi dua merek baru di bawah Oxa. Untuk busana laki-laki diberi label Watchout, sedangkan Triset untuk busana wanita. “Konsep Watchout adalah pakaian outdoor, atau lebih tepatnya ke model travel wear atau leisure wear,” ujar Winny yang juga anak kandung pasangan Imelda-Muljadi. Travel wear adalah perbatasan antara pakaian olah raga dan busana kasual.

Mengapa Watchout tertarik memilih model pakaian luar ruang? Berdasarkan survei, menurut Winny, ada dua alasan utama. Pertama, sebelumnya BKL telah mengamati kecenderungan pria Indonesia yang aktif dan senantiasa berada di bawah sinar matahari. Lagi pula, sifat bisnis di Indonesia adalah perindustrian, sehingga belum banyak yang harus berpakaian formal dalam bekerja, kecuali sektor perbankan. Dari situ, Watchout ingin memberi solusi alternatif dan kemudahan berbusana bagi pria Indonesia agar terlihat lebih menarik, rapi dan keren sepanjang hari tanpa usaha yang berlebih. Alasan kedua, agar lebih fleksibel dalam mengikuti tren mode busana yang sifatnya jangka panjang. Pemakai bisa mengenakan koleksi Watchout selama mungkin tanpa takut ketinggalan zaman.

Target pasar Watchout adalah pria berumur 25 tahun ke atas. Namun, melihat 2-3 tahun belakangan ini banyak anak muda kuliahan yang daya belinya sudah kuat, Watchout membuat koleksi juga untuk mereka. “Kami juga membuat pilihan produk berdasarkan rentang umur target pasar kami. Ini dimaksudkan agar konsumen bisa lebih mudah mix and match busana sesuai dengan umur, keperluan, suasana dan kepribadiannya,” Winny menjelaskan. Ada empat kelompok usia sasaran pasar Watchout. Pertama, pria usia 20-25 tahun (kuliah): WP8 jins, WK7, WK8 kaus/knits dilapis dengan WS5 kemeja. Kedua, pria umur 26-35 tahun (kerja): WP2 celana/chinos, WS3 kemeja tangan panjang, WS6 jaket, WX5 colour series. Ketiga, pria umur 26-35 tahun (kasual): WP3 celana kasual & kargo, WP8 celana lima saku, WS5 kemeja tangan pendek kotak, garis, army, WK8 kaus T-shirt, WS6 jaket. Keempat, pria usia 36-45 tahun (kasual/weekends): WP3 basic, WP2 celana officer dengan WX5 colour series, WK7 kaus wangki. Adapun harganya bervariasi, dari Rp 50 ribu hingga Rp 300 ribu.

Kendati segmen pasarnya dibagi-bagi berdasarkan usia, pada prinsipnya target pasar Watchout, diistilahkan manajemen BKL, adalah The Geezers, yaitu pria usia 20 tahun ke atas yang berpikiran bahwa pendidikan bukan menjadi faktor utama bagi mereka dalam menentukan gengsi. Bagi mereka, penampilan adalah yang utama. Dan, mereka berani keluar uang banyak, sering berbelanja, berpenampilan kasual, sportif dan macho, tapi berkepribadian menarik, rendah hati dan ramah. “Namun, kelompok ini berbeda dari pria metroseksual pada umumnya. The Geezers cenderung lebih macho, rugged, sportif dan natural dibanding mereka yang fashionable,” katanya. Ia berpendapat, figur publik yang punya karakter itu semua ada di personel grup band Jikustik. Tak mengherankan, di berbagai acara promosi off-air Watchout sering menampilkan Jikustik.

Walaupun varian produk Watchout beragam dan selalu up-to-date, Winny mengaku tidak merekrut perancang istimewa. “Untuk menjadi desainer kami, tidak ada syarat khusus. Yang penting, mereka berbakat dan harus memiliki banyak ide,” ujar sarjana Bisnis dan Pemasaran Internasional dari University of Technology Sydney itu. Yang jelas, mode tercipta dari hasil olahan beberapa gagasan kreatif. Sumber inspirasinya dari mana-mana. Bisa datang dari tren peragaan busana di luar negeri atau majalah mode asing. Pendeknya, kiblat mode Watchout mengacu ke gaya Amerika dan Eropa.

Watchout punya jurus khusus membangun merek, sehingga mampu bertahan di bisnis fashion lebih dari 23 tahun. “Untuk membangun brand Watchout, harus tetap bertumpu pada konsep yang diistilahkan dengan brand identity,” tutur Winny. Itulah sebabnya, BKL selalu konsisten dalam pemilihan bahan (superior fabric, washed cotton, comfortable), proses (special dyeing), warna (earth palette), sampai tampilan (rugged look, attention to detail).

Langkah utama dalam pembentukan identitas merek atau citra Watchout terletak pada pemilihan warna yang earth colour/palette atau warna-warna tanah yang natural. Warna ini tidak hanya menjadi ciri khas di Watchout, tapi juga merek lain. Langkah kedua, menjaga citra merek Watchout. Caranya dengan jarang memberikan diskon harga. Walaupun banyak komplain masuk karena harga Watchout yang relatif tinggi dan jarang memberi diskon, pihaknya tak gentar. Ini semata-mata demi menjaga gengsi pelanggan. Apalagi, mark-up awal harga Watchout tidak seperti merek kompetitor.

Ayunan langkah ketiga untuk menjaga citra merek Watchout: mengadakan acara reminder atau brand awareness. Contohnya, 9 September lalu menggelar program Oxa in Fashion. Acara seperti ini dilakukan saban tahun. Selain program bellow the line, Watchout pun tetap beriklan di media cetak (Majalah Mens Health, Popular, Tabloid Bola) dan katalog in store. Namun, untuk iklan televisi, Watchout belum berencana menampilkannya lagi. Asal tahu saja, tahun 2000 Watchout sempat mengisi iklan di TV kereta eksekutif (Argogede, Argobromo, dan sebagainya). Total bujet untuk promosi setahun berkisar Rp 500 juta-1 miliar.

Tidak lengkap rasanya jika upaya-upaya menjaga citra merek itu tidak ditopang oleh ketersediaan produk atau distribusi. Itulah sebabnya, Watchout tergolong gencar membuka gerai baru. Saat ini Wathcout memiliki 150 gerai di seluruh Indonesia. Mayoritas produknya dipasarkan secara konsinyasi di sejumlah dept.store terkemuka, antara lain Matahari, Yogya, Rimo dan Ramayana. Sebagian lagi dijual di gerai Oxa House. Kehadiran Oxa House sengaja dirancang sebagai Rumah Watchout, sehingga koleksinya paling lengkap. Kini sudah ada 7 gerai Oxa House yang tersebar di Bandung, Bekasi, Jakarta, Cirebon, Samarinda dan Pekanbaru. Rencananya, tahun 2007 hendak dibuka tiga gerai Oxa House lagi. Untuk produk yang tidak tercakup dept. store, dipasarkan oleh agen di luar Pulau Jawa. Adapun pengiriman produk ke berbagai dept. store itu dilakukan 2-4 minggu sekali.

Soal omset, Winny enggan mengungkapkannya. Meski begitu, ia tidak mengelak bahwa jumlah produksinya per tahun mencapai sekitar 700 ribu potong (tidak termasuk aksesori). Dengan asumsi harga rata-rata produk Watchout Rp 150 ribu, maka omset per tahun ditaksir kurang-lebih Rp 105 miliar. Dan untuk menyuplai ratusan ribu produk ke ratusan titik distribusi itu, BKL memiliki 1.700-an pasukan, mayoritas bekerja sebagai buruh jahit. Sementara itu, material pakaian didapat dari pemasok lokal Bandung dan impor dengan perbandingan 60:40.

Saat ini produk favorit Watchout adalah jenis kemeja lengan pendek, WP8 (celana kargo lima saku), WP3 dan kaus. Penjualan kemeja menyumbang lebih dari separuh omset Watchout. “Mungkin karena kemeja dipakainya enak kali ya, jadi banyak yang suka,” ujar Winny bangga. Penjualan aksesori (tas, sandal, sabuk, dompet, topi, dan lain-lain) menyumbang 15%-20% omset perusahaan ini. Sementara itu, perbandingan omset Watchout dan Triset adalah 60:40. Mengapa Watchout lebih besar? ”Karena, Watchout selain lebih mahal dari Triset, juga counter-nya lebih banyak,” Winny menjelaskan. Ini tidak lain bagian dari strategi besar Oxa yang ingin lebih fokus ke Watchout. Apalagi, persaingan produk fashion wanita lebih banyak. Tambahan lagi, ternyata konsumen pria umumnya lebih loyal kepada merek baju.

Sampai sekarang merek Watchout belum diekspor ke mancanegara. “Soalnya, pasar lokal saja masih terbuka luas, terlebih konsentrasi distribusinya sekarang baru mencakup Pulau Jawa dan Indonesia bagian Timur. Bagian Barat belum tergarap optimal,” ungkap Winny. Akan tetapi, tanpa mengusung merek Watchout, BKL telah mengekspor produknya ke beberapa negara. Umpamanya, merek Quicksilver, Oxbow, GAP dan Old Navy. Negara tujuan ekspornya adalah AS, Eropa dan Jepang. ”Kami sanggup menghasilkan 200 ribu pieces tiap bulan untuk memenuhi beberapa merek internasional tersebut,” kata wanita usia 27 tahun itu. Winny mengatakan, selama ini ekspor BKL lebih banyak berupa pakaian anak-anak. Perbandingan omset penjualan pasar lokal dan ekspor adalah 70:30. “Fleksibel kok. Tergantung season-nya. Kalau musim ekspor, ya lokalnya dikecilin. Tapi jika Lebaran begini, ya lebih banyak lokal,” kata Winny saat diwawancarai di lokasi pabrik Watchout, kawasan Cisirung 99, Mohammad Toha, Bandung.

Target jangka pendek BKL adalah memperkuat posisi di pasar lokal dengan cara memperbanyak dan memperkuat titik distribusi ke penjuru Indonesia. Juga, ekspansi jaringan Oxa House ke luar Jawa. Sementara target jangka panjangnya, Watchout diupayakan penetrasi ke pasar internasional dengan memakai merek sendiri bila pasar dunia sudah membaik.

Jahja B. Soenarjo tidak terkejut mendengar omset Watchout per tahun yang mencapai Rp 100 miliar lebih dengan kapasitas produksi 700 ribu potong. “Masih okelah, dengan catatan belum dipotong margin outlet 30%,” ujar konsultan pemasaran dari Direxion itu. Menurut Jahja, pasar pakaian kasual pria Indonesia sekitar lebih dari 2 juta potong/bulan. Ia menilai posisi Watchout di segmen pakaian kasual atau luar ruang pria bersaing dengan banyak produsen, seperti Gufo, Rodeo, McGee, Hammer, Country Fiesta dan Oto-Ono.

Kini, di tengah lesunya industri garmen dan serbuan produk impor Cina, Jahja melihat tidak ada pemain yang benar-benar menonjol. “Bisa meraih market share 5% saja sudah bagus,” ujarnya. Namun, diakuinya, Watchout masih termasuk merek yang masuk jajaran atas di segmennya. Kondisi ini berbeda dari tahun 1990-an, dengan promosi yang gencar, brand awareness Watchout kala itu bagus sekali. “Kalau sekarang, kayaknya promosi Watchout menurun.”

Promosi ini dianggap Jahja masih menjadi titik lemah Watchout. Ini menjadi gejala umum bagi pemain garmen yang lain, yaitu tidak pernah konsisten dalam berpromosi. ”Membangun merek itu kan harus konsisten. Tidak bisa sekali promosi, lain kali hilang. Meski krisis seperti sekarang juga perlu, jangan sampai hilang sama sekali,” ia menyarankan. Menurutnya, dengan banyaknya pesaing, otomatis pull marketing juga harus jalan lewat penguatan distribusi. Jadi, tidak melulu push marketing belaka.

Di mata Jahja, titik kekuatan Watchout adalah kualitas produk. “Bahannya bermutu, desainnya tidak terlalu mengikuti tren, tapi juga tidak terlalu ketinggalan. Lifecycle product-nya juga lama,” kata Jahja. Citra merek yang sudah lama terbentuk bisa menjadi modal penting Watchout.

Jahja mengharapkan Watchout tidak hanya menjadi pemain impor, tapi juga pemain lokal yang kuat di daerah, seperti merek Gabrielle yang kuat dan berbasis di Jawa Timur. Untuk itu, promosi mesti lebih agresif dan distribusi tidak hanya mengandalkan dept. store, tapi harus direct store. Pasalnya, jika di mal atau dept. store saja, terkesan eksklusivitas mereknya kurang. Selain itu, harga pun harus dipertahankan, jangan lebih mahal dari produk lain yang dijual di dept. store.

Soal tingginya harga Watchout juga dikeluhkan konsumen. Weddy Surya, misalnya, menyarankan Watchout juga memberikan rabat sebagaimana merek busana kasual pria yang lain. “Hitung-hitung supaya lebih terjangkau dan banyak varian produk Watchout yang bisa kita beli,” kata Weddy yang mengenal produk itu dari awal masuk kuliah, tahun 2000. Awal ketertarikannya ketika ia melihat gerai Watchout di salah satu mal di Yogyakarta. “Nuansa tokonya penuh dengan adventure, jadi saya tertarik masuk,” katanya mengenang. Produk pertama yang dibelinya: celana cargo. Sejak itu, hampir 6 bulan sekali ia membeli produk Watchout. Sekarang koleksinya macam-macam, dari celana kargo, jins hingga rompi. Sekali belanja, ia menganggarkan Rp 150-200 ribu.

Reportase: Afiff M.D.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved