Listed Articles

Kopi Manis dan Pahit

Oleh Admin
Kopi Manis dan Pahit

”Matur nuwun sanget, Pak. Terima kasih. Balance is the best, tapi yang dilihat publik cangkirnya, keluarga dan Tuhan merasakan kopinya,” saya membalasnya dengan antusias.

Memiliki cangkir yang cantik, analogi dari jabatan, pekerjaan dan kekayaan yang memuat kopi enak, analogi hidup dan kehidupan, memang menjadi dambaan setiap orang. Itu adalah dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Dalam keadaan normal, hukum keseimbanganlah yang berlaku. Dalam kondisi konflik, hukum prioritaslah yang harus didahulukan. Ini bukan pilihan buah simalakama, pilihan misi hidup yang sebenarnya sudah sangat jelas digariskan Sang Pencipta. Kopi dulu baru bicara cangkirnya.

“Yang paling saya rindukan saat ini Pak, suami ada di samping saya, mendampingi saya. Dalam kondisi sakit begini, saya tidak butuh apa-apa lagi. Saya hanya menginginkan suami mau duduk menemani saya. Bukan hanya membiayai pengobatan yang mahal, makanan yang enak dan perawatan di rumah sakit kelas yang paling utama,” keluh seorang istri yang sedang sakit berat pada kami dalam sebuah visitasi.

”Lho, kenapa begitu? Ada apa memang dengan suamimu?” kami bertanya untuk mendalami harapannya. ”Dia memang pekerja keras, kariernya cemerlang sehingga sampai pada kedudukan seperti ini. Rumah kami besar dan segala kebutuhan material kami dipenuhi,” ujarnya setengah mendesah. ”Tapi,” ia berkata sembari sesenggukan dan menyeka air matanya yang mulai berlinang, ”sejak ia jadi bos, kami merasakan hubungan kami semakin renggang. Kami jarang berkomunikasi. Kami hanya bicara seperlunya dan kehilangan kehangatan seperti kala ia masih pemimpin tingkat menengah.”

Kami tertegun lesu. Sebuah harapan yang sangat sederhana sebenarnya. Tatkala gelimangnya uang dan kehormatan kekuasaan tak mampu menyembuhkan rasa sakitnya, sang istri tidak menuntut banyak dari laki-laki yang dulu pernah jadi idolanya.

Sekali lagi, fokus pada cangkir yang cantik justru kerap merusak kenikmatan kopi nan hangat yang seharusnya menjadi prioritas pertama dan utama. Banyak pemimpin yang kelihatannya sukses diukur dari karier, pangkat dan kekayaan, tapi kehilangan kehangatan cinta dari bawahan dan pelanggannya, apalagi keluarganya di rumah.

Pemilik kopi pahit, karena sumbernya sudah pahit, senantiasa mengeluarkan kepahitan kala orang meneguknya. Banyak bawahan dan kolega yang mengalami kepahitan tatkala diskusi dan minta petunjuk. Kalimat kasar dan merendahkan sering keluar, tanpa ada rasa takut menyakiti hati orang. Orang terpaksa mengiyakan dan menyetujui bukan karena mengerti, tapi karena takut dan tak mau berhubungan lebih lama lagi. Kalau bisa menghindar, adalah skenario yang selalu dipikirkan. Hanya karena ia punya kuasa, banyak orang terpaksa harus datang dan berdialog soal tugas dan pekerjaan. Lain dari itu, tidak.

Jangankan usul sesuatu yang baru, membuat ide perbaikan saja harus menunggu saat yang tepat kala ide itu harus bersentuhan dengan sesuatu yang dikenal sebagai “konsep si bos”. Daripada tersiram kopi pahit, lebih baik diam, tunduk dan menunggu. Pokoknya, mereka mengiyakan apa yang bos mau. Sewaktu implementasi, soal lain. Banyak bawahan yang tak walk the talk, karena mereka memang tak berani talk the walk. Lari, kalau bisa dan sempat.

Pemilik kopi enak dan manis memiliki kecenderungan sebaliknya. Ia digali dan ditimba banyak orang. Bukan soal pekerjaan, target dan aktivitas kantor saja, tapi ia juga menjadi sumber inspirasi bagi sebuah nilai kehidupan. Bawahan dan rekan kerja betah bercerita berlama-lama soal kualitas kopi masing-masing. Soal anak dan istri, juga soal cinta dan dosa. Tak ada yang ditakuti. Darinya diperoleh pencerahan yang mendalam. Ia sangat memperhatikan kehidupan di luar lingkaran PDCA (plan-do-check-action).

Kalau begitu, izinkan saya bertanya, “Kopi Anda manis juga, kan?”

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved