Listed Articles

Lompatan Kuantum 6T Elnusa

Oleh Admin
Lompatan Kuantum 6T Elnusa

Tahun 2000, kerugian besar mendera PT Elnusa. Akibat depresiasi rupiah yang sangat tinggi, dari pembelian peralatan pada 1997 anak perusahaan Pertamina ini menelan kerugian Rp 260 miliar. Harus diakui, sebelum krisis, Elnusa cukup gampang memperoleh kucuran pinjaman dari perbankan. Hal ini tidaklah mengherankan, mengingat di tahun itu perbankan cukup likuid mengucurkan kredit ke semua sektor, termasuk minyak dan gas bumi.

Inilah problem yang mesti dihadapi Rudy Radjab yang diangkat menjadi Direktur Utama Elnusa pada 2001. Untuk membalik arah (turnaround) perusahaan, Rudy pun segera melihat ada empat masalah besar yang harus diselesaikan perusahaan ini. Pertama, kerugian yang mencapai Rp 260 miliar. Kedua, utang sebesar US$ 60 juta. Sementara proyek-proyek yang akan dikerjakan ditunda semua akibat krismon. Elnusa pun tidak tahu mesti mengusahakan apa dengan pinjaman sebesar itu. Pilihannya, apakah mesti mencari bisnis baru yang jika dihitung keuntungannya berkisar 5%-10%. Atau, merestrukturisasi pinjaman. “Kalau tidak dilakukan, apa boleh buat, kami harus puasa,” katanya prihatin.

Sebenarnya, di periode sebelum Rudy menjabat sebagai dirut pun sudah dicoba langkah-langkah perbaikan. Hanya saja, hasilnya belum optimal. Di era kepemimpinannya, ia memilih merestrukturisasi pinjaman. “Kami mendapat haircut dari para kreditor,” kata pria yang kini menjadi dirut lagi untuk periode berikutnya. Berkat haircut itulah Elnusa, menurutnya, bisa survive pada waktu itu.

Masalah ketiga, sinergi antaranak-usaha masih rendah. Anak-anak usaha banyak yang bergerak sendiri dan saling tumpang tindih sehingga sering berebut proyek. Buntutnya, kinerja perusahaan menurun drastis. Dan keempat, isu-isu legal yang terkait dengan masalah di masa lalu yang belum jelas. “Kami selesaikan masalah isu yang terkait di masa lalu, yang harus saya selesaikan pada masa saya,” katanya sambil mengelak menceritakan detail persoalannya.

Dengan terpetakannya masalah tersebut, manajemen memulai dengan restrukturisasi organisasi, sistem dan pinjaman. Langkah ini dimulai pada 2001-2004. Kala itu direksinya tidak sama dengan yang sekarang. Bisa dibilang, ini merupakan tahap pertama perubahan yang dilakukan Elnusa. “Target utama, memperoleh kinerja terbaik sehingga tidak lagi menjadi beban pemegang saham. Cara ini sekaligus menyehatkan kinerja anak-anak usaha dan memupuk kebersamaan,” ujar Rudy. Diakuinya, pada periode itu rapor anak-anak usaha merah semua. “Alhamdulillah, kami bisa selesaikan restrukturisasi pada 2004,” ujarnya lagi. Setelah restrukturisasi pinjaman selesai, Elnusa yang semula masuk dalam daftar kolektibilitas tiga akhirnya bisa mencapai kolektibilitas nol. “Kami sudah bisa take off. Pada waktu direksi baru masuk pada periode berikutnya, kami sudah bisa mengoptimalkan kinerja Elnusa.”

Perlahan-lahan, keuntungan pun bisa dibukukan. Tahun lalu perusahaan mencatat laba usaha Rp 79 miliar atau melonjak 318% dibandingkan dengan 2004 yang hanya Rp 19 miliar. Pendapatan usaha pun meningkat dari Rp 1,1 triliun (2004) menjadi Rp 1,3 triliun (2005). Dilihat sepintas, kenaikan pendapatan memang tidak signifikan. Namun, melalui efisiensi yang dilakukan sepanjang 2005, perusahaan membuktikan dapat meningkatkan laba usahanya.

Kini semua rapor anak usaha sudah biru. Diharapkan pada akhir 2006, pendapatan Elnusa mencapai Rp 1,7 triliun. “Mudah-mudahan bisa kepala dua,” kata Rudy penuh harap. Bahkan, pada 2009 ditargetkan pendapatan mencapai Rp 6 triliun! Sebuah angka fantastis untuk target waktu yang cukup singkat: tiga tahun mendatang.

Namun, Rudy bersama direksi lainnya sangat optimistis dapat meraih revenue sebesar itu. Caranya? Menurut Rudy, para direksi memiliki latar belakang kuat untuk mendukung target tersebut. Direktur Operasi Eddy Sjahbuddin, misalnya, datang dari induk perusahaan, Pertamina. Selain itu, ada Direktur Keuangan Hendri S. Suardi, yang pernah berkarier di Citibank dan perusahaan minyak asing. Ditambah Direktur Pengembangan Bisnis Dixie Sebastian, yang juga memiliki pengalaman panjang sebagai geologis.

Kepada SWA, Rudy yang lulusan Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung tahun 1974 menjelaskan asal-usul target pendataan sebesar Rp 6 triliun tersebut. ”Dasar pemikirannya, karena kami ingin memberi lebih banyak kepada masyarakat,” katanya menandaskan. Ceritanya, di awal masuknya direksi baru (2004), mereka duduk bersama memikirkan masa depan Elnusa. Ketika itu, Rudy melontarkan ide memperbesar nilai zakat 2,5% yang biasa diberikan kepada masyarakat. “Zakat 2,5% ini adalah tabungan akhirat untuk seluruh karyawan Elnusa. Karena itu, kami ingin bisa memberi zakat double digit dari 2,5% yang ditetapkan,” ujarnya memaparkan. Maka, keluarlah angkanya sebesar Rp 15 miliar. Dengan begitu, keuntungan yang harus dicapai adalah Rp 600 miliar. ”Itu mimpi kami,” ujarnya. ”Jika Rp 600 miliar itu 10% dari revenue, total revenue yang harus dicapai adalah Rp 6 triliun.”

Untuk menggapai mimpi tersebut, Elnusa menjalankan berbagai program inovasi. Program inovasi ini terdiri dari dua kategori. Pertama, internal innovations yang meliputi cost saving, mencari pasar baru dan pooling system. Kedua, extraordinary innovations yang berarti anak-anak perusahaan harus pandai membaca peluang pasar dengan selalu melihat pada benchmark. Melalui dua program inovasi itu, Rudy dan direksi lainnya berharap dapat berlari mengejar target revenue Rp 6 triliun. “Tabungan 2,5% itu menjadi dorongan yang kuat hingga ke karyawan lapisan bawah,” ujarnya. Ia menambahkan, karyawan ikut termotivasi mencapai target itu karena mereka merasa bekerja untuk ibadah. Sebelumnya, harus diakui, perusahaan yang menginjak usia 37 tahun ini lebih banyak melayani kebutuhan Pertamina dan menunggu order dari induknya.

Rudy menegaskan, keberhasilan restrukturisasi yang berujung pada turnaround tak bisa lepas dari peran direksi sebelum periodenya. Kala itu, para direksi berani membukukan kerugian dalam satu tahun anggaran. Tujuannya, agar kerugian itu tidak terus terbawa ke tahun-tahun berikutnya. Dengan demikian, diharapkan kinerja bisa membaik — setidaknya 3-5 tahun setelah kerugian dibukukan. “Direksi berani mengungkapkan kerugian sebesar Rp 260 miliar pada 1999-2000,” ujar Rudy mengenang. Pada 2001, ketika periode kepemimpinan berganti, pemimpin baru Elnusa — Rudy — sudah tidak dibebani kerugian lagi. Perlahan-lahan, kinerja anak-anak perusahaan yang berjumlah 14 — 12 anak perusahaan dengan kepemilikan 100% dan dua lainnya afiliasi — diperbaiki. Setelah rapor anak perusahaan biru semua, otomatis kerugian itu tertutup.

Untuk menyederhanakan pengelolaan bisnis, Direktur Keuangan Hendri S. Suardi menjelaskan, manajemen melakukan pooling system. Beberapa aktivitas yang bersifat umum disentralisasi. Sebagai contoh, pengadaan alat tulis kantor, traveling dan asuransi. Manajemen menyadari, bila masing-masing anak perusahaan berjalan sendiri-sendiri, posisi tawarnya akan rendah karena order pembeliannya dalam jumlah kecil. Namun ketika disatukan, posisi tawarnya menjadi lebih besar.

Dalam urusan traveling, misalnya, Hendri memaparkan, banyak karyawan Elnusa yang melakukan perjalanan jauh mengingat beberapa ladang minyak terletak di luar Jawa. Tak mengherankan, biaya traveling di Elnusa cukup besar. Karena itu, jika urusan pembelian tiket dan hotel disatukan di pusat, volumenya akan lebih besar sehingga perusahaan bisa mendapatkan special rate. Hendri memberi gambaran, dalam setahun biaya traveling dan tranportasi bisa mencapai Rp 41 miliar. Jika mendapat diskon 10% saja, berarti perusahaan sudah menghemat Rp 4 miliaran. Ternyata, pendekatan sederhana ini berhasil menekan biaya pengeluaran.

Dalam hal managing cost, manajemen memperbaiki proses bisnis. “Kami coba memetakan bisnis-bisnis Elnusa,” ujar Hendri. Ia memaparkan, sebuah aktivitas bisnis terdiri atas beberapa operasi. Dari situ dilihat efektivitasnya. “Kami lihat lagi alur kerjanya. Bila pekerjaannya bisa dilakukan oleh satu orang, tidak perlu menaruh orang banyak di situ. Selain itu, juga memotong alur kerja yang tidak perlu sehingga proses bisnisnya menjadi lebih efisien.”

Hendri mengungkap, di salah satu anak perusahaan, yaitu PT Elnusa Geosains, net profit margin-nya paling banter 8%. Setelah perusahaan menjalankan berbagai efisiensi dalam proses bisnisnya, net profit margin-nya meningkat menjadi 13%. Setidak-tidaknya, ada kenaikan laba bersih sekitar 5%.

Sejauh ini, kontribusi revenue anak-anak usaha terhadap total revenue Elnusa paling besar berasal dari sektor migas, yaitu lebih dari 90%. Selebihnya disumbang dari telekomunikasi, yaitu PT Elnusa Telematika dan Data Management. Adapun Patrakom dan Infomedia tidak dikonsolidasi karena kepemilikan saham Elnusa di kedua perusahaan ini kurang dari 50%. Ke depan, Elnusa tetap fokus pada bisnis di sektor migas.

Di samping mendorong kinerja keuangan, restrukturisasi kedua yang dimulai 2004 dengan direksi baru juga mulai memetakan bisnis Elnusa. “Kami lihat ada bisnis-bisnis yang tercampur aduk,” tutur Eddy Sjahbuddin, Direktur Operasi. Agar alur bisnis berjalan baik, lini bisnis diatur lagi. “Seperti ketika kita memasak, ditata lagi, diatur agar garam, gula dan bumbu masak ada di dekat kita. Sebelumnya, semua itu ada di tempat yang berjauhan, jadi sulit,” kata alumni Geologi ITB ini. Contohnya, bisnis wireline logging. Bisnis ini dinilainya dekat dengan pengeboran. Namun, selama bertahun-tahun justru berada di survei seismix (geosains). Ketika akan meraih pasar untuk pengeboran, ternyata orang pemasaran yang berperan adalah yang berada di seismix (geosains), bukan orang-orang yang terkait dengan pengeboran. Akibatnya perusahaan tidak fit, sulit bergerak lincah karena terpecah-pecah. “Kalau sekali-kali tidak apa, tapi proyek itu kan terus-menerus,” tuturnya. Oleh Eddy, perusahaan ini dirombak sehingga lahirlah perusahaan baru yang integrated services bernama PT Elnusa Drilling Services (EDS). Perusahaan ini merupakan lini bisnis yang cocok untuk pengeboran dan saling mendukung satu sama lain.

Penyederhanaan bisnis pun dilakukan dalam rangka reorganisasi dengan menyatukan bisnis-bisnis yang mirip. Misalnya, PT Sinarriau Drillindo dicangkokkan ke EDS. Selain itu, Elnusa Telematika dan Elnusa Rentrakom juga digabungkan karena bisnisnya mirip. Dengan penggabungan ini, arah bisnisnya pun diubah. Yang tadinya hanya berjualan komputer menjadi pengembangan sistem informasi dan program. “Banyak sekali yang bisa kami efisiensikan. Demikian juga dengan karyawan dan ruangan kantor. Tetapi, size bisnisnya jadi lebih besar,” ujar Eddy. Menyangkut soal pengurangan karyawan, menurut pria yang pernah berkarier di Pertamina itu, hanya dilakukan pada karyawan kontrak. Sementara bagi karyawan tetap yang sudah bekerja lama, ditawarkan pensiun dini.

Hasil reorganisasi kini mulai kelihatan. ”Elnusa berhasil mengembangkan bisnis di luar negeri,” katanya. Di antaranya, Elnusa Geosains mendapatkan proyek di Irak senilai US$ 40 juta. Tiga tulang punggung Elnusa pun digenjot, yaitu geosains, drilling services dan workover services. “Kami ditantang CEO. Sekarang tidak bisa biasa-biasa saja, tapi harus luar biasa,” katanya lagi, bersemangat.

Hendri menilai, Elnusa termasuk yang diuntungkan dengan tingginya harga minyak saat ini. Tingginya harga minyak ini mengakselerasi perusahaan-perusahaan minyak dalam meningkatkan produksinya. Elnusa sudah pasti tidak mau ketinggalan momen tersebut. Jasa-jasa pertambangan seperti seismix, drilling dan workover kini makin diburu. Elnusa memiliki semua jasa itu sehingga tinggal ditingkatkan saja kinerjanya. Di sinilah direksi Elnusa ditantang untuk mengubah paradigma karyawan agar mau bekerja lebih keras lagi.

Di sisi lain, masih berkaitan dengan tingginya harga minyak bumi, Hendri melihat, ada keinginan pemerintah mendiversifikasi bahan bakar. Di antaranya, pemerintah berkomitmen bahwa nanti sebagian kecil solar (5%-10%) adalah campuran dari biodiesel. Bagi Elnusa, ini merupakan peluang mengembangkan pasar. ”Kalau pemerintah sudah menetapkan arah kebijakannya ke sana, ada peluang pasar yang besar. Apalagi, kami sudah punya kompetensi pada downstream di bisnis ini,” ujar Hendri.

Tentu saja, peluang ini tidak disia-siakan. Saat ini Elnusa dalam tahap akhir pembangunan beberapa pengembangan proyek baru, antara lain, pertama, pembangunan pabrik pengilangan biodiesel. Diharapkan, pada 2009 Elnusa paling tidak telah memiliki lima unit pengilangan biodisel. Masing-masing unit direncanakan menyumbang pendapatan US$ 12 juta setahun. Bila memiliki lima unit, sumbangannya menjadi US$ 60 juta setahun. Kelima unit pengilangan biodiesel ini berlokasi di Merak, Banten. “Unit pertamanya akan beroperasi tahun depan,” ungkap Hendri seraya menambahkan, di proyek ini Elnusa memiliki 60% saham.

Kedua, konsesi gas Elnusa-Bangkanai. Bila sudah berproduksi, Hendri memperkirakan, bisa menghasilkan pendapatan setahun US$ 25 juta. “Sekarang masih dalam tahap eksplorasi. Kami perkirakan akhir 2008 sudah menghasilkan,” katanya lalu menambahkan, pihaknya sedang mencari pembelinya. Lalu ketiga, Elnusa sedang dalam studi kelayakan untuk pengembangan integrated supertransit terminal. ”Ini adalah storage besar, yang mengintegrasikan berbagai migas yang bisa dimanfaatkan oleh BBM atau Elpiji,” tutur Hendri menjelaskan. Storage ini mempunyai kapasitas 1 juta kiloliter, terdiri dari beberapa tangki yang rencananya berlokasi di Banten. Perkiraan Elnusa, jika rencana ini bisa dijalankan, revenue-nya mencapai US$ 70 juta. Di proyek ini Elnusa mempunyai kepemilikan 51%. Keempat, Elnusa ingin mengelola salah satu ladang minyak di Papua bersama Pertamina. Dalam setahun pendapatan yang dihasilkan dari ladang minyak ini sekitar US$ 26 juta. “Kami berharap tahun 2008 lapangan minyak ini bisa beroperasi,” katanya. Di proyek yang satu ini, model kerja samanya masih digodok Pertamina. Namun, ia menyangkal proyek yang bakal memproduksi 5.000 barel minyak/hari ini sebagai pemberian khusus dari Pertamina.

Melihat begitu banyaknya rencana bisnis Elnusa, dapat dipastikan perusahaan ini membutuhkan suntikan dana segar yang cukup besar. Penawaran saham perdana (IPO) dirasa sebagai salah satu jalan keluar untuk membiayai porsi ekuitas karena tak mungkin semuanya dibiayai perbankan. Manajemen berharap, Elnusa siap melantai di bursa pada 2008. “Kami sedang menunggu persetujuan pemegang saham, dalam hal ini Pertamina sebagai pemegang saham terbesar (51%). Kami juga sudah mulai menyeleksi lembaga-lembaga penunjang IPO,” ungkap Hendri yang lulusan Elektro ITB ini. Saham yang akan dilempar ke publik rencananya sebesar 25% atau setara US$ 25-30 juta.

Dengan segala upaya yang dilakukan manajemen saat ini, Hendri sekaligus menepis anggapan bahwa Elnusa hanya menunggu disuapi induknya, Pertamina. Meski Elnusa merupakan anak usaha Pertamina, Hendri menegaskan, sejak dulu setiap proyek diperoleh dengan cara tender terbuka. “Semua harus profesional dan terbuka. Tendernya juga harus fair,” ujarnya. Saat ini pekerjaan yang berasal dari Pertamina sebesar 30%-40% dari total proyek Elnusa. Diakuinya, jumlah order dari Pertamina ada kalanya meningkat. Namun, Hendri menilai hal itu bukanlah dosa karena semua order didapat dengan tender yang fair dan terbuka.

Di luar itu, Elnusa ingin memfokuskan bisnisnya pada hulu migas yang bisa memberikan margin lebih baik. Untuk mempertahankan kompetensi pada hulu migas, perusahaan juga berancang-ancang mengembangkan retail network (stasiun pengisian bahan bakar umum/SPBU). Langkah ini dinilai sebagai salah satu kunci sukses dalam memenangi persaingan di bidang ritel. Selain itu, Elnusa juga akan mengembangkan kompetensinya di bidang telematika, khususnya difokuskan pada sektor yang tidak padat modal. Untuk menjaga agar kelangsungan bisnis di tiap-tiap usaha yang dimasuki berjalan baik, perusahaan membentuk komite-komite. Saat ini di Elnusa ada empat komite yang bertugas mengawasi operasi perusahaan: Komite Investasi, Komite SDM, Komite Manajemen Risiko dan Komite Internal Audit. Anggotanya berasal dari berbagai divisi. Komite SDM, misalnya, ditangani Direktur Administrasi dan Keuangan, VP Pengembangan SDM Korporat, dan lain-lain. Adapun Komite Manajemen Risiko kebanyakan diisi orang-orang independen.

Yang tak kalah penting, SDM didorong melahirkan inovasi-inovasi baru yang bisa menunjang pertumbuhan bisnis. Contohnya, drilling, yang merupakan produk utama pengeboran minyak, dilakukan inovasi yang dapat mendorong efisiensi. “(Karena) mahalnya harga tanah, harus dicari cara agar tidak selalu membebaskan tanah ketika mengebor sumber minyak di lokasi-lokasi yang berdekatan. Jadi, ngebor-nya bisa berbelok,” Hendri menjelaskan.

Kembali ke soal target mencapai revenue Rp 6 triliun, diakui Hendri, terkesan fantastis. Terlebih, target itu ditetapkan pada 2004 ketika revenue perusahaan baru mencapai Rp 1,1 triliun. “Mungkin dinilai seperti mimpi, tapi kami rasa itu realistis,” ujarnya. Mengapa? “Market geosains tidak hanya di Indonesia, tapi juga di luar negeri. Selain itu, pasar kami bukan hanya snubbing atau workover, tapi juga oilfield. Bahkan, kini kami menjadi integrated drilling services,” katanya memaparkan. Ia yakin, potensi bisnis minyak dan gas bumi sangat luas, terutama di downstream. Mulai proses minyak keluar dari lahan, masuk ke kilang, hingga sampai ke SPBU dan akhirnya ke pemakai akhir, dipaparkan Hendri, market size-nya mencapai US$ 4,2 miliar.

Lebih jauh ia melihat, cukup mudah menciptakan revenue di bisnis hilir. Jika Elnusa memiliki 20 SPBU — satu SPBU kecil menghasilkan Rp 36 miliar setahun — total revenue-nya Rp 720 miliar. Untuk SPBU yang lebih besar, pendapatannya bisa mencapai Rp 360 miliar setahun. Jadi, bicara target Rp 6 triliun pada 2009, dinilai Hendri, tidak menyeramkan. “Dari bisnis hilir saja kami bisa memperoleh Rp 2 triliun dalam setahun. Hanya saja, margin SPBU sekarang rendah karena regulasi marginnya dipatok 4% (premium) dan 5% (solar),” ujarnya. Bahkan, sekarang marginnya bisa lebih tipis lagi. Walau demikian, selain pendapatan dari penjualan bensin, jika mengikuti konsep Petronas Malaysia, Elnusa masih bisa menggali pendapatan lain dari lingkungan sekitar SPBU, seperti galeri ATM, kafe atau minimarket. “SPBU juga bisa dijadikan tempat kongko atau pasang iklan. Ini bisa menambah income,” katanya. Saat ini Elnusa memiliki 13 SPBU, dan akan ditingkatkan menjadi 26 SPBU tahun depan.

Rudy mengakui, dalam setiap perubahan selalu ada resistensi. Kepada karyawan ia menyampaikan, untuk mencapai masa depan yang lebih baik harus berani berkompetisi sekaligus berkooperasi dengan siapa pun. Yang tak kalah penting, untuk mempertahankan performa Elnusa, pihaknya menerapkan good corporate governance (GCG) dan melakukan IPO. “Dengan IPO, berarti ada kontrol dari publik. Saya yakin akan sustain, dan kami juga menerapkan Malcom Baldrige National Quality Award (MBNQA) dengan konsultan dari ITB,” kata dirut yang gemar bermain band ini menjelaskan.

Fit & proper testjuga dilakukan kepada seluruh jajaran board of director (BOD), direksi anak perusahaan hingga para manajer. Tujuannya, tak lain agar didapat orang-orang yang tepat di masing-masing tempat. Manajemen baru pun lebih terbuka terhadap kritik dan saran. Semua orang bisa leluasa mengungkapkan ide pada atasannya, sekaligus menyampaikan kritik bila dirasa ada yang mengganjal. “Ada semacam ajang khusus di mana para direksi anak usaha berkumpul dengan BOD. Mereka bisa mengkritik dan bicara terbuka demi kemajuan perusahaan,” ungkap Eddy. Direksi di anak-anak perusahaan pun wajib bertemu dengan bawahannya di tempat masing-masing.

Salah seorang karyawan, Baskoro Tedjo, yang telah 25 tahun berkarier di Elnusa, mengaku sangat bersemangat dengan kemajuan perusahaannya. Pria yang kini bertanggung jawab di bidang telematika dan inovasi produk ini bertugas memantau, mengevaluasi, menganalisis dan membantu unit-unit usaha di bidang tersebut. “Saya membantu guna mencapai target di anak-anak perusahaan, dengan tidak menyalahi GCG,” ujar lulusan Elektro ITB ini. Baskoro memandang, meski merupakan anak perusahaan Pertamina, sejak awal dibentuk Elnusa tidak tergantung pada induknya. Maka, ia melihat Elnusa bisa bertahan. “Kami sudah terbiasa berpikir survive dalam setiap perubahan.”

Berdasarkan pengalamannya sendiri, ia menilai target perusahaan mencapai revenue Rp 6 triliun sangat mungkin direalisasi. “Saya melihat target Rp 6 triliun itu wajar, memang sudah harusnya. Menantang, tapi wajar kok,” kata Baskoro antusias. Ia mengakui, mulanya ada resistensi karyawan. Akan tetapi setelah disosialisasi, semua karyawan bisa memahami dan malah mendukung. Selain itu, ia merasa manajemen lebih terbuka. “Kami bisa menyampaikan kritik, masukan dan ide kepada direksi untuk kebaikan Elnusa dalam ajang Rock the Boat,” ujarnya. Inovasi di kalangan karyawan pun didorong, dengan memberikan penghargaan khusus kepada mereka yang menghasilkan inovasi produk.

Sebagai contoh, pada hari ulang tahun Elnusa 9 September lalu, perusahaan memberikan hadiah dengan nilai total Rp 100 juta pada Lomba Inovasi Produk Elnusa. Juara pertamanya, dari bagian geosains dengan inovasi produk Software Tessa 2D, memperoleh hadiah senilai Rp 20 juta. “Kami melibatkan juri dari ITB, lho,” tutur Baskoro bangga. Dijelaskannya, alat itu digunakan untuk mendukung proses seismix. Awalnya, perusahaan menggunakan software buatan Amerika Serikat dan CGG Prancis yang menelan harga US$ 60 ribu dan tiap tahun harus membayar biaya maintenance. Belum lagi, batasan pengoperasiannya hanya maksimum 1 mil dari kantor pusat. “Sangat membatasi kami, sehingga harus dicari cara agar Elnusa lebih berkembang.”

Memotret perubahan yang dilakukan Elnusa, pengamat manajemen dari PPM, Ningky K. Munir, menilai, ada satu langkah turnaround di Elnusa yang terlewatkan. Menurutnya, pada setiap upaya turnaround seharusnya ada tiga langkah yang dilewati perusahaan. Pertama, restrukturisasi keuangan. “Seperti orang sakit yang harus ditangani, menghentikan pendarahan adalah yang utama,” ujar wanita yang menguasai bidang multibisnis dan manajemen perubahan ini. Ningky melihat, langkah pertama ini sudah dilakukan Elnusa. Setelah itu, memiliki target untuk menuju ke depan. Pada fase ini, yang dikerjakan adalah menuju profitabilitas. “Perusahaan berusaha keras membuat cash flow-nya lebih baik,” katanya. Langkah ini pun dinilainya telah dilakukan Elnusa. Nah, langkah ketiga yang, menurut Ningky, terlewatkan adalah terkait dengan soft issues, yakni dengan melakukan sustaining profitable growth.

Maksudnya? Ningky menjelaskan, dalam langkah ini perusahaan berupaya mengubah kultur perusahaan agar orang-orang di dalamnya terbiasa melakukan hal-hal yang baik. Fase ini dimulai dengan perubahan gaya hidup. “Saya tidak tahu persisnya gaya hidup mereka (karyawan Elnusa) dulu sebagai anak perusahaan Pertamina,” katanya. Sejatinya, Ningky memandang, dalam perubahan itu harus ada kejelasan. “Mestinya Elnusa bertekad membangun budaya baru untuk menjadi perusahaan yang mandiri, dan tidak selamanya menjadi bagian Pertamina,” ujarnya menandaskan. Fase ketiga inilah yang ia nilai membuat perusahaan sustain ketika sedang tumbuh. “Itu berarti perusahaan sudah hijrah,” tuturnya. ”Sejauh ini saya tidak melihatnya di Elnusa,” ia menambahkan.

Di luar itu, Ningky melihat, di Elnusa masih ada masalah antara holding dengan anak-anak perusahaannya. Perusahaan multibisnis seperti Elnusa mestinya memiliki efektivitas hubungan antara anak perusahaan dan holding-nya, sehingga kekuatan di anak-anak perusahaan akan melekat. Dengan demikian, nama induk usaha akan kuat di luar. “Jika digambarkan dalam value chain, semuanya mengarah ke ujung,” ujarnya. Elnusa sebagai corporate parenting seharusnya bisa memanfaatkan bisnis-bisnisnya sebagai satu kesatuan. Lebih dari itu, corporate parenting ini akan membentuk kultur di seluruh anak perusahaan.

Karena itu pula, Ningky menilai, langkah percepatan di Elnusa masih punya banyak ruang untuk pengembangan. Terlebih, ia pun tidak melihat strategi corporate parenting yang kuat di perusahaan ini. Dengan corporate parenting, bisa dilihat apakah anak perusahaan bisa memanfaatkan induknya? Jika induknya di bidang minyak & gas bumi, sebaiknya jangan merambah ke bisnis yang tidak terkait kuat dengan induknya. Contohnya, Infomedia. Keberadaan anak perusahaan harus bisa memberi manfaat yang optimal kepada induknya. Jadi, “Bukan sekadar menambah portofolio, tapi apa yang bisa dimanfaatkan korporat dengan keberadaan anak perusahaan itu.” Ningky menyarankan, sebaiknya manajemen melakukan pemetaan dengan menggunakan bagan parenting matrix. ”Dari sana bisa dirancang growth strategy-nya,” tutur pengajar PPM ini.

Ningky mengharapkan Elnusa memahami bisnisnya akan bergerak ke mana. “Mereka harus tegas, yang tidak terlalu memberikan benefit pada korporat, mengapa mereka tidak berani memangkasnya saja?” ujarnya tegas. Kalau ingin melakukan growth strategy, pertumbuhan yang ingin dicapai haruslah jelas. Berdasarkan penelitiannya tentang BUMN, Ningky mengungkapkan, perusahaan milik negara sulit tumbuh lebih cepat dikarenakan adanya intervensi “langit di atas langit”. Jadi, Elnusa perlu bekerja lebih keras dari biasanya untuk menjadi great company. ***

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved