Listed Articles

"Nrimo"

Oleh Admin
"Nrimo"

Ungkapan Pak Nrimo ini membuat saya merasa kecil dalam tatanan hidup yang begitu luas. Nama diri Nrimo bermakna menerima (nrimo). “Tiyang ingkang nrimo (Orang yang menerima dengan pasrah) itu panjang harapnya. Hidup itu sumarah, berserah dan bersyukur. Kita bisa memiliki, tetapi tidak untuk dimiliki,” lanjutnya. “Pak Nrimo pernah memiliki, tetapi kini tak dimiliki?” tanya saya suatu senja di pinggir Alun-Alun Lor. “Tetapi, saya tidak merasa kehilangan. Saya justru bersyukur menerima semua ini,” jawabnya.

Pak Nrimo lalu berkisah. Setelah menikah dengan seorang perempuan pilihan orang tuanya, Pak Nrimo dan istrinya nderek ngenger (turut mengabdi) pada seorang pangeran yang belum berkeluarga. Sang pangeran lebih banyak menetap di Jakarta. Suatu malam, beliau memanggil Nrimo. Matanya menunduk, tak kuasa menatap wajah Pangeran. “Minggu depan aku akan ditugaskan di luar negeri. Kamu ikut, ya?” tuturnya. Hati Nrimo berdenyut cepat. “Ya, kamu dan istrimu,” lanjutnya. “Nderek Bendoro Pangeran iku mulya (Mengabdi sang Pangeran itu mulia),” kata ayah Nrimo.

#########

Inilah pertarungan batin yang dahsyat. Mengabdi dengan sepenuh hati. Sebuah pengorbanan mulia untuk ngalap berkah (mendapatkan berkah). “Lakonona wae (Lakoni saja),” demikian petuah ayahnya. Dan apa yang terjadi, terjadilah. Sang Pangeran akhirnya hanya “mengajak” istri Pak Nrimo ke sebuah negara Eropa. “Bulan depan kau menyusul, Mo,” titah sang Pangeran. Bulan berganti tahun, panggilan tak kunjung tiba. Ia mengabdi si pangeran roda tiga: becak! “Saya kehilangan istri, tetapi Gusti Pangeran kelangan titising rembesing madu, trahing kesumo (telah hilang darah biru keturunan raja),” ujar Pak Nrimo.

Yang selalu mengilhami saya adalah sikap menerima Pak Nrimo. “Gusti Allah mboten sare (Allah tidak tidur), Pak,” tuturnya bernada gembira. “Tukang becak itu ibarat wong kabur kanginan, orang yang tidak berumah, jadi tak sulit menerima kehilangan istri,” ungkapnya. Tidur sendirian, apalagi di atas becak di pinggir jalan, tak merisaukan Pak Nrimo. “Tidur itu sekadar untuk ngleremaken manah (menenangkan hati), meski hanya sak nyuuuk (sekejap),” ungkapnya seraya melepas tawa.

Orang-orang seperti Pak Nrimo itu sungguh menghayati pandangan hidup orang Jawa: manggihakan kebegjan ing salebeting kecingkrangan atau menemukan kebahagiaan dalam ketidakberdayaan. Pak Nrimo memahami hidup berumah tangga itu senantiasa mengandung ketidaksempurnaan. Dan ketika istrinya “direbut” orang, sementara ia masih mencintainya, ia hanya berserah. Hidupnya tampak kecingkrangan , tetapi hatinya seagung dan sekaya hidup itu sendiri.(*)

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved