Listed Articles

Satu Napas dalam Satu Biduk

Oleh Admin
Satu Napas dalam Satu Biduk

Tidaklah keliru bila ada anggapan yang menyatakan Grup Wings tertutup. Pencetlah 108, kemudian, tanyakan nomor telepon PT Wings Surya. Niscaya Anda akan diberi nomor telepon pabrik Wings yang ada di Driyorejo, Gresik. Yang di Embong, Malang, dan Wonocolo, Surabaya, tidak diberi karena si pemilik meminta dirahasiakan. ?Wings memang agak tertutup,? ungkap Neo (bukan nama sebenarnya), karyawan unit Wonocolo yang tak ingin menyebutkan jati dirinya.

Bukan itu saja tanda ketertutupan Wings. Kalau kebetulan lewat jalan Kemlaten Kebaroan, Surabaya, Anda tidak akan mengerti bahwa bangunan kumuh serta tertutup dengan papan bertuliskan KAS 28 (ukuran 50 cm X 80 cm), merupakan home base produsen pembalut Hers Protex (PT Multi Duta Utari) dan Wingsfood. Masyarakat sekitar Kebaroan setali tiga uang dengan Anda. Mereka tidak mengerti bahwa KAS adalah singkatan Karunia Alam Segar. Yang dipahami, pabrik itu hanya memproduksi Jas Jus, padahal sebetulnya juga menghasilkan makanan yang tengah heboh dan menggoyang pasar mi domestik: Mie Sedaap.

Yang lebih tersembunyi justru Wings Unit Kerja Wonocolo. Disebut tersembunyi karena papan nama korporat tidak ada. Yang ada hanya papan ukuran sekitar 50 cm X 40 cm berisi pesan agar tiap tamu melapor ke Pos Satpam. Malah di bangunan belakang Alfamart tidak terpampang pesan apa pun. Kalau hari libur, mirip bangunan tidak bertuan, sedikit kumal, dan sudah menua.

Alhasil, menjadi wajar jika mayoritas generasi muda kawasan Menanggal (wilayah kerja Wings Wonocolo) — terutama yang anggota keluarganya tidak bekerja di Wings — tak mengetahui di dekat mereka berdiri dan beroperasi pabrik sabun sekaliber Unilever. ?Anak-anak muda sini tahunya Wings yang ada di Driyorejo Gresik,? tambah Neo. Padahal, ia melanjutkan, unit Wonocolo berperan penting plus strategis dalam kesejarahan ekspansi Wings. Di Menanggal inilah, pada 1972, pelebaran sayap bisnis dilakukan pertama kali. Setelah itu, baru merambah Driyorejo, Jakarta, dan tempat-tempat lain. ?Saya sendiri tidak mengerti mengapa manajemen memilih kebijakan tidak menampangkan papan nama perusahaan,? kata Neo terheran-heran.

Ya, mengapa tidak memasang papan nama di luar?

?Ada di dalam. Kami tidak pasang di luar, karena kami tidak promosi supaya orang ke sana, sehingga orang yang ke sana (adalah mereka yang) sudah ada tujuan dan tahu (lokasi),? kata Eddy William Katuari, anak keempat dari lima anak Johannes Ferdinand Katuari alias Oen Yon Khing (almarhum), Founder dan Chairman Grup Wings. ?Saya (sendiri) baru pertama kali ini tatap muka secara khusus dengan wartawan. Ini karena amanat dari almarhum Papa saya, tidak perlu publikasi,? tuturnya. Diseling canda tawa, William yang siang itu, 23 Maret 2004, ditemani abangnya, Freddy I. Katuari, agak mencairkan kesan tertutup yang selama ini melumuri wajah manajemen Wings.

?Saya minta Imari saja. Minumnya teh dingin,? kata William kepada waiter Imari Japanese Restoran, Surabaya, ketika ditanya menu pesanan yang akan dikonsumsi. Sejurus kemudian, bersama Freddy ia pun menjelaskan bagaimana gaya manajemen yang mengalir dalam tubuh Wings. Menurutnya, hal mendasar yang perlu dipahami dari Wings yang dibangun oleh Ferdinand dan Harjo Sutanto adalah perusahaan ini tak ubahnya kapal yang mesti dijaga keutuhannya. ?Bahkan, (satu) jarum pun tak boleh membocorkannya,? kata Wiliam.

Apakah itu penerapan falsafah Fu Lu Shou?

?Apa itu. Saya sendiri kok kurang (mengerti),? jawab William perihal konsep tersebut. Fu Lu Shou adalah filosofi konfusianis. Menurut Go Siang Chen, Direktur Integrity Consulting Surabaya, yang sempat menjadi konsultan Grup Wings, fu berarti kekayaan, lu, kebijaksanaan, dan shou, turun-temurun. Jika ketiga kata itu digabung, dapat diartikan dengan kebajikan. Jadi, dasar kebajikan pada filsafat Konfusius adalah kekayaan, kebijaksanaan, dan turun-temurun.

Berdasarkan filosofi tersebut, maka dalam tubuh organisasi Wings ada dua keluarga besar yang bersatu padu: keluarga besar karyawan dan keluarga besar manajemen — yang kebetulan berasal dari dua keluarga (Katuari dan Sutanto). Kesatupaduan ini bernaung dalam payung bernama Wings dengan penghayatan penuh. Artinya, kalau seorang anggota keluarga merasa sakit, yang lain akan merasa sakit pula. Begitu juga sebaliknya, bila senang, yang lain akan ikut senang. Dalam manajemen modern, fondasi manajemen demikian sering disebut dengan istilah sense of ownership dan sense of belonging. Karyawan dan manajemen bersatu padu berlandaskan pada prinsip trust yang amat tinggi.

?Mungkin nggak sengaja kami mengikuti, ha-ha-ha. Saya sendiri nggak ngerti itu, ha-ha-ha,? ujar William. ?Dasar-dasar itu memang hampir sama. Tapi kami nggak sengaja menerapkan. Saya sendiri baru (men)dengar sekarang,? katanya. Yang pasti, Freddy menimpali, ?Yang selalu diwejangkan Papa adalah kebersamaan dan kepercayaan.?

Kalau William dan Freddy mengaku tak begitu mengenal nilai-nilai konfusian, relatif bisa dimengerti. Keduanya lebih bersentuhan dengan dunia modern: William adalah alumni Fakultas Teknik Mesin Institut Teknologi Surabaya (lulus awal 1970-an), sementara Freddy adalah lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang. Namun yang jelas, seingat Alex Liem, pendeta Gereja Kebaktian Allah Globria, Surabaya, prinsip dasar kebersatuan, diambil Ferdinand — yang diajarinya tentang Alkitab dan intisari kekristenan mulai tahun 2000 — dari falsafah Tionghoa yang berbunyi thuan jie shi lik liang. Secara bebas, dapat diartikan ?Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh?.

Inilah yang diduga menjadi salah satu sebab mengapa bisnis Wings, walaupun sudah menggurita, tak mengenal keretakan antarkeluarga — akibat perebutan harta, misalnya. Sebaliknya, generasi dua keluarga pendiri (Katuari dan Sutanto) tetap bersatu menumbuhkembangkan Grup. Benar begitu?

?Semua (memang) seperti satu keluarga. Napas kekeluargaan ini yang kami teruskan,? jelas Freddy. Di level karyawan yang berjumlah sekitar 12 ribu orang, manajemen Grup Wings berupaya menerapkan napas kekeluargaan ini dengan cara memperhatikan mereka sebaik-baiknya. ?Kalau ada karyawan kesusahan, kami beri santunan sesuai peraturan perusahaan. Tapi kalau bebannya di luar batas yang bersangkutan, (dan) perusahaan tidak bisa berbuat banyak, saya tetap bantu, tapi secara pribadi. Kami anggep dia anggota keluarga. Kalau ke orang lain saja, kami mampu memberi bantuan, mengapa ke keluarga sendiri tidak? Bantuan pribadi kan hak saya,? tutur Freddy.

Salah seorang pensiunan Wings unit Wonocolo (sebut saja Elan) mengakui kedermawanan keluarga pendiri Wings. Selama bekerja di Wings Wonocolo, ia amat terkesan dengan gaya kepemimpinan Harjo Sutanto yang di lingkungan Grup Wings akrab dipanggil Pak Tan. Selain merupakan pribadi yang bijak, ngemong, mengerti dan sabar, Tan juga tidak segan-segan merogoh kocek memberi sejumlah uang kepada karyawan. ?Bagi saya, ini bentuk penghargaan paling tinggi terhadap karyawan. Nilai nominalnya sih tidak seberapa. Tapi karena diberikan langsung oleh pimpinan, menjadi lain,? ujarnya.

Unit Wonocolo kini dikendalikan A. Tanuhandoko yang biasa dipanggil Han. Seperti halnya Tan, menurut Elan, Han juga membongkar sekat-sekat birokrasi. Layaknya kepala keluarga, menantu pertama Johannes Ferdinand Katuari ini (menikahi kakak sulung William, Juliana C. Katuari) mudah dihubungi anggota keluarganya. Untuk berkomunikasi dengannya, karyawan tidak harus meminta izin kepada pengawas atau kepala bagian. Selama berada di kantor, karyawan apa pun dapat berhubungan langsung dengan pimpinan. ?Di Wings tidak ada ceritanya karyawan dipersulit bertemu pimpinan,? kata Elan bangga.

Dua hari dalam seminggu, Han biasanya menyisir semua bagian, mengecek keberlangsungan proses produksi. ?Saat ada Pak Han, kami akrab. Kami tidak ewuh pakewuh untuk ngomong apa pun. Misalnya, ?Pak, kapan gaji kami dinaikkan lagi?? Biasanya Pak Han tersenyum, dan menjawab ?Lah wong kowe wis sugih kok njaluk kenaikan gaji?,? cerita Elan.

Inilah, Tofel (bukan nama sebenarnya) mengimbuhi, yang menjadi salah satu sebab mengapa karyawan Wings tampak adem ayem. Kalau toh terjadi pergolakan, dikatakan karyawan Wings Driyorejo ini, cuma sekali meletup dan dipengaruhi situasi eksternal. Tepatnya pada 1998. Terkena efek berantai situasi politik nasional yang gonjang-ganjing, karyawan di tiga unit Wings (Driyorejo, Wonocolo dan Embong) berdemonstrasi menuntut kenaikan biaya transpor. Manajemen Wings, yang tidak ingin memperkeruh suasana, langsung cepat bereaksi (bahkan media massa pun tidak sempat mengendus). Melalui mekanisme pertemuan antara perwakilan karyawan dan manajemen, disepakati kenaikan biaya transpor sebesar Rp 200/orang/hari.

Masih menurut Tofel, dalam mengelola karyawan, manajemen Wings memiliki satu karakter: tak ingin mencari atau memperbesar persoalan. Kalau toh ada masalah yang menyembul ke permukaan, pola penyelesaian dilakukan lewat jalur komunikasi internal di tingkat kepala bagian. Kalau tidak ada kesepakatan, masalah dibawa ke level lebih tinggi (unit). Dan, kalau masih belum tercapai kesepakatan, diusulkan draf penyelesaian akan diputuskan William yang 10 tahun terakhir disebut-sebut menjadi CEO Grup Wings — tentang penyebutan CEO ini, William menampiknya. ?Itu kan Anda yang menyebut,? katanya.

Salah satu kasus yang terkenal perihal penyelesaian masalah secara kekeluargaan adalah So Klin Gate 1996. Kala itu, 1996, ada forklift yang tidak sengaja menabrak gudang barang jadi (finish goods) So Klin hingga menimbulkan lubang dengan ukuran diameter lumayan besar. Salah seorang karyawan kemudian menutupnya dengan triplek. Tak dinyana, lubang tersebut menjadi sarana mencuri So Klin. Dalam semalam So Klin yang dicuri bisa lebih dari 1 palet (125 dos).

Proses pencurian itu tidak hanya berlangsung 1?2 hari, tapi berbulan-bulan. Ini bisa dilakukan karena pola pengumpulan data masih dilakukan secara manual, belum on line system yang real time. Kecurangan yang dilakukan karyawan baru dapat diketahui setelah ada stock opname. Begitu ketahuan, terbongkar pula seluruh personel sindikat jaringan pencurian itu.

Uniknya, manajemen tidak langsung menerbitkan Surat Keputusan PHK. Orang-orang yang terlibat (didampingi Serikat Buruh) dipanggil Han dan wakilnya, Widarta. Mereka bertanya apa penyebabnya sehingga mencuri. Setelah itu, beberapa orang diberi pembinaan tentang perlunya memelihara Wings sebagai sebuah keluarga, sementara dalang-dalangnya tetap dikeluarkan. ?Kami membuat sistem (yang) tanpa kepercayaan pun, perusahaan harus berjalan dengan baik. (Tapi) Kalau kami membuat sistem jelek dengan dasar kepercayaan, akan membuat orang yang baik menjadi jelek,? William menjelaskan.

Itu beberapa contoh penerapan satu napas di level karyawan. Adapun praktik satu napas di level keluarga pemilik Wings, terutama diwujudkan dalam dua hal penting. Pertama, pengelolaan bisnis dan pengambilan keputusan. Kedua, rekrutmen dan jenjang karier.

Seperti diutarakan William, pendiri Wings memang dua orang: Ferdinand yang memiliki lima anak (Juliana, Teddy J. Katuari, Freddy, William dan Finney Henry Katuari) serta Harjo Sutanto yang memiliki empat anak (Hanny Sutanto, Fifi Sutanto, Handoyo Sutanto dan Yenny Lilian Sutanto). Anggota keluarga dari kedua pendiri dilibatkan dalam mengurusi perusahaan. Misalnya, beberapa keponakan Harjo Sutanto, di antaranya Hendrik Tanojo, Alex Ivan Tanojo, Suzanna Tanojo dan Lusi Tanojo — menurut seorang sumber, keempat keponakan Sutanto itu adalah anak-anak Wakijo Tanojo, yang tak lain adalah kakak kandung istri Ferdinand, Lanny Hartati (Tan Thiam Lan). Wakijo sendiri sering disalahmengertikan oleh beberapa pihak sebagai salah seorang pendiri Wings.

Bentuk keterlibatan mereka memang tak sepenuhnya diketahui secara terbuka. Sedikit publikasi perihal kiprah mereka, antara lain Teddy J. Katuari yang menjadi Preskom Bank Ekonomi, Hendrik Tanojo yang menjabat Direktur Utama Bank Ekonomi, Fifi Sutanto yang mengendalikan Ecogreen, dan Ivan Tanojo yang menduduki posisi Direktur Pemasaran salah satu perusahaan Wings.

Terlepas dari kiprah anggota keluarga pemilik yang tak begitu jelas, menurut William, demi menjaga keutuhan perusahaan dan seluruh keluarga, dianut prinsip bahwa board of director merupakan satu badan. ?Semua orang punya kepandaian masing-masing. Kami kumpulin jadi satu, kami bicarain, terus kami putusin. Jadi, nggak ada yang leader. Kami tim. Satu tim lebih bagus daripada satu orang. Karena satu orang kadang bisa benar, kadang bisa salah,? katanya. ?Nggak ada one man show. Kami usahakan keputusan hasil dari team work,? lanjutnya. Pernyataan ini dikuatkan salah seorang sumber. ?Pak Harjo Sutanto pun tetap dilibatkan,? katanya.

Hal seperti itu, menurut William, dipelajarinya ketika ia sempat menjadi trainee di Jepang, di suatu perusahaan. “Di sana, kalau mau melakukan sesuatu, dibicarakan berhari-hari, pakai scheduling, bahas semua dengan duduk bersama,? katanya. Waktu itu, William yang baru saja lulus dari ITS berpikir bahwa semuanya pasti ditentukan oleh sang bos. ?Ternyata tidak. Orang Jepang, kalau satu orang nggak pinter, tapi kalau bersatu menjadi tim, kuat sekali. Itu yang kami pikirkan. Gimanapun juga kami ngikut-ngikut sedikitlah. Saya lebih seneng, jika perusahaan saya di-manage oleh tim yang baik,? ujarnya panjang lebar.

Dengan sifat mengedepankan keputusan berdasarkan hasil kerja tim yang melibatkan anggota keluarga pendiri itulah yang menurut Yadi Budhisetiawan, pakar distribusi dan pemasaran yang juga Direktur Pengelola Force One, menjadi salah satu titik penting kekuatan Wings. Cara tersebut membuat kelompok usaha ini padu dan cepat dalam mengambil keputusan. “Kalau owner sudah bicara, keputusan dapat diambil dalam waktu yang relatif singkat, karena umumnya satu sama lain sudah percaya,? katanya. Kondisi ini, tambahnya, berbeda dari Unilever, misalnya, yang meskipun didukung manajemen berbasis TI, birokrasinya relatif lebih rumit. Tipikal perusahaan multinasional yang amat mengedepankan prosedur karena proses audit dari kantor pusat yang amat ketat.

Jadi, sekali lagi, ?Kami ini tim. Kami tidak akan menonjolkan satu orang. Ini berkat Pak siapa, Pak siapa. Tidak.? Koordinasinya? ?Semua bagian menjadi satu. Kami melepas baju bagian masing-masing. Kami bicarakan satu objek dari sudut pandang berbeda-beda. Terus kami musyawarah, apa yang diputusin,? papar William. Satu hal penting yang mesti digarisbawahi, Freddy menambahkan, “Kami nggak ada bedanya dari keluarga Pak Tan (Harjo Sutanto). Bagi kami satu. Dari kecil kami tidak beda-bedain bahwa kamu Tan, saya Katuari.?

Itulah manifesto satu napas dalam hal decision making dan mengelola bisnis keluarga ini. Dalam hal rekrutmen dan jenjang karier, aspek kekeluargaan juga dilibatkan. Hanya saja, sekalipun ada pertalian keluarga yang erat, management by performance berupaya ditegakkan secara profesional. ?Kalau keluarga nggak mampu, ya minggir, ha-ha-ha. Semua harus sesuai kemampuan. Kami ada konsensus awal, harus profesional. Untuk kemajuan perusahaan dan bangsa kita,? tutur William. Ia juga menambahkan bahwa tak semua anggota keluarga selalu berada di posisi puncak. ?Kadang-kadang, posisi profesional malah lebih tinggi dari keluarga,? katanya lagi kembali diiringi derai tawa. Sayang, ia tak menyebut siapa saja profesional yang telah berada di posisi puncak. Bagaimana dengan karier generasi ketiga?

?Kayak profesional biasa. Kalau mau masuk, ya masuk aja. Menonjol, ya naik,? jelas William enteng. ?Kebanyakan malah sebelumnya at least 2?3 tahun berkarier di perusahaan lain (konsultan, bank asing, dan lain-lain). Baik dalam maupun luar negeri,? Freddy menambahkan. Tentang generasi ketiga ini, yang terdengar kiprahnya adalah B. Danny Katuari yang menjadi salah satu direksi Bank Ekonomi. Cucu Ferdinand lainnya yang menjadi sorotan adalah putri William, Grace L. Katuari. Namun, ini karena ia menikah dengan Martin B. Hartono, generasi ketiga pemilik Djarum. Pernikahan yang kemudian mengundang spekulasi perihal kolaborasi bisnis Wings dan Djarum.

Lantas, apakah ada pembagian peran antarkeluarga? Kabarnya, ada desain bahwa keluarga Katuari di bagian produksi sementara Sutanto di pemasaran?

?Saya nggak ngerti itu, ha-ha-ha. Tapi, dengan profesional kami nggak ada kapling-kaplingan. Dan, tidak semua famili bekerja di Pabrik. Ibu Suzanna Tanojo, contohnya, sudah nggak di tempat kami. Dia sudah berkembang sendiri,? katanya tanpa melanjutkan lebih detail perihal posisi generasi kedua dan kiprah generasi ketiga. Suzanna Tanojo, kabarnya, memulai karier di PT Aktif Indonesia Indah (milik Wings) sebagai Manajer Finansial, dan sempat menjabat Vice President Director anak usaha Wings lainnya, PT Unggul Indah Corporation.

Kendati William menjawab secara diplomatis, pembagian peran ini terkesan memang berjalan, setidak-tidaknya untuk generasi kedua yang kini mengendalikan biduk usaha yang mahabesar ini. Bila William dan Freddy bermain di level pucuk sebagai representasi Grup Wings, maka yang lainnya bermain di level operasional. F. Henry Katuari, misalnya, adalah orang yang langsung berhubungan dengan biro periklanan. Ialah yang mengotaki blitzkrieg (serangan kilat) iklan produk-produk Wings terhadap pesaing, atau sebaliknya, menahan gempuran.

Pembagian peran yang menarik terjadi pada salah seorang anak Harjo Sutanto, Fifi Sutanto. Wanita ini adalah the parfume lady of Wings. Otak dari segala jenis wangi-wangian dalam produk Grup Wings. Salah seorang sumber, sebut saja Sarah, mengungkapkan bahwa untuk menekuni parfum, Fifi bahkan khusus belajar ilmu aroma di negeri mode, Prancis. ?Saya dengar, Fifilah yang nantinya akan menjadi ujung tombak Wings yang kabarnya akan melebarkan sayap ke bisnis parfum,? katanya.

Tak mudah mengonfirmasikan hal ini. Namun yang pasti, karakter keluarga pendiri Wings dikenal low profile. Penampilan mereka sehari-hari sangat sederhana bagi gambaran pemilik perusahaan consumer goods lokal papan atas di Indonesia. Seperti tipikal pengusaha Jawa Timur yang cuek dan nyantai, pakaian yang mereka gunakan cenderung kasual ketimbang dasi plus jas perlente. Hanya pada momen-momen tertentu para pemilik Wings memakai dasi, kemeja resmi dan jas resmi. Contohnya, pada pertemuan dengan klien atau jika ada tamu resmi. Alasannya, menghargai tamu yang datang atau pengundang.

Saking low profile-nya, seorang praktisi periklanan, sebut saja Adolfo, mengungkapkan, orang sekaliber Henry pun berbaur tanpa dikenali bersama konsumen saat peluncuran produk Wings. Pada saat peluncuran satu produk di Mal Taman Anggrek, Jakarta, misalnya, Henry hadir dengan baju yang sangat kasual. Ia pun datang sehabis belanja buku di Gramedia dengan menenteng kantong plastik. Tak ada pengunjung yang sadar bahwa lelaki yang gaya bicaranya Jawa Timuran ini adalah putra kelima Ferdinand Katuari. ?Dan kalaupun tahu, pasti kita tidak menyangka bahwa yang berdiri di depan kita adalah pengusaha kaya karena penampilannya sederhana,? ujar Adolfo.

Kembali ke Freddy dan William serta gaya manajemen Wings. Bila profesionalisme dan team work dikedepankan manajemen Wings, sejatinya hal itu tak terlepas dari upaya putra-putri pendiri yang menginginkan Grup Wings menjadi customer driven company serta learning organization. Dan ini tak terlepas dari masa kecil mereka yang didorong untuk melakukan hal itu.

Freddy dan William, misalnya. Anak-anak Ferdinand itu dididik mengenal bisnis dan pentingnya pelanggan dari bawah. ?Kami mulai dari membungkus sabun, mengangkat pakai forklift, sampai delivery,? ungkap Freddy. ?Kami mulai kecil hidup bersama keluarga. Sejak SD, kami sudah mulai bantu-bantu, ya (menoleh pada Freddy). Ketika kuliah di ITS, saya sudah kerja setengah kuliah,? William menimpali. Kanvaser juga ikut?

?Iya. Dulu saya naik-turun masuk toko. Pakai Colt L300,? jawab William lagi. Selanjutnya ia bercerita tentang bagaimana membina jaringan kemitraan sejak dini. Tahun 1973-74, William melihat masyarakat sekitar Jawa Timur memiliki potensi cukup besar untuk maju. Akan tetapi karena latar belakang mereka petani, toko dibuka dengan cara asal-asalan. “Walaupun back ground saya teknik, saya terjun pertama justru ke pemasaran. Saya ngomong sama mereka, ?Pak, kalau toko ini di-manage secara baik, Bapak akan mempunyai toko yang cukup disegani di sekitar sini. Gimana kalau saya kasih training??,? tuturnya.

Akhirnya, pelatihan digelar. ?Hanya beberapa jam lah. Misalnya, kami beri pemahaman bagaimana cara noto barang (product display) yang baik. Kalau sudah dapat uang, tolong dipikirkan pula untuk bayar lagi. Dulu, kan tidak. Tahu uangnya banyak, langsung beli motor. Ya, habis, sehingga untuk beli lagi kan nggak ada. Jadi, kami belajari mereka dengan dasar-dasar yang simpel banget. Dan, mereka (89%) menjalankan advise kami,? paparnya lagi dengan nada bangga.

?Kami datangnya periodik. Per minggu,? tambah Freddy. ?Awalnya, kami juga nggak ngerti. Datangnya nggak periodik. Setelah itu, kami tetapkan, ?OK tiap hari Senin saya selalu datang. Tolong uang yang laku berapa, itu dibayarkan ke saya. Saya nambahin barang lagi?. Terus saya ngomong, ?Pak, kalau jual Rp 10, yang Rp 2 rupiah dipakai (diambil). Sisanya (Rp 8) gunakan untuk beli lagi?,? ujar Willam meluruskan cerita. ?Ini kan simpel-simpel saja. Tapi hasilnya cukup bagus. Kami cukup banyak menciptakan toko baru, yang dulunya jelek berubah menjadi lebih baik. Itulah sebabnya, sekarang mereka punya perasaan berutang budi sama kami. Seneng dengan kami. Itu kan positif buat kami,? kata William panjang lebar. Jadi, ?Diam-diam kami mencetak pengusaha kecil baru,? tambah pehobi tenis meja ini.

Suara konsumen memang segalanya buat Grup Wings. Dan untuk memuaskan konsumen sekaligus berjaya di bisnis, William — yang menurut seorang teman SMA-nya di SMA Petra Embong Wungu, Surabaya, tergolong tipe pemikir — mengaku tak pernah berhenti belajar dan secara tak langsung ingin perusahaannya menjadi organisasi pembelajaran. Sebagai pribadi, ia rajin melahap buku (dari teknik sampai pemasaran, khususnya yang mengupas cara memproduksi barang yang paling baik dan cara memasarkan barang yang paling efisien), serta aktif mengikuti seminar dan konferensi. ?Saya selalu hadir kalau ada seminar yang ada kaitannya dengan line bisnis kami. Kami absorp teknologi baru. Kami aplikasikan ke lapangan dengan beberapa penyesuaian,? ujarnya.

Pengetahuan inilah, menurutnya, yang menjadi pendorong ketika Grup Wings akan memutuskan memasuki satu line business seperti kimia. Atau, bahkan dalam praktik pengembangan produk. Satu kasus yang membekas pada dirinya adalah krim deterjen. ?Dulu, waktu buat krim deterjen, banyak orang pada ketawain kami. Di luar negeri kan nggak ada. Semua kan bubuk. Kenapa kami kok bikin krim deterjen? Karena setelah kami survei ke pasar, kan masih banyak orang yang nyuci di kali sehingga kalau pakai bubuk kan hilang terbawa air kali. Kami terus mikir, bagaimana membuat deterjen yang nempel di pakaian, nggak hilang,? ujarnya.

William ingat betul, ketika Wings mengeluarkan produk itu, banyak pihak yang mencibir dan mengatakan sebagai produk primitif. Namun, Wings jalan terus karena menganggap produk ini ekonomis, dan menurutnya merupakan suara konsumen. ?Sekali-kali saya tanya, ?Kenapa kok pakai krim?? Mereka menjawab, ?Iyo nek aku nggowo satu pak deterjen kan dibagi-bagi. Beda kalau kami pakai krim. Baju kami peleti di rumah. Nggak bawa satu pak?. Jadi, jauh lebih efisien, ha-ha-ha. Lah ini, trik-trik kecil kelihatannya memang begitu. Tapi itu kami pelajari,? tutur William.

Apakah ada orang yang khusus mengurusi perihal pengembangan produk serta riset dan pengembangan (R & D) ini?

?Saya sendiri, ha-ha-ha. Kami sendiri waktu itu kan perusahaan tidak besar. Kalau sedang keliling, melihat ada orang nyuci, saya berhenti dan bertanya. Saya hanya menjalankan seperti yang ada di buku-buku. Untuk sukses, kita harus tahu apa kemauan konsumen kita. Jangan mendikte konsumen harus memakai barang saya,? jawab William penuh semangat. Namun, seiring bertambahnya waktu, ia mengungkapkan, R & D Grup Wings terus diperkuat. Sekarang, R & D kelompok usahanya terbilang kuat. ?Kami kuat sekali. Teknologi-teknologi baru harus kami absorp dan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi kami,? katanya. Aneka mesin pun didatangkan dari banyak negara. ?Rekayasa pun kami sendiri. Kami punya tim rekayasa sendiri. Tentu, part kami impor. Di negara kita masih belum ada,? katanya.

Kendati menekankan pentingnya teknologi canggih, manajemen Wings sangat selektif, yang menunjukkan kejelian dalam melihat kondisi konsumen setempat. ?Tidak semua teknologi luar cocok dengan kondisi kita. Kita harus melakukan beberapa penyesuaian agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat kita. Kehidupan masyarakat kita kan lain. Makanan dan jenis kotoran yang menempel ke baju juga lain. Kalau di Eropa kan nggak ada baju kena sambel. Paling kena mayonaise,? ujar William. Kebetulan, karena ia sendiri ahli mesin, ia turun tangan langsung pada setiap pembelian mesin untuk pabrik-pabrik Grup Wings. ?Dan karena saya orang teknik, belinya malah peretelan, ha-ha-ha. Mesin intinya memang memakai pola turn key, yang lain kami setting dan tata sendiri,? ujarnya lagi.

Menurutnya, pengamatan pada kondisi konsumen dan pemahaman atas mesin sering diabaikan orang. Ia menganggap tak semua dari luar negeri cocok dengan kondisi lokal. Untuk menang dalam persaingan, pemahaman atas kondisi lokal, amatlah menentukan. ?Dan, maaf ya, saya selalu baca SWA, kami selalu disebut produk me too, ha-ha-ha,? ujar William. Yang benar bagaimana?

?Ini karena secara teknologi mereka nggak ngerti. Pikirnya, kami bikin deterjen ngikuti orang lain. Kalau itu, ya pasti dong. Saya kan produksi deterjen. Masak saya bikin deterjen pakai klerek, kan nggak bisa. Jadi, namanya tetap sama, deterjen. Karena kita berada di daerah tropis, saya punya So Klin yang namanya Tenaga Surya. Kita bayangkan seperti daun, ada klorofil. Kita absorb dari tenaga matahari, kita membuat oksigen. Oksigen kan berfungsi untuk membunuh bakteri sehingga bisa bersih. Ini yang kami aplikasikan ke deterjen kami, So Klin Tenaga Surya. Dan, kami yang pertama. Terus orang lain akhirnya ngikut. Tapi, malah saya yang dituduh me too. Padahal, banyak teknologi baru yang kami aplikasikan, yang orang lain tidak ngerti,? katanya panjang lebar. Dan kalaupun dianggap me too, ?Saya tidak pernah bikin produk yang tanpa plus. Kami selalu memberi unsur baru,? lanjutnya.

Kesuksesan Wings memang melahirkan tafsiran suksesnya me too style. Dan seiring tafsiran itu, dugaan tak sedap lainnya muncul: Wings memainkan praktik intelejen di segala lini, mulai dari menempatkan orang pada perusahaan pesaing hingga Departemen Kehakiman. Pasalnya, begitu satu produk lahir, Wings segera menyusul. Benar begitu?

William membantah keras. Dengan R & D yang ada, menurutnya, Wings tetap mengedepankan inovasi produk yang independen plus genuine. ?Saya kira kok tidak begitu. Saya absorb teknologi dunia. Pakar-pakar yang menemukan temuan baru, mereka kan anounced sehingga semua orang pada tahu. Maka, ya cepet-cepetan, siapa yang bisa aplikasi di pasar,? ujar William. Bukan karena ada orang Wings di tubuh pesaing?

?Saya kira orang dia tidak ada di tempat saya. Dan orang saya juga tidak ada di tempat dia. Orang-orang kami orang lama semua. Saya jarang ambil orang langsung masuk di senior. Kebanyakan growth dari bawah,? jawabnya kalem. Jadi, kalau pada akhirnya orang bertanya apa kiat Wings sehingga bisa sukses, apa jawabnya?

Menurut William, jawabnya terletak pada tiga hal. Pertama, mengetahui apa yang dikehendaki konsumen. Kedua, memenuhi kehendak konsumen. Ketiga, teknologi. Bukankah banyak perusahaan menerapkan semua itu? Mengapa Wings bisa sukses? ?Kami sungguh-sungguh. Sepenuh hati,? jawab Freddy. ?Contohnya, saya mau turun ke kali untuk mengetahui kehendak pasar. Itu kan tidak semua orang mau. Yang penting lagi, terus belajar. Saya sendiri mengalokasikan waktu untuk membaca buku 1?2 jam per hari,? William menimpali.

Benar. William, Freddy, dan keluarga besar Wings memang wajib terus belajar. Pasalnya, biduk besar ini amat potensial didera rasa berpuas diri yang justru akan membahayakan dirinya. Terlebih, Wings adalah perusahaan keluarga yang sudah menimbun banyak tali-temali keluarga di dalamnya, termasuk beragam kepentingan. Ini semua mesti pandai-pandai dikelola agar tak satu pun jarum nyelonong melubangi biduk besar ini.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved