Listed Articles

Thomas Bersaudara dan Iwak Bandengnya

Oleh Admin
Thomas Bersaudara dan Iwak Bandengnya

“Antibiasa”. Begitulah slogan citra kaus merek ie-be (akronim “Iwak Bandeng”) yang dibawakan seorang bintang sinetron di sebuah stasiun televisi swasta malam itu. Artinya, kaus ini luar biasa. Dan nyatanya, ini memang bukan kaus biasa-biasa saja. Kaus yang dibanderol Rp 49.900-199.000/potong itu kini mencatat penjualan tertinggi di Ramayana Dept. Store. “Tujuh tahun terakhir ini luar biasa perkembangannya. Saya lihat mereka mempunyai identitas sendiri,” ujar Gantang Nitipranatio, Chief Head of Merchandising Ramayana Dept. Store.

Pertanyaannya, siapa orang di balik ie-be?

Perkenalkan, namanya Thomas Effendi. Bersama adiknya, Thomas Subekti, mereka mengerek ie-be lewat bendera PT Central Aneka Busana (CAB). Bersama merek mereka lainnya yang baru meluncur, Cab Lines, total penjualan CAB 75 ribu potong/bulan. “Mereka bukan hanya menjual produk, tetapi juga menjual desain,” ujar Gantang. Dia mengakui, pola desain kaus produk CAB terbilang menarik sehingga disukai pembeli.

Yang tak kalah menarik, sosok Effendi. Dalam keseharian, dia adalah Wakil Presiden Direktur PT Charoen Pokphand Indonesia (CPI) Tbk. Kok, bisa?

Perjalanan ie-be adalah perjalanan keuletan serta kegelisahan seorang Effendi. Diungkapkannya, sebelum terjun di bisnis ini, dia kerap gelisah. Sekian lama bekerja sebagai profesional, dia ingin sekali berwirausaha, membangun usaha yang mandiri. Akhirnya, cita-cita itu terwujud pada 1996. Dibantu adiknya, Subekti, mereka merintis bisnis baju kaus.

Untuk mengibarkan CAB, kerikil menghadang. Ada kebijakan di CPI bahwa karyawan tidak boleh berbisnis dan bekerja di luar perusahaan. Effendi akhirnya mengatakan bahwa bisnis yang akan digelutinya mempunyai jalur yang berbeda dari CPI. Selain itu, operasional perusahaan akan dikelola Subekti. Akhirnya, izin dikeluarkan, dan Thomas bersaudara pun menjalankan bisnis ini sampai sekarang. Mereka berbagi tugas: Effendi membuat konsep barang dagangan, sedangkan Subekti sebagai presdir yang mengendalikan operasionalnya. Mereka berusaha menciptakan merek yang benar-benar mencerminkan produk lokal.

Dengan modal Rp 6 juta, CAB berdiri di wilayah Teluk Gong, Jakarta Utara. Merek yang pertama keluar adalah CAB Equipment. Hanya dengan dua karyawan, roda industri rumah tangga itu dijalankan. Waktu itu harga bahan baku masih murah. Bahan baku kaus, misalnya, hanya Rp 42 ribu/lusin. Namun jangan ditanya produtivitas CAB. Dari 10 lusin/bulan, produksinya terus meningkat menjadi 30 lusin/bulan.

Di tengah upaya meraba segmen pasar dan ketika mulai menggeliat, halangan segera menghadang, berupa kondisi yang hingga kini tetap terasa menyebalkan: krisis moneter. Krisis 1997 mengempaskan bisnis Effendi dan Subekti ke titik terendah. Penjualan yang mulai dirintis terjun bebas hingga lebih dari 50%. Untuk menyelamatkan diri, kantor manajemen dipindah ke Pusat Niaga Terpadu, Jl. Daan Mogot Km 19,5, Tangerang. Effendi bahkan menyuntikkan dana Rp 200 juta untuk memperpanjang napas CAB.

Rupanya, totalitas itu tak sia-sia. Tahun 1999, kinerja CAB mulai merangkak naik. Bahkan, bisa mencapai titik impas. Saat itu, performanya memang oke. Distribusi, misalnya, mulai merambah ke luar Pulau Jawa, seperti Kalimantan dan Sumatera. Lalu, jumlah karyawan menjadi 7 orang. Namun, langkah terpenting: meletakkan dasar-dasar sukses. Di antaranya, melakukan cara pemasaran yang menekankan sisi eksklusivitas. Persisnya: menciptakan desain dengan stok terbatas.

Effendi mengingat efek langkah di tahun itu dengan jernih. ”Responsnya cukup baik,” ujarnya seraya mengungkapkan, yang menjadi indikator pernyataannya tersebut adalah angka penjualan yang kian menguat. Agar momentum pertumbuhan tak lepas, ia pun memutar otak. Hasilnya, pada 2001, tercetuslah ide membuat baju dengan merek Iwak Bandeng dengan simbol ikan bandeng yang tinggal tulang saja. Alasannya, “Tulangnya aja laku, apalagi dagingnya,“ ujar peraih gelar MBA dari University City of Manila, Filipina ini. Dia juga menjelaskan, simbol tulang ikan bandeng itu mempunyai filosofi tersendiri. Tulang menyiratkan suatu keabadian, dan tak kenal pupus. Daya tahan tulang lebih lama ketimbang daging yang cepat membusuk.

Kemunculan merek ini segera dieksekusi dengan penyempurnaan desain. Saat itu diputuskan untuk memadukan desain Cut and Soon, yaitu konsep kaus yang memadupadankan potongan-potongan kain berwarna-warni menjadi tempelan di kaus. Hasilnya? Pasar menolak. “Apakah bisa laku kalau ditempel-tempel kayak begini?” ujar Subekti, lelaki kelahiran 1961, menirukan omongan para mitra penjual.

Penolakan itu bukannya meredupkan semangat, sebaliknya malah membuat mereka kian bersemangat. Mereka justru mencoba memperluas distribusi ke dept. store. Namun cara ini tak mudah, karena pihak dept. store membutuhkan pembuktian kualitas dan tingkat penjualan yang selalu meningkat dari waktu ke waktu. Akhirnya, Effendi dan Subekti pun sadar untuk menguatkan terlebih dulu segmen pasar yang dibidik: remaja 13-23 tahun.

Untuk mencapai hal tersebut, dua bersaudara ini menyurvei pasar guna melihat kelebihan serta kekurangan produk pesaing, seperti H&R dan C59. Kemudian, mereka juga mulai menyewa para model Majalah Aneka Yess untuk memeragakan produk CAB di catwalk. Langkah mem-branding-kan produk juga ditempuh di setiap acara jumpa fans para model tersebut. Akhirnya, perlahan tapi pasti, masyarakat pun kian familier dengan merek Iwak Bandeng. Anak-anak muda bahkan sering menyingkatnya dengan sebutan ie-be, yang kemudian dipatenkan Thomas bersaudara.

Geliat ini segera ditangkap Ramayana. CAB diajak membuka gerai di setiap gerai baru dept. strore tersebut. “Sekarang malah orang mencari kita. Kalau di satu gerai tidak ada Iwak Bandeng, rasanya seperti tidak lengkap,” ujar Effendi santai.

Tahun 2003 kemilau CAB kian cemerlang. Pada tahun itu, ie-be dan CAB Equipment dikenal luas, membuat kakak beradik Effendi-Subekti memutuskan menambah amunisi. Pola desain diperkaya, tenaga desainer pun ditambah menjadi 12. Agar kian mumpuni, mereka juga dikirim ke sejumlah negara untuk belajar desain kaus.

Buntutnya, pasar kian suka sehingga CAB pun terus berkembang. Pada 2007, perusahaan yang kini memiliki 1.000 karyawan ini mengeluarkan merek teranyarnya, Cab Lines, sebagai ganti CAB Equipment. Perbedaannya dari ie-be: Cab Lines berdesain lebih rumit, usia segmen pasarnya di atas konsumen ie-be, dan harga jualnya pun lebih tinggi, Rp 59.900-200.990/potong.

Agar fokus, manajemen kedua merek tersebut pun dibedakan. “Biar terasa hawa kompetisinya,“ ujar Effendi sambil menjelaskan, sebanyak 50% penjualan perusahaannya beredar di Jawa, sementara sisanya didistribusikan di luar Jawa. Diakui kelahiran Pontianak, Januari 1958 ini, pihaknya memang belum mengekspor. Namun, produk-produknya sudah beredar di beberapa negara ASEAN melalui proses jual-beli putus. Karena itulah, dia mendaftarkan hak paten merek dagang CAB untuk mencegah pembajakan.

Dari kegelisahan seorang Effendi, CAB kini tumbuh menjadi pemain garmen yang layak diperhitungkan. Saat ini perusahaan itu memiliki 438 gerai ie-be dan 6 showroom yang tersebar di seluruh Indonesia. Selain kaus, CAB juga memproduksi celana jins, sandal jepit, serta berbagai aksesori semacam topi, ikat pinggang, dan kaus kaki merek ie-be. Adapun distribusi yang diandalkan Thomas bersaudara ini adalah jalur dept. store, seperti Matahari, Ramayana, Ratu Plaza, Barata, dan Borobudur. “Selama ini kami selalu menempati penjualan tertinggi (untuk kategori yang sama di dept. store),” ujar Effendi bangga. Ke depan, dia berencana mengeluarkan produk kaus dan T-shirt khusus perempuan, selain meluncurkan baju Muslim berbahan kaus dengan desain funky.

Jahja B. Sunarjo, Chief Consulting Officer Direxion Strategy Consulting, mengatakan, awalnya positioning Iwak Bandeng kurang fokus di pasaran. Seharusnya sejak awal ie-be benar-benar mempunyai pola strategis dalam membentuk pasar. Kendati demikian, dia berpendapat, penetrasi ie-be dan CAB perlu diacungi jempol. Walaupun pemilik merek ini tidak berlatar belakang garmen atau usaha fashion, penetrasi pasarnya cukup ampuh. “Memang harus ada keberanian dan modal tentunya ketika berbisnis,” ujar Jahja.

Untuk mencapai tahapan bertahan bagi suatu bisnis, menurutnya, tidaklah mudah. Jahja mencontohkan, tas Exsport memerlukan waktu kurang-lebih 10 tahun untuk menjangkau pasar. Setelah satu dasawarsa terlewati, barulah ia bisa dikatakan memasuki masa bertahan. “Eksis itu tidak bisa hanya dilihat dalam jangka waktu 10 tahun,” ujarnya. Justru setelah 10 tahun mulai bisa diprediksi suatu usaha mampu bertahan dan mengembangkan bisnis ataukah tidak. Ia menilai, posisi produk yang tepat di pasaran akan mencengkeram kuat pasar dan meningkatkan hasil produksi.

Merujuk pendapat di atas, usia CAB telah melewati 10 tahun. Yang pasti, kini adalah masa-masa ujian bagi Thomas bersaudara. Terlepas dari bagaimana perjalanan di masa mendatang, bagi Effendi sendiri, keberhasilannya mengembangkan CAB memberikan pelajaran penting: jika ingin berhasil, perlu bekerja keras dan ada kesempatan mewujudkan impian. Tanpa kedua unsur itu, menurutnya, kesuksesan mustahil digenggam. Ia sendiri, tiap Sabtu dan Minggu mengurusi bisnisnya di CAB selepas kesibukan yang melingkupinya di CPI. Sebagai eksekutif yang merangkap pengusaha, ia memang harus bersikap seperti Iwak Bandeng miliknya: antibiasa. ***

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved