Listed Articles

VIP Syndrome

Oleh Admin
VIP Syndrome

Sembilan jam transit di Los Angeles, saya menerima dua pesan yang berbeda. Pertama, pesan dari anak saya lewat SMS agar menyempatkan mampir untuk memotret NBA street of fame serta membeli kaus putih ungu dan poster bintang pujaannya asal LA Lakers dengan nomor punggung 34. Pesan itu diakhiri dengan kata, ?Bila terlalu mahal, cukup belikan kartu NBA saja.? Kedua, pesan voice mail yang saya terima dari mantan kolega bisnis di LA agar mampir di kantornya untuk membicarakan prospek bisnis di Indonesia pasca-Pemilu. Waktu itu saya memang sedang mengikuti pertemuan di Arizona dan akan segera kembali ke Jakarta lewat LA menikmati space bed-nya SQ dengan direct flight ke Singapura. Tanpa berpikir panjang, begitu pesawat mendarat di LAX, saya menemui penjemput saya dan langsung tancap gas menuju beberapa tempat kunjungan lalu ke Staples Centre. Tujuan utama adalah memotret si bintang pujaan nomor 34 serta membeli kaus dan poster sesuai order. Sebelumnya saya perkirakan hanya butuh waktu setengah jam untuk itu, ternyata tanpa terasa saya menghabiskan waktu hampir satu jam karena keasyikan memotret. Apalagi, malam itu akan ada pertandingan antara LA Lakers dan Sacramento Kings. Tanpa terasa pula, kocek pun terkuras cukup dalam untuk membeli dua kaus, topi, dan berbagai pernik Lakers lainnya. Sebaliknya, walaupun masih ada waktu, saya langsung menelepon kolega saya dan mengatakan, ?Aduh, maaf sekali, saya sangat sibuk dan tak ada waktu untuk singgah. Banyak hal yang harus saya kerjakan sebelum terbang kembali ke Jakarta malam ini.? Rekan saya sangat mengerti dan hanya beberapa menit berbicara di telepon. ?Saya maklum terhadap eksekutif macam Anda, yang pasti sangat sibuk, apalagi hanya empat hari di AS,? katanya seakan-akan memahami. Sewaktu merenungkan dua episode tadi dalam perjalanan panjang pulang ke Jakarta, saya tersenyum simpul. ?Penyakit orang penting,? saya bergumam dalam hati. ?VIP syndrome? ini ternyata menurut hasil penelitian para ahli menjangkiti orang yang sedang menanjak menjadi orang penting. Ada beberapa gejala yang terlihat di luar dan di dalam pribadi orang yang sedang terjangkit VIP Syndrome. Pertama, gejala tidak punya waktu (time burn out). Gejala ini sebenarnya menunjukkan bahwa semakin orang merasa penting, semakin sulit ia mengelola waktunya dengan baik. 24 jam sehari terasa kurang. Di satu saat mampu berfoya-foya dengan waktu untuk mengobrol dan berkaraoke, di satu sisi selalu ingin cepat selesai bila menghadiri suatu pertemuan, apalagi yang dirasa tidak memberi keuntungan baginya. ?Ayo cepat, sebentar lagi saya ada meeting di sana, sudah jangan bertele-tele saya tidak punya waktu untuk berputar-putar, langsung saja pada masalahnya.? Bila ada yang terkena penyakit ini dalam tim Anda, pasti Anda merasa tidak nyaman dan diremehkan, seolah-olah Anda bukan penting sehingga punya banyak waktu, sedangkan Si Penting tidak. Kedua, gejala penuh dengan aktivitas yang amat beragam (activities burn out). Penyebabnya sangat sederhana, paradigma kuno yang mengatakan. ?Anda akan semakin penting bila memiliki banyak aktivitas di banyak bidang.? Jumlah aktivitas menunjukkan siapa Anda sebenarnya. Makin banyak artinya, Anda semakin dibutuhkan. Akibatnya, banyak sekali aktivitas yang tidak berjalan sebagaimana mestinya atau hasilnya minim sekali karena keterlibatan yang amat kurang dari orang yang dianggap penting tersebut. Ketiga, gejala selalu harus benar dan harus didengarkan (sensitivity burn out). Semakin penting orang atau semakin orang merasa penting, timbul gejala penyakit bad listening serta ?I?m OK?. Seakan-akan telinga dan rasio semakin tertutup, apalagi kalau rekan sekerja adalah junior atau tidak setara tingkat kepentingannya. Berargumen berarti menghabiskan waktu. Kalau ada yang memberi pandangan baru, selalu timbul sikap, ?Saya sudah mengerti, jangan anggap saya bodoh,? atau ?Kamu tidak mengerti bahwa itu bukan hal baru di perusahaan ini, saya sudah memikirkannya lima tahun lalu, tapi masalahnya tidaklah semudah yang Anda bayangkan,? atau dalam ungkapan yang lebih sombong, ?Anda tahu siapa saya? Anda kenal Philip Kotler, Kobe Bryant, Bill Clinton atau sederetan bintang lain, mereka teman saya dan saya banyak berdiskusi dengan mereka.? Keempat, gejala agresif untuk menghancurkan lawan yang dianggap bisa menyaingi dirinya sebagai orang penting (position burn out). Orang penting dan orang yang merasa sebagai pahlawan dalam suatu organisasi biasanya paling mudah tersinggung dan was-was bila muncul calon hero baru. Ada upaya mematikan agar sang hero layu sebelum berkembang sehingga dirinya sebagai orang penting tetap menjadi pusat perhatian. Lihat saja Raja Herodes yang menjadi seperti cacing kepanasan ketika melihat ada orang bijaksana (baca: orang terhormat, penting, dari negara lain) yang mencari orang penting lain yang masih bayi bernama Yesus di tengah kerajaannya. Sewaktu dia merasa bahwa dia menjadi kurang penting dibanding bayi tersebut, timbul sikap ingin menghancurkan. Hasilnya, ribuan bayi mati hanya untuk memuaskan nafsunya agar mampu bertahan untuk tetap menjadi orang penting. Kelima, gejala pasif dan apatis bila sudah kehilangan statusnya sebagai orang penting (post power syndrome). Ini adalah antiklimaks perputaran dari penting menjadi tidak penting. Dari terhormat menjadi orang biasa. Dari kuat menjadi lemah, dari ayah yang berkuasa menjadi kakek tua yang lemah dan tak berdaya. Bila tidak diwaspadai, timbul gejala agresif seperti gejala keempat, atau di sisi lain muncul gejala ekstrem lain: lunglai serta makin memudar dan tersendiri karena merasa sudah habis. Tanpa disadari suatu saat, dalam kadar berbeda, setiap orang akan terkena salah satu dari gejala penyakit ini. Tanpa kontemplasi dan pengertian yang bijak bahwa ?di bawah matahari, ada waktu yang berputar?, kita akan menjadi kagetan, gumunan dan dumehan. Padahal, setiap saat kita harus merasa penting, kehadiran dan kontribusi kita penting buat seluruh tatanan dunia ini. Apa pun profesi Anda, apa pun aktivitas Anda, itu bagaikan puzzle indah yang bila kita mengerti akan terasa bahwa kita semua orang penting. Maka jangan meremehkan orang lain, mereka juga sepenting Anda. Kembali ke cerita saya tadi, saya pun mengerti, buat anak saya, saya bukan orang penting yang harus menolak permintaannya untuk memotret dan membeli kaus nomor 34. Sebaliknya, saya merasa amat penting untuk tidak menyisihkan waktu buat kolega membicarakan hal bisnis pasca-Pemilu. Kenapa? Bagi saya, anak saya lebih penting dari rekan bisnis, maka saya harus mengadakan waktu baginya untuk membuatnya tersenyum dan senang. Saya membayangkan betapa bahagianya ia saat menerima dua kaus, topi dan pernik Lakers. Seluruh kesibukan seperti tak berarti dibandingkan dengan senyum jujur orang yang saya anggap penting. Nah, kalau Anda memperlakukan lawan bicara yang sedang Anda hadapi sekarang, atau teman sekelompok, anak buah di kantor, bahkan tetangga satu RT, seperti Anda memperlakukan anak Anda, Anda akan merasa jadi orang yang kurang penting. Namun dalam banyak hal, itu justru yang membuahkan hasil dahsyat.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved