Profile

Debut Film Handoko Dimulai dari Filosofi Kopi

Debut Film Handoko Dimulai dari Filosofi Kopi

Menjadi produser film dapat dikatakan sebagai sesuatu yang masih baru bagi seorang Handoko Hendroyono. Berangkat dari ketertarikan terhadap konten film, ia memulai debut pertamanya menggarap Filosofi Kopi pada 2015 lalu, yang berhasil menarik 300 ribu penonton dalam 5 minggu waktu tayang di bioskop.

Menurutnya, sebuah konten adalah kunci utama dari sebuah karya karena akan melahirkan engagement dari penikmatnya. “Film itu ada unsur entertainment plus konten sehingga pesannya akan cepat sampai ke publik,” kata pria yang tergabung dalam Visinema Pictures ini.

Handoko Hendroyono, Produser Film Filosofi Kopi dan Surat dari Praha

Handoko Hendroyono, Produser Film Filosofi Kopi dan Surat dari Praha

Kemampuannya di bidang marketing dan advertising diasahnya dengan berpindah dari satu agensi ke agensi lainnya, baik lokal maupun multinasional. Berbagai karya sudah dihasilkannya saat itu seperti instalasi art, digital art, hingga sebuah tv program.

Belum merasa puas, ia melakukan kolaborasi dengan rekan-rekannya di sebuah rumah produksi, yaitu Chicco Jerikho, Angga Dwi Sasongko, Glen Fredly, dll . Beberapa film yang diproduksi, antara lain Cahaya dari Timur (2014), Filosofi Kopi (2015), dan Surat dari Praha (2016). Ia mengatakan sebagai seorang produser, ia berperan lebih kepada konten, branding, dan marketing.

“Tantangan menjadi produser adalah bagaimana membuat konten menjadi visualisasi yang tepat dan menjadi ekosistem yang baik dalam hal cerita film, musik, dll,” ujar pria lulusan FISIP UI ini dengan tegas. Kemudian bagaimana menyatukan banyak ide dengan tim yang memiliki latar belakang berbeda.

Setelah film liris di pasar, tantangan selanjutnya adalah pada distribusi film. Ia mengatakan bahwa film luar masih mendominasi bioskop di Indonesia. Ketika film Filosofi Kopi diputar di satu teater saja, ada beberapa film luar yang ada di 4 teater.

Perbandingan ini menunjukkan bagaimana film Indonesia belum mendapat tempat di pasar negeri sendiri. Kedua, monotisasi. Seorang filmmaker harus cukup pandai dalam membuat film dan tidak bisa hanya bergantung pada tiket.

“Sebagai contoh Filosofi Kopi yang juga dikembangkan seperti kedai, musik, merchandise, dll. Saya ingin ajak filmmaker yang lain harus pandai bangun ekosistem,” dia mengungkapkan. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved