Sela

Wine

Wine
gambar wine

Saya menahan diri untuk tidak tersenyum. Dalam undangan disebutkan: “Code of dress: black tie”, lha kok teman saya tadi hanya berkemeja lengan panjang berdasi dengan desain garis-garis yang tidak lagi in. Dan, amit-amit, celana panjang jins yang dipakainya itu! Selain mengaku kurang aktif berbahasa Inggris, teman saya itu juga kurang “lancar” berperilaku santun seperti terlihat dari gaya dan cara dia berbusana.

Usia, pendidikan dan pergaulan membentuk wajah seseorang yang menghayati dari hati makna kesopanan. Almarhum ayah saya mewanti-wanti: miliki ilmu tentang hidup, tanyakan pada nuranimu apa yang terbaik bagi diri sendiri dan orang lain; hindari bergaul dengan mereka yang tak menuntut perilaku sopan-santun. Pendidikan dan pergaulan membuat seseorang mudah dikenali siapa sejatinya orang itu.

Ketika pramusaji menawarkan minuman, teman saya menegur saya, “Wah, kau sudah bisa minum air mahal ini, ya?” Dengan gerak cepat, ia menyambar gelas yang ditawarkan pramusaji, dan gleeeg … sekali teguk habislah isi gelas itu. Ketika “minuman lebih hangat” diedarkan, saya mengambil gelas mungil berisi wine. Teman saya langsung bertanya, “Apa sih itu? Enak ya?” “White wine chavignon, Bordeaux 1952,” saya menjawab. “Bisa mabuk, nggak?” tanyanya setengah berbisik. Saya hanya bisa tersenyum. Maklum, belum sampai di kelas wine.

“Priayi mana sih yang jadi referensimu?” tanya dia keesokan harinya. “Ya, sekadar baca buku, bersosialisasi, dan ikut kursus live with wine,” jawab saya. “Memang ada?” sambungnya. Nada suaranya membuat saya merasa kasihan. Dan, rasa memelas itu makin mengental ketika teman yang baru kenal “minuman” itu hadir pada suatu acara sebuah perusahaan asing.

Saya “terharu” melihat dia celingukan memilih aneka minuman yang disajikan seorang pramusaji berbusana lengkap. Dia melihat saya tengah asyik bertukar cerita dengan salah satu pemimpin perusahaan. “I am a bit fan of Hemmingway,” tutur Mr. Peterson. “For Whom the Bell Tollsor The Sun Also Rises?” tanya saya. “But mostly, The Old Man and the Sea,” jawabnya. “And I love these magic lines, Man can be destroyed, but not defeated,” saya mengutip ucapan nelayan tua dalam buku itu.

“Iya, ya, kau juga suka baca buku, apa tadi, The Old Sea…?” tanya teman saya yang tadi menguping pembicaraan saya dengan Mr. Peterson. “The Old Man and the Sea,” saya menjawab. Seorang pramusaji datang menawarkan minuman yang tersusun rapi di atas nampan. Ketika tuan rumah mengajak bersulang, saya memilih segelas sampanye, lalu mengangkatnya seraya mengangguk ringan, sambil berucap, “Pour Votre sante.”

“Kau ucapkan apa tadi? Bahasa apa, sih? Pahit, ya?” tanyanya bertub-tubi. “Bahasa Prancis. For your health, begitu. Atau kau tahu kan arti ‘mugi-mugi kaparingan seger-waras, tebih saking sambekala’ (semoga sehat wal afiat, dijauhkan dari marabahaya). “Ini sampanye, ya? Seri apa? Enak tenaaannn …,” ujarnya lancar. “Oh, yes dear me. Kalau tak salah, champagne tadi adalah Dom Perignon 1998. Saya masih punya sebotol Dom Perignon Rose 1998, hadiah dari Monsieur Daudet yang pernah meminta saya membantu dia mendalami ajaran Kejawen Ki Ageng Suryamentaram,” jawab saya.

Teman saya tampaknya masih ingin memburu “air surgawi” yang, rasane nglaras banget (rasanya tak terucapkan) itu. Dengan cekatan ia mencari pramusaji yang diharapkannya membawa gelas-gelas berisi sampanye. “Masih ada Perinyon, ehh … Don apa tadi?” tanyanya. “Sorry, Sir, no more,” jawab pramusaji, santun. Sebelum pulang, ia sempat berkata, “Bergaul dengan minuman, novel, ketemu orang kok enteng banget.” Saya jadi ingat kata-kata Carl Rogers, “In my relationship with persons I have found out that it does not help in the long run, to act as though I were that I am not.” Saya bersyukur menemukan makna ucapan Rogers yang bijak itu.

(HB Supiyo (Alm., meninggal pada tanggal 28 Februari 2017). Penulis adalah mantan Redaktur Majalah SWA. Tulisan pernah dimuat di Majalah SWA edisi 03/2016)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved