Technology

Know Your Customer

Know Your Customer

Untuk mengikat loyalitas pelanggannya, setiap perusahaan dituntut mampu mengenali kebutuhan dan keinginan mereka. Bagaimana operator layanan seluler besar melakukannya?

“Know your customer”. Itulah mantra sakti yang sering diucapkan para konsultan pemasaran ketika memberikan wejangan soal cara memuaskan pelanggan. Namun, bagaimana cara mengenali keinginan pelanggan?

Tidak gampang memang. Terlebih pada industri yang memiliki dinamika bisnis dan tuntutan cukup tinggi, seperti industri telekomunikasi. Misalnya, bagaimana mengetahui pelanggan yang berkontribusi besar alias punya average revenue per user (ARPU) tinggi atau bagaimana bisa memberikan treatment yang tepat untuk pelanggan yang hanya doyan SMS.

Pada tataran teknis, salah satu upaya untuk mengenali keinginan pelanggan itu antara lain dengan mengadopsi solusi Business Intelligence (BI)— tool yang memiliki kemampuan meramu berbagai data, informasi dan pengetahuan sebagai bahan baku dalam proses pengambilan keputusan. Sejumlah operator telekomunikasi, terutama yang besar, mengklaim sudah mengadopsi solusi BI ini.

Salah satunya, PT XL Axiata. Menurut Eri Fizal, General Manager Business Intelligence Competency Center (BICC) XL, pihaknya telah mengadopsi solusi BI sejak empat tahun lalu. Ketika itu timnya mengembangkan sendiri sistem yang disebut BICC. Sistem ini terdiri dari beberapa aplikasi yang saling terintegrasi, antara lain Teradata untuk data warehouse-nya, dan KXEN untuk analytic tools-nya, plus beberapa aplikasi lain. “Sistem Business Intelligence di XL dirancang menjadi bagian integral untuk menunjang decision making yang berbasis fakta,” ucap Eri. “Decision-making tersebut digunakan dalam berbagai aktivitas, seperti desain produk dan retensi.”

Dijelaskan Eri, seluruh layanan XL, seperti bonus untuk pelanggan, panggilan telepon, SMS, sampai penggunaan paket data dari peranti bergerak, diolah menggunakan aplikasi Teradata. “Sejak menggunakan layanan Teradata, volume data yang diolah meningkat 300% dan kecepatannya juga bertambah 200%. Sebelumnya membutuhkan waktu 2-3 hari, sekarang bisa kurang dari sehari,” Eri mengklaim.

Untuk mendukung program pemasaran dan retensi pelanggan, XL menggunakan teknologi InfiniteInsight dari KXEN—vendor solusi predictive analytics yang berbasis di Amerika Serikat. Ini memungkinkan kampanye pemasaran XL bisa dilakukan lebih tepat sasaran pada berbagai kanal pemasaran.

Melalui BICC, Eri mengungkapkan, berbagai data dari beragam sistem di XL dapat terintegrasi untuk memberikan view yang cukup komprehensif tentang bisnis. Waktu yang dibutuhkan antara terjadinya sebuah kejadian dan pengambilan keputusan terhadap kejadian tersebut dapat dipersingkat. “Bahkan, beberapa elemen kunci dari sistem BI kami bersifat real-time. Sistem tersebut juga dapat secara proaktif memprediksi kejadian yang akan datang, sehingga aksi bisnis yang dilakukan dapat lebih efektif dan efisien.”

Sistem BICC bekerja dimulai dengan mendeteksi kejadian-kejadian penting dalam ekosistem XL. Kejadian-kejadian penting tersebut diolah dengan cepat hingga menghasilkan actionable-information. Nah, actionable-information inilah yang kemudian digunakan untuk mengambil keputusan-keputusan kunci.

Lalu, dari mana informasi itu diperoleh? Menurut Eri, informasi mengenai pelanggan—seperti penggunaan SMS, kebiasaan menelepon, dan browsing—diperoleh dari berbagai sumber, baik internal (sistem/tools) maupun eksternal. Sumber informasi internal, salah satunya, diperoleh dari billing system Amdocs yang digunakan XL. Juga, dari network element, seperti switching telepon. “Informasi dari billing system dan network element itu selanjutnya diolah dengan BI. Nanti, BI yang mengalkulasi produk mana yang tepat untuk suatu segmen.”

Adapun informasi dari sumber eksternal, seperti dikemukakan Elsa Maria Bonita, GM Layanan Pemasaran XL, bisa diperoleh dari riset pelanggan ataupun masukan semua karyawan XL. Gagasan yang masuk akan digodok oleh manajer produk. Tentunya, setelah ide itu divalidasi: kira-kira jika ide itu dijalankan, bagaimana dampaknya. Setelah mendapat validasi, ide itu balik lagi ke manajer produk. Jika ide itu dianggap feasible, akan dimasukkan ke unit pengembangan produk. Dari sini lahirlah program, misalnya program XL Ampuh.

Program seperti ini kemudian dikomunikasikan secara massal melalui media atau kanal informasi yang lebih tersegmentasi. “Nah, dari kedua jenis sumber informasi itu lalu dibuat produknya. Selanjutnya, tim marketing akan mengemasnya untuk dikomunikasikan ke masyarakat,” Elsa menjelaskan.

Bahkan, lanjut Elsa, sebelum produk itu (XL Ampuh, misalnya) dikomunikasikan di media, dilakukan riset, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Tujuannya untuk mengetahui: apakah produk yang ditawarkan itu benar-benar relevan atau tidak untuk pelanggan, dan apakah pelanggan akan menerimanya atau tidak. “Jadi, kami lihat dulu relevansinya. Dari sisi komunikasi, juga mau tahu: konsumen mengerti atau tidak bahwa iklan seperti itu sebenarnya pesan yang mau disampaikannya adalah begini,” papar Elsa. “Intinya, kami percaya bahwa kita hanya bisa memuaskan pelanggan kalau kita mengerti mereka dulu. Jadi, step yang paling awal adalah kenali dulu pelanggan.”

Diklaim Eri dan Elsa, BICC memberikan manfaat, baik untuk XL maupun pelanggan. Pelanggan XL akan mendapatkan berbagai macam keuntungan. Misalnya, bisa dalam bentuk bonus atau diskon terhadap layanan tertentu yang relevan bagi mereka. Adapun bagi XL sendiri, relevansi pelanggan terus meningkat, dan bisa tahu keinginan pelanggan.

Dan, tak kalah penting, respons pelanggan terhadap program-program –yang didesain berbasis BI—cenderung sangat tinggi. Antara lain, bisa dilihat dari data perkembangan pelanggan XL dalam empat tahun terakhir. Pada 2008, jumlah pelanggan XL sebanyak 26 juta. Lalu, berturut-turut meningkat jadi 31,4 juta pelanggan (2009), 40,4 juta (2010) dan 43,4 juta (per 30 September 2011). “Melalui BICC, jangan sampai pelanggan teriak: ‘Saya perlu sesuatu.’ Tetapi XL sudah tahu lebih dulu yang mereka inginkan. Intinya, pahami dulu pelanggan, sehingga bisa membuat sesuatu yang relevan bagi mereka,” Eri menjelaskan.

Selain XL, operator lain yang juga sudah mengadopsi solusi BI ini adalah Indosat. Sayangnya, pihak Indosat enggan membuka banyak soal BI ini. Menurut Suhendri Naswil, Division Head Segment Development — Segment Management Group Indosat, pihaknya telah memiliki sistem untuk BI ini. Di Indosat, sistem itu disebut Customer Insight. “Nah, apa pun output dari aplikasi Customer Insight, saya akan menggunakan data itu. Kami di bagian retensi pelanggan bisa melakukan suatu upaya kepada pelanggan secara spesifik,” ucap Suhendri.

Menurutnya, informasi yang diberikan Customer Insight merupakan data yang sudah jadi. Dari data itu, pihaknya bisa melihat, misalnya, berapa banyak pelanggan yang lebih sering menggunakan pola calling card atau berapa banyak pelanggan yang ARPU-nya tinggi. “Kami memiliki cara sendiri-sendiri untuk memperpanjang umurnya, meningkatkan lagi ARPU-nya, dan sebagainya. Prinsipnya, kami mengapresiasi kembali apa yang sudah diterima dari pelanggan. Apa yang kami dapatkan dikembalikan lagi ke pelanggan dalam bentuk benefit,” ungkap Suhendri.

Dijelaskan Suhendri, untuk mengapresiasi pelanggan ini Indosat memiliki program Indosat Senyum, yang menggunakan basis poin. Poin Indosat Senyum yang telah dikumpulkan pelanggan dapat ditukar dengan layanan Indosat seperti SMS, I-Ring, Masa Aktif dan Gratis Bicara. Saat ini, dari lebih 50 juta pelanggan Indosat, sekitar 20%-nya sudah terdaftar dalam program Indosat Senyum.

Menurut Suhendri, dengan adanya sistem Customer Insight, manfaat terpenting yang dirasakan: pihaknya bisa lebih spesifik mengenal pelanggan. Termasuk, bisa tahu perilaku pelanggan. Ujung-ujungnya dapat meningkatkan customer lifetime value. “Jadi, dengan adanya sistem itu, value pelanggan meningkat, dalam hal ini ARPU-nya, dan juga lifetime atau siklus pelanggan di jaringan Indosat,” ujarnya bersemangat. “Hasilnya bagus kok, memberikan impact di atas 20% dari volume transaksi,” ujarnya lagi. ”Dan, kami menargetkan churn rate bisa di bawah 10%. Itu target ideal, karena di Indonesia akan sangat susah mendapat churn rate di bawah itu. Sebab, karakter pelanggan di Indonesia ini sangat unik.”

Bagaimana dengan Telkomsel, pemain besar lainnya? Seperti diklaim Ricardo Indra, GM Komunikasi Korporat Telkomsel, perusahaannya pun telah lama memiliki sistem BI. Namun, di Telkomsel tidak ada penyebutan BI. Untuk mengetahui gaya hidup dan karakteristik pelanggan, Telkomsel mengelola data pelanggan yang memang beragam dan banyak sekali. “Ada beragam dan unik sekali data pelanggan yang kami gunakan sebagai salah satu dasar dalam menyusun program, produk ataupun layanan untuk pelanggan,” ujar Indra. “Yang jelas, kami memang memakai bantuan aplikasi atau sistem, karena mengelola data pelanggan sebanyak 105 juta bukanlah hal yang mudah. Data yang sangat besar dan beragam ini memerlukan pengelolaan yang khusus.”

Untuk mengetahui perilaku pelanggan, diklaim Indra, pihaknya memiliki misterious shopper. Tugasnya: melihat dan mengobservasi keramahtamahan petugas frontliner, kondisi ruang, hingga kecepatan pelayanan. Juga, ada unit Riset Pemasaran yang bertugas melakukan penelitian pasar. Dari riset itu terciptalah layanan atau produk. Produk tersebut lalu dilempar ke pasar/pelanggan. “Untuk mengetahui apakah produk/layanan tersebut diterima, kami ada proses selanjutnya, yakni post research. Ada tim yang mengevaluasi kinerja layanan atau produk. Dari sini juga akan bisa terlihat, apa kekurangan atau yang lebih diinginkan pelanggan, sehingga kami bisa meningkatkan layanan,” Indra memaparkan.

Dengan adanya sistem tersebut, Telkomsel bisa menawarkan dan menyusun program-program yang tepat sesuai dengan kebutuhan, karakteristik, perilaku dan gaya hidup pelanggan. “Kami bisa memberikan program yang tepat sesuai dengan keinginan pelanggan. Pelanggan pun merasa kebutuhannya diperhatikan, dan pada akhirnya dipenuhi,” ujar Indra.

Keberadaan sebuah sistem BI di perusahaan operator seluler, menurut pengamat dan konsultan TI Kristianus Yulianto, sudah merupakan suatu keharusan agar mereka memiliki pemahaman yang akurat mengenai karakter subscriber-nya. “Jika punya data tentang perilaku pelanggannya seperti apa, mereka akan bisa fokus melakukan strategi marketing. Jadi untuk bisa mendapatkan targeted marketing, mereka harus punya data, segmen dan profil, serta historical pelanggannya. Di situlah digunakan dan diperlukannya Business Intelligence,” ujar Kris.

Solusi BI, lanjut Kris, bisa dibagi ke dalam dua fungsi. Pertama, BI yang hanya membaca data masa lalu untuk mengetahui kinerja dan memonitor operasional. Di sini, BI memiliki fondasi data warehouse, di mana transaksi yang terjadi akan dilaporkan dalam bentuk VTI, seperti kinerja penjualan, kinerja di bagian-bagian tertentu di perusahaan, dan target pemasaran atau target penjualan. “Business Intelligence hanya berperan sebagai pendukung agar dapat mengetahui kinerja perusahaan tersebut,” katanya.

Kedua, BI yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan karena perusahaan dapat memprediksi tren seperti apa yang akan terjadi, berdasarkan data historis. Sebenarnya, ini sudah bisa disebut sebagai Business Analytic, bukan lagi BI.

Menurut Kris, saat ini idealnya para operator sudah memiliki Customer Intelligence Solutions (CIS), yakni sistem berbasis BI yang digunakan untuk memahami perilaku pelanggan, sehingga lebih dapat digunakan untuk membangun tindakan atau kampanye yang lebih tepat sasaran. “Tanpa CIS, operator seluler hanya akan bermain pada strategi harga dan diskon-diskonan,” ujar Kris. Sehingga, subscriber bertambah namun revenue tidak,” ujar Kris.

”Nah, mengapa mereka tidak fokus ke pelanggan yang loyal saja, lalu dilayani sebaik-baiknya, sehingga mereka tidak pindah ke operator lain,” Kris menyarankan.(***)

Reportase: Ario Fajar & Radito Wicaksono/Riset: Sarah Ratna Herni

BOKS Apa itu BI? Business Intelligence (BI) adalah proses untuk meningkatkan keunggulan kompetitif perusahaan melalui pendayagunaan berbagai data, informasi dan pengetahuan yang dimiliki perusahaan sebagai bahan baku dalam proses pengambilan keputusan.

Berbeda dari sejumlah aplikasi dengan tujuan serupa yang lebih dulu diperkenalkan, konsep BI menekankan pada penerapan lima pendayagunaan informasi untuk keperluan spesifik bisnis, yaitu:

1. Data Sourcing – berkaitan dengan kemampuan sistem mengakses berbagai data dan informasi dari sejumlah sumber dan format yang berbeda.

2. Data Analysis – berkaitan dengan kemampuan sistem membantu proses penciptaan pengetahuan melalui aktivitas pengkajian data dan informasi yang dimiliki perusahaan.

3. Situation Awareness – berkaitan dengan kemampuan sistem mencari dan menyediakan data dan informasi terkait dengan kebutuhan atau konteks bisnis dan lingkungannya pada saat tertentu, misalnya ketika perusahaan berhadapan dengan peristiwa darurat dan mendesak.

4. Risk Analysis – berkaitan dengan kemampuan sistem mengalkulasi risiko yang akan dihadapi perusahaan atas berbagai kecenderungan atau kemungkinan yang dapat terjadi sehubungan dengan kondisi tertentu.

5. Decision Support – berkaitan dengan kemampuan sistem secara proaktif membantu manajemen dalam memberikan pertimbangan keputusan-keputusan yang berkualitas berdasarkan sejumlah kalkulasi dan pengolahan terhadap data/informasi internal ataupun eksternal yang dimiliki.(***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved