Management

Sang Game Changer di Fase Terminal

Sang Game Changer di Fase Terminal

Keinginannya menjadi seorang peneliti-hebat kandas. Dia justru menjadi pengubah industri kesehatan Jepang, terutama buat pasien stadium akhir.

Keiichi Shibahara, pendiri dan CEO Amvis Holding.
Keiichi Shibahara, pendiri dan CEO Amvis Holding (Foto: Forbes).

Peneliti yang jeli, yang diberkahi insting bisnis yang kuat, bukan mustahil menjadi pengusaha top. Di Indonesia, Dokter Boen adalah contoh lewat perusahaan yang didirikannya, Kalbe. Di Jepang, sosok itu diwakili Keiichi Shibahara, pendiri dan CEO Amvis Holding.

Tiga tahun terakhir, Amvis makin berkibar. Operating income-nya per September 2021 mencapai US$ 27,6 juta. Jauh melejit dibandingkan periode yang sama di tahun 2020 (US$ 13,4 juta) dan 2019 (US$ 6,6 juta). Buntutnya, kekayaan Shibahara pun melejit. Dengan kepemilikan saham Amvis sebesar 77%, kekayaan pria 57 tahun ini ditaksir mencapai 14,2 triliun.

Sungguh ini lompatan yang luar biasa, dan ini merupakan buah dari kejeliannya membaca peluang bisnis yang lahir dari kesehariannya sebagai seorang peneliti yang juga punya lisensi dokter. Ya, Amvis adalah perwujudan hal itu. Didirikan tahun 2013, Amvis didesain Shibahara sebagai perusahaan yang bergerak di sektor hospice care. Apa itu hospice care?

Sederhananya, ini adalah perawatan pasien tahap kronik dan terminal (stadium akhir) yang tidak membutuhkan lagi pengobatan untuk penyakitnya karena kondisi tubuhnya yang sudah tidak memungkinkan, atau dengan kata lain adalah perawatan paliatif (palliative care). Biasanya kondisi pasien sudah lanjut usia, lemah, dan dokter juga angkat tangan.

Hospice care adalah pelayanan terpadu berlandaskan aspek bio-psiko-spiritual yang memberikan dukungan kepada pasien dengan tujuan agar mereka merasa hidup lebih nyaman serta damai di akhir kehidupannya. Kasarnya, ini adalah perawatan untuk pasien dalam kondisi yang ⸺maaf⸺ akan segera meninggal.

Perjalanan mendirikan Amvis tidak datang tiba-tiba. Setelah ikut pertukaran pelajar di Amerika Serikat, akhir 1990-an, Shibahara pulang untuk gelar dokter dari Nagoya University. Setelah itu, sebenarnya dia punya lisensi untuk menjadi dokter. Namun, karena tertarik menjadi peneliti, dia pun kemudian mengambil Ph.D dalam bidang biologi molekuler di Universitas Kyoto. Dia tak membuat praktik dokter.

Sebagai peneliti, saat itu Shibahara berupaya total bekerja. Dia bahkan bermimpi besar: membuat terobosan saintifik yang akan ditulis dalam banyak buku teks seputar imunologi dan biologi molekuler.

Sayangnya, itu semua tak bisa diraihnya. Setelah hampir 15 tahun, dia tak menghasilkan suatu penelitian hebat yang akan mengukir namanya. Didera frustrasi, Shibahara sempat berpikir untuk berbisnis. Namun, dia ragu ini hanya pelarian dari kegagalannya di bidang penelitian. Begitu terus berlangsung, sampai suatu hari…

Dalam sebuah seminar tentang kewirausahaan yang diikutinya, dia mendengar sesuatu yang menggerakkan dirinya: “Kehidupan itu bisa jadi memiliki bab kedua”. Orang boleh gagal, tapi berhak untuk bangkit meraih sukses.

Mendengar hal itu, Shibahara merenung. Setelah kurang berhasil sebagai peneliti, dia pun menganalisis dan mengubah perasaan menyesal menjadi passion sekaligus antusiasme untuk membuka babak baru kehidupannya sebagai pengusaha. Maka, insting entrepreneurial-nya bekerja, bertemali erat dengan latar belakang medisnya. Apa yang dilakukan?

Dia melihat peluang untuk menggarap bisnis hospicare di tengah masyarakat Jepang yang aging (menua). Tahun 2013, diluncurkanlah Amvis yang merupakan kependekan dari “ambitious vision” dengan produk layanan bernama vis. “Terdengar sederhana, namun saya menyadari, di sana ada permintaan, yang bisa dijadikan bisnis,” katanya (Forbes, 8 Juni 2022).

Bicara insting bisnis, sejatinya hal ini bukan sesuatu yang aneh. Saat bersekolah di AS, dia telah menjadi trader mata uang dan saham. Dia juga menggeluti dunia wine. Dibelinya anggur Bordeaux lalu dikirimnya ke Jepang, dengan untung tiga kali lipat. Diperkirakan dalam setahun dia bisa mencetak hingga US$ 1,5 juta dari bisnisnya ini.

Namun, Amvis jelas bukan bisnis wine. Dia melihat data betapa banyaknya orang jompo di Jepang yang sesungguhnya tidak membutuhkan lagi pelayanan rumah sakit, melainkan jasa hospicare. Dengan uang simpanannya, dibukalah Inshinkan untuk merawat pasien-pasien terminal akhir, sebagai kelanjutan dari fasilitas perawatan rumah sakit umum. Sebagai gambaran, bisa dilihat pada diagram model layanan Inshinkan.

Model layanan Ishinkan.

Di Ishinkan, treatment-nya bukan lagi urusan pembedahan dan farmakologis. Dokter serta nakes lainnya mendampingi pasien-pasien yang berada di tahap kronik dan terminal, sudah tidak lagi mengedepankan pendekatan obat-obat, apalagi perlakuan berat seperti penyayatan (operasi).

Kemudian, agar biaya terkontrol dan tidak memberatkan pasien, Amvis menggunakan model “doctor visit”, yang mengontrol pasien tiga kali dalam seminggu ⸺bergantung pada kondisi pasien⸺ ketimbang model “doctor on–site”. Selain menekan biaya, Shibahara mengambil kebijakan ini karena menyadari model ini jauh lebih mungkin dilakukan bagi para dokter sehingga mereka bisa bekerja paruh-waktu sebagai dokter on-call (panggilan) untuk datang ke tempat perawatan, termasuk daerah pedesaan.

“Jepang tidak memedulikan orang-orang yang menyiapkan diri meninggalkan dunia,” ujar Dr. Yoshiaki Mizuguchi, seorang dokter visit di Ishinkan. “Prioritasnya kebanyakan pada treatment melalui pembedahan dan farmakologis. Sejumlah uang akan masuk ke sini, sedikit yang disisakan untuk mereka yang meninggal,” dia menambahkan.

Seperti yang diyakini Shibahara, bisnis yang dikembangkannya diterima masyarakat. Dari jumlah yang bisa dihitung dengan jari, fasilitas milik Amvis terus bertambah dan berkembang ke sejumlah wilayah, terutama di pedesaan. Di daerah-daerah tersebut, Ishinkan merawat orang-orang lanjut usia yang menderita penyakit serius dan berada di terminal akhir.

Tak mengherankan, banyak yang menyenangi Ishinkan. “Di sini, saya bisa bergerak cepat untuk memenuhi permintaan pasien dan keluarganya,” ujar Minako Yasuda, yang menangani sekitar 40 pasien di Ishinkan Tokyo, yang di dalamnya lebih menyerupai hotel ketimbang rumah sakit, dengan lantai berkarpet merah dan dinding berlapis kayu.

“Sebelumnya, sebagai kepala perawat di rumah sakit, kalau saya minta suatu perubahan, biasanya mentok di manajemen. Sebagai perawat, bisa memberikan apa yang pasien inginkan membuat pekerjaan jadi menyenangkan,” ungkapnya.

Tanpa bisa ditahan, Ishinkan pun melanju pesat, dan benar kata orang, “Sukses adalah bertemunya kesiapan dengan peluang yang datang”. Hal itu terjadi ketika Covid-19 melanda.

Setelah membangun 20 fasilitas rumah perawatan dan terdaftar di Bursa Efek Tokyo pada tahun 2019, Amvis mendapat rezeki nomplok yang tidak pernah diduga. Pemerintah Jepang yang sempat kewalahan mengatasi pasien akibat Corona, meminta pasien-pasien lanjut usia untuk tak dirawat di rumah sakit, “mengalah” kepada mereka yang lebih muda. Maklum, seperti di negara-negara lain, kebutuhan akan ventilator sempat melejit sehingga saling berebut.

Salah satau Ishinkan di daerah Oshirase Jepang (Foto IG amvisholdings).

Tak ayal, ini seperti angin surga bagi Amvis. Orang-orang lanjut usia itu akhirnya berdatangan ke rumah-rumah perawatan Ishinkan. Tak mengherankan, seperti disinggung di atas, pendapatan segera melonjak. Saham pun bergerak naik penuh semangat. Akhir 2019 sampai 2021, saham perusahaan yang belum genap 10 tahun ini melonjak tiga kali lipat, membuat Shibahara pun menjadi salah salah satu orang terkaya di Jepang (self made billionaire). Selain dirinya, pemegang saham terbesar adalah Capital Research & Management yang berbasis di Los Angeles (7,8%).

Kesuksesan ini membuat Shibahara mendapat julukan mentereng “Seorang Game Changer dalam Industri Kesehatan Jepang”. Sungguh dia tak menyangka, alih-alih menorehkan nama di dunia penelitian imunologi dan biologi molekuler seperti cita-citanya, dia justru mencatatkan nama di hospice industry Jepang, bahkan menjadi pelopornya.

Kini, berangkat dari kesuksesan yang diraihnya, Shibahara telah melangkah lebih besar lagi. Dia menancapkan target tinggi untuk Amvis dan Ishinkan: pada Strategic Plan Amvis 2025-2026, dia berkeinginan mengggandakan laba operasionalnya menjadi US$ 77 juta dengan rumah perawatan menjadi 100. Dia juga mengungkapkan, ingin membawa Amvis melebarkan sayap ke kota-kota yang lebih kecil, di mana mereka akan bisa menjadi pemain dominan dan memiliki tingkat okupansi yang tinggi.

Target ini mungkin sangat tinggi. Namun, bagi banyak orang, ini sangat realistis. Mengapa?

Faktor pendukungnya adalah perubahan demografis dan sosial di Jepang. Makin banyaknya jumlah warga negara senior (lansia) berarti meningkatnya angka kematian. Menurut Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), Negeri Matahari Terbit adalah negara dengan persentase orang-orang berusia 65 tahun (atau lebih) tertinggi di antara negara-negara industri (mencapai 29%).

Kementerian Kesehatan Jepang memproyeksikan angka kematian per tahun akan mencapai sekitar 1,7 juta pada 2040, meningkat dari posisi sekarang yang mencapai 1,4 juta. Kematian di rumah sakit dan tempat tinggal menurun, dan lebih banyak orang lanjut usia yang meninggal di rumah perawatan.

Inilah yang membuat ambisi Shibahara dipandang realistis. Namun, tunggu dulu. Itu di Jepang. Hmm…, mungkin ceritanya akan lain jika dia tinggal di Indonesia.

Saat ini, penerapan konsep perawatan paliatif bisa dibilang belum banyak di Indonesia. Salah satu tantangannya adalah terkait bagaimana rumah sakit dan tenaga kesehatan memandang persoalan kematian pasien.

Masih banyak rumah sakit dan nakes yang belum memahami bahwa seharusnya pasien dengan stadium terminal diberi perawatan paliatif. Banyak rumah sakit belum bisa menempatkan diri pada orang-orang yang berada di fase ini. Terbukti, tak sedikit pasien yang sedang memasuki terminal state, malah dimasukkan ke ICU atau ICCU.

Well…, pendekatan yang ditempuh Shibahara nun jauh di sana rasanya memang menarik untuk dikaji lebih jauh. Termasuk di negeri ini. Pastinya, di Jepang, sang calon peneliti hebat itu adalah game changer di fase terminal. (*)

Teguh S. Pambudi

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved