Column

Segitiga Korupsi

Oleh Editor
Ilustrasi (State Dept./D. Thompson)
Ilustrasi (State Dept./D. Thompson)

Setiap tanggal 9 Desember kita memperingati Hari Antikorupsi Sedunia. Bicara mengenai korupsi, ada dua kesalahpahaman yang sering terjadi. Pertama, kita senantiasa melihat ke luar, melihat orang lain sebagai pelaku korupsi: pejabat pemerintah serta petinggi BUMN ataupun perusahaan swasta. Kita lupa melihat ke dalam, lupa bahwa kita sendiri pun mungkin saja melakukan korupsi sesuai dengan kapasitas kita masing-masing.

Kedua, banyak orang yang menganggap korupsi itu semata-mata berkaitan dengan masalah uang, lebih khusus lagi uang dalam jumlah besar. Padahal, korupsi bisa saja dalam bentuk uang yang jumlahnya tak seberapa.

Korupsi juga tak selalu terkait dengan uang. Korupsi lebih terkait dengan wewenang dan kekuasaan yang dimiliki seseorang. Ketika seseorang menyalahgunakan wewenangnya untuk melakukan tindakan yang merugikan organisasi, sekecil apa pun, pada hakikatnya ia telah melakukan korupsi. Jangan lupa, api besar selalu berawal dari api kecil. Sebuah tindakan korupsi yang mengeruk uang dalam jumlah besar sesungguhnya senantiasa dimulai dari tindakan-tindakan kecil yang awalnya tidak diperhitungkan, bahkan tidak dianggap sebagai penyalahgunaan apa pun.

Memang, seperti kata Lord Acton yang menjadi adagium dalam ilmu politik, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”, kekuasaan itu cenderung disalahgunakan dan kekuasaan yang mutlak disalahgunakan secara sewenang-wenang. Masalahnya, orang sering mengaitkan power dengan kekuasaan yang besar.

Padahal, kekuasaan itu bisa dalam bentuk yang kecil saja, seperti seorang karyawan yang memanfaatkan waktu kerjanya untuk melakukan hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan kepetingan perusahaan. Ini sering dianggap sebagai sesuatu yang biasa, padahal ini juga adalah kekuasaan yang sedang disalahgunakan.

Bagaimana kita membedah perilaku korupsi? Kita harus memahami anatomi korupsi yang saya sebut Segitiga Korupsi. Segitiga ini adalah tiga unsur sekaligus tahap dalam merealisasi perilaku korupsi. Unsur pertama, niat (intention). Semua tindakan korupsi diawali dengan sebuah niat, pikiran, atau keinginan untuk mendapatkan kesenangan, kenikmatan, kemudahan. Karena itu, sekecil apa pun pikiran itu, ia akan masuk ke dalam angan-angan kita dan semakin lama akan semakin membesar. Ketika ia berubah dari sebuah pikiran (thought) menjadi sebuah niat, ia akan dengan mudah menduplikasi kekuatannya.

Unsur kedua, kesempatan (opportunity). Berbeda dengan unsur pertama yang merupakan faktor internal, kesempatan adalah faktor eksternal. Karena itu, dalam pendekatan ini, pencegahan korupsi dilakukan dengan menciptakan sistem yang efektif dan canggih, termasuk dalam penegakan hukum. Sayangnya, secanggih apa pun pendekatan eksternal yang kita lakukan, itu akan kalah dengan niat. Niat itu mempunyai kaki yang dengan cepat bisa melipatgandakan dirinya. Dengan adanya niat, sistem yang secanggih apa pun bisa diterobos. Niat yang kuat akan senantiasa menemukan jalannya, seberliku dan sesulit apa pun.

Unsur ketiga dalam korupsi adalah rasionalisasi (rationalization). Adanya niat dan kesempatan tidak serta-merta akan menghasilkan perilaku korupsi. Ini karena korupsi masih harus melalui satu “tembok pengaman” lagi: hati nurani.

Hati nurani adalah sebuah pengaman yang diciptakan Tuhan agar manusia selalu berada di jalur kebaikan. Ketika akan melakukan korupsi, sesungguhnya hati nurani kita melakukan pemberontakan. Ia akan terus protes dan mengatakan bahwa korupsi itu jahat dan merugikan banyak orang. Mendengarkan hati nurani akan membuat kita mengurungkan niat jahat ini.

Karena itu, untuk menghasilkan korupsi, dibutuhkan satu unsur lagi, yaitu rasionalisasi. Dengan rasionalisasi, kita menciptakan pikiran-pikiran yang menjustifikasi dan membenarkan tindakan korupsi.

Misalnya, dengan mengatakan bahwa hal ini wajar karena gaji kita sangat kecil dan tidak cukup untuk membiayai kehidupan yang layak. Atau bahwa, semua orang bila mendapatkan kesempatan seperti ini juga pasti akan melakukannya. Atau, korupsi dalam jumlah yang seperlunya dan tidak berlebihan itu wajar adanya. Rasionalisasi semacam ini akan mengubah perasaan tidak nyaman yang sebelumnya kita rasakan. Rasionalisasi akan membuat kita merasa mantap untuk melakukan korupsi.

Pertanyaannya, dari ketiga unsur korupsi tersebut, unsur manakah yang menjadi inti dari segalanya? Anda pasti bisa menebaknya: niat. Tanpa adanya niat, dua unsur lainnya akan batal dan tak akan berlaku. Dengan adanya niat, secanggih apa pun sistem yang mencegah korupsi, semuanya akan diterobos begitu saja.

Niat selalu bisa menemukan jalannya. Di sinilah kita baru bisa mengerti mengapa lebih dari 14 abad yang lalu Nabi Muhammad swa. mengatakan, “Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu tergantung pada niatnya. Dan, setiap orang itu tergantung pada apa yang ia niatkan.”

Arvan Pradiansyah*)

*) Motivator Nasional Leadership & Happiness

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved