Technology Trends zkumparan

Alasan ChatGPT Tidak Bisa Menggantikan Profesi di Bidang Jurnalistik

Ilustrasi Chatbot (freepik/storyset)

ChatGPT merupakan perangkat lunak yang dikembangkan oleh OpenAI, platform kecerdasan buatan yang dibentuk oleh Sam Altman dan Elon Musk sejak 2015 lalu. ChatGPT sendiri mempunyai singkatan dari Generative Pre-Trained Transformer. Open AI, perusahaan asal Amerika Serikat ini fokus mengembangkan teknologi Artificial Intelligence (AI).

Aplikasi ini bisa menjawab pertanyaan manusia dari yang sulit sampai yang mudah. Bahkan pertanyaan mengenai rumus-rumus matematika bisa dijawab dengan singkat. Kegunaanya bisa dipakai untuk mengajukan perintah seperti menulis kode, menulis artikel dengan gaya bahasa yang disesuaikan, menerjemahkan, debug, menulis cerita dan puisi serta merekomendasikan akor dan lirik

Sistem pencarian/perintah jika dibandingkan dengan Google dengan ChatGPT, Google menampilkan daftar situs alamat hasil dari pencarian berdasarkan kata kunci informasi berkaitan apa yang ingin diketahui dan pencari harus memilah bahkan membuka satu per satu mana informasi yang paling relevan dengan kebutuhan yang dicari.

Sedangkan ChatGPT, apa yang dicari langsung diolahnya tanpa harus membuka satu per satu situs yang direkomendasikan. Pencari menerima dalam bentuk sudah jadi jika melakukan pencarian ChatGPT. “ChatGPT bisa mengambil data dari kanal yang tidak terkunci atau dikasih aksesnya.,” ujar Riri Satria, Dosen di Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia dan pengamat ekonomi digital kepada SWA Online melalui telepon, Selasa, (21/02/2023)

Polemik keberadaan ChatGPT yang mengancam tergantinya beberapa profesi di berbagai bidang. Adapun beberapa profesi yang bisa diganti olehnya seperti profesi media (pemasaran, pembuat konten, penulis teknis, jurnalis). Namun adanya ChatGPT, menurut Riri tidak mengancam segala profesi dapat digantikan dengan teknologi kecerdasan buatan, justru munculnya profesi atau ahli baru seperti AI specialist, AI engineer, IoT architect, algorithm engineer dan machine learning researchers.

“Adanya ChatGPT ini juga bisa membantu pekerja dalam menyelesaikan tugas yang sedang dikerjakan, ke depannya pekerja akan memperlajari dan menggunakan teknologi kecerdasan buatan seperti itu,” ujar Riri.

Selaras dengan yang disampaikan Riri, profesi media seperti yang disebutkan di atas tidak terganti. Paulus Tri Agung Kristanto, Anggota Dewan Pers, selaku Ketua Komisi Pendidikan dan Pengembangan Profesi Pers mengutarakan, “Kecerdasan seperti itu bukanlah suatu hal yang baru, tapi sudah ada dan digunakan. Dunia media sudah lama berhadapan dengan robotic journalism dan machine learning. Salah satu media asing yang sudah lama berdampingan memakai robotic journalism ialah Washington Post.”

Menurut Agung, adanya aplikasi kecerdasan buatan seperti ChatGPT ini bisa dijadikan alat pembantu wartawan dalam membandingkan hasil karyanya dengan hasil yang dikerjakan oleh ChatGPT. Bisa jadi sebagai pelengkap data dalam menulis informasi tertentu. Yang tidak bisa dilakukan ChatGPT dengan profesi wartawan atau penulis lainnya adalah tidak bisa menceritakan suasana yang terjadi pada suatu kejadian, hanya mengolah data saja.

“Jadi kemunculan aplikasi seperti itu lantas membuat dunia jurnalistik untuk berkembang lebih baik lagi. Sejatinya setiap profesi termasuk wartawan harus mengembangkan potensi diri, tidak berhenti belajar dan memperkaya wawasan agar menghasilkan karya yang bagus. Untuk perusahaan pers bisa membantu dan memberikan pelatihan kepada para jurnalisnya,” terangnya saat dihubungi SWA Online, Selasa (28/02/2023).

Editor : Eva Martha Rahayu

Swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved