Youngster Inc. Entrepreneur

Cerita Rengkuh Bangun Startup Plepah, Berawal dari Keresahan

Co-founder dan CEO Plepah Rengkuh Banyu Mahandaru. (dok pribadi)

Kearifan lokal dan kebiasaan nenek moyang Indonesia menggunakan dedaunan untuk pembungkus makanan menjadi salah satu inspirasi Rengkuh Banyu Mahandaru (32) menciptakan kemasan ramah lingkungan. Sebagai seorang product designer, Rengkuh berkesempatan keliling ke beberapa negara, salah satunya India, untuk mengikuti kursus tentang alternatif kemasan ramah lingkungan.

“India negaranya mirip dengan Indonesia. Yang menarik perhatian saya adalah mereka (warga India) itu sudah menggunakan daun-daunan dalam peralatan makanan, mau itu dimakan langsung ataupun makanan yang take away. Kita juga dulu kan membungkus makanan dengan daun-daunan,” ujar Rengkuh kepada SWA Online, beberapa waktu lalu.

Selanjutnya pada 2018, Rengkuh memulai proyek riset Plepah dengan membuat bahan-bahan natural, khususnya turunan dari agrikultur untuk kemasan makanan alternatif. Awal memulai, dirinya bekerja sama dengan multi pihak, salah satunya NGO yang fokus untuk konservasi hutan.

Rengkuh berkesempatan untuk membantu NGO dalam konteks community livelihood. Tahun 2018 tengah marak kebakaran hutan, sehingga Rengkuh menjalin komunikasi yang intensif dengan para petani karet dan sawit agar tidak iseng mengekstraksi hutan dengan membakar atau menebang pohon sembarangan. “Saya menciptakan waktu yang lebih produktif dengan masyarakat agar tidak melakukan hal tersebut. Dari sinilah Plepah mulai terbentuk,” ujar Rengkuh dalam wawancara yang dilakukan secara daring.

Plépah dimulai dengan konsep berbasis komunitas yang memberdayakan desa dan masyarakat di Sumatera Selatan dan Jambi. Masyarakat diajak mengolah limbah agrikultur komoditas pohon pinang sebagai pendapatan ekonomi alternatif dengan produk akhir eco friendly food packaging dan foodware.

Tantangan saat mulai mengembangkan produk ramah lingkungan terletak pada riset. Di Indonesia riset dalam upaya untuk pengembangan inovasi, secara pendanaan itu sulit. “Mungkin sekarang juga kalau dibilang mudah belum juga, tapi aksesnya ada,” ujarnya.

Selanjutnya, tantangan mengenai edukasi terhadap stakeholder petani. Komoditas yang dianggap oleh petani berupa sawit, karet, pisang, atau apapun itu yang memang sudah menghasilkan nilai ekonomi. Sementara apa yang ditawarkan Plepah adalah sesuatu yang baru, ekosistem ekonominya belum terbangun. Pelaku -pelaku yang seharusnya hadir di setiap bagian belum ada.

“Itu juga menjadi tantangan tersendiri untuk kami bisa membangun rantai pasok. Jauh sebelum rantai pasok terbangun, kami juga kesulitan meyakinkan bahwa ini punya value ekonomi, di sisi lain juga menjadi sebuah solusi terhadap masalah kemasan tidak ramah lingkungan yang begitu mengganggunya di kota besar,” katanya.

Dalam proses membangun Plepah, Rengkuh rela meninggalkan pekerjaannya sebagai product designer salah satu studio desain. Keputusan ini diambil karena dirinya merasa resah dengan apa yang dapat ia berikan kepada masyarakat banyak. Rengkuh bukan seorang pebisnis dan Plepah merupakan startup pertama yang ia buat.

“Memang Plepah lahir dari sebuah keresahan. Motivasi pada saat itu cuma kontribusi apa yang bisa saya berikan, walau sekecil apapun. Masih muda juga, pengen keluar dari zona nyaman, apapun saya coba. Pada saat itu memang saya punya interest sendiri terhadap hal -hal yang sifatnya bisa memberikan kualitas yang baik terhadap masyarakat banyak,” kata alumni ITB ini.

Masyarakat di Indonesia memiliki kecenderungan untuk sering membeli makanan yang dibawa pulang, terutama di kota-kota besar. Perilaku ini merupakan salah satu penyumbang terbesar sampah kemasan sekali pakai ke laut. Setiap hari, orang berkontribusi hingga 20 juta kemasan makanan bekas yang umumnya membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai. Masalah sampah ini yang mendorong saya untuk meningkatkan nilai ekonomi di wilayah tertentu di Indonesia sebagai bagian dari program pengembangan masyarakat.

Perkembangan Bisnis Plepah

Tahun 2022, Plepah mendapat pendanaan awal dari BRI Venture dan resmi memiliki pabrik di Cibinong. Meskipun Rengkuh tidak mengungkap jumlah pendanaan yang didapatkan, namun ia mengatakan bahwa pendanaan ini menjadi babak baru bagi Plepah untuk mengembangkan bisnis.

Jumlah produksi produk Plepah meningkat signifikan, dari yang hanya 1.000 kemasan per bulan menjadi 120.000 per bulan. Selain itu lingkup bisnis Plepah juga diperluas, tidak hanya kemasan, namun saat ini tengah mengeksplorasi lebih jauh potensi limbah agrikultur seperti pinang, sawit, tandan pisang, dan sebagainya baik menjadi produk keseharian atau produk yang dapat membantu sektor lain. “Satunya mungkin yang sedang kami kembangkan di sektor renewable energy,” ungkapnya.

Masuknya investasi ke Plepah, tambah Rengkuh, karena kepedulian orang terhadap isu lingkungan saat ini juga cukup tinggi. Sehingga banyak sekali akses pendanaan yang akan membantu usaha -usaha yang memiliki visi sustainability untuk tumbuh lebih cepat. “Momentumnya pas untuk usaha yang berbicara tentang lingkungan dan manusia,” kata Rengkuh.

Produk kemasan ramah lingkungan Plepah. (dok Plepah)

Pada April 2023 lalu, Plepah juga berhasil go global dengan mengikuti pameran teknologi industri tingkat dunia Hannover Messe 2023 di Jerman mewakili Indonesia. Plepah hadir sebagai perwakilan startup yang mempresentasikan inovasi maupun potensi investasi di sektor ramah lingkungan.

Rengkuh menceritakan antusiasme masyarakat di sana mengenai produk sustainability sangat tinggi. Banyak permintaan yang saat ini sedang dipersiapkan Plepah untuk bermitra bersama distributor -distributor Jerman dan juga di beberapa negara di Eropa. Tidak hanya dari Eropa, potensi kerjasama pun muncul dari Kanada dan beberapa negara Amerika Selatan.

“Kerjasamanya beberapa berbentuk investasi, ada juga yang kerjasama usaha. Jadi mereka meminta produk kami diekspor ke negara -negara tersebut yaitu Kanada, Jerman, Swedia, dan Belanda. Rata-rata permintaannya satu kontainer sekitar 200.000 produk,” ucapnya.

Ekspor ditargetkan terwujud tahun ini. Rengkuh mengaku karena harga produk di pasar internasional sudah bisa kompetitif dan dirinya bisa mendapatkan margin yang lebih tinggi. Dirinya berharap saat hal tersebut terwujud nanti bisa mensubsidi produk yang ada di dalam negeri.

Ke depan Plepah juga tengah melakukan riset mengenai optimalisasi agrikultur yakni biomassa untuk dijadikan alternatif pengganti batu bara. Juga ingin membuat produk lain selain kemasan ramah lingkungan, seperti gelas dan alat-alat keseharian lain.

Strategi Bisnis Plepah dan Potensi Ekonomi Ramah Lingkungan

Plepah menggunakan semua kanal dalam mendistribusi dan menjual produk-produknya mulai dari e-commerce, media sosial, termasuk B2B. Banyaknya kanal penjualan semakin memudahkan orang untuk mendapatkannya sehingga penggunaan kemasan yang ramah lingkungan masif. Tahun ini, Plepah juga mulai mencoba masuk ke sektor retail Indomaret, Alfamart dan semua grocery yang ada di Indonesia.

Kemasan ramah lingkungan masih memiliki harga yang lebih mahal dibandingkan kemasan sekali pakai yang seperti plastik atau styrofoam. Untuk mengatasi hal ini, Rengkuh mengaku merangkul investor, kerja sama dengan banyak pihak, dan terus meningkatkan kapasitas produksi.

Plepah bukan inovasi yang berbasis teknologi digital, tetapi lebih beririsan dengan manufaktur. Rengkuh meyakini jika kapasitas atau kemampuan produksi meningkat maka hal itu dapat berimplikasi pada harga yang didapat masyarakat di pasaran.

Antusiasme masyarakat terhadap produk Plepah cukup tinggi. Di Jakarta saja permintaan mencapai 1 juta per tahunnya. Namun kebanyakan masih menggunakan produk Plepah sebagai barang yang eksklusif atau bukan sebagai produk utama, di mana masih menggunakan kertas atau plastik yang lebih murah.

“Jadi mereka masih menggunakan produk kemasan kami secara eksklusif. Justru itu yang kami hindari. Kami nggak mau jadi produk yang premium atau terkesan produk yang mahal,” ungkapnya.

Pembahasan mengenai kelestarian dan kepedulian lingkungan memang tengah hits di kalangan Gen Z dan anak-anak muda sekarang. Mereka kini lebih peduli dan sensitif dengan hal-hal yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan. Bahkan sebelum membeli produk, anak muda mempertimbangkan proses pembuatan produk tersebut apakah sesuai prinsip kelestarian lingkungan atau belum.

Selain itu, menurut Rengkuh, nilai valuasi keseluruhan produk ramah lingkungan mencapai US$120 juta. “Ini potensi yang sangat besar apabila benar-benar bisa dioptimalkan,” ucapnya.

Editor : Eva Martha Rahayu

Swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved