Economic Issues

Kiprah IMF di Indonesia: Punya Andil dalam Kejatuhan Soeharto hingga Kritik Kebijakan Jokowi

Presiden Soeharto menandatangani kesepakatan dengan IMF disaksikan oleh Michel Camdessus selaku Managing Director. FOTO/Istimewa.
Presiden RI ke-2 Soeharto saat menandatangani kesepakatan dengan IMF disaksikan oleh Michel Camdessus selaku Managing Director pada 15 Januari 1998. FOTO/Istimewa.

Kritik terhadap kebijakan larangan ekspor mineral mentah dan program hilirisasi semakin bertambah. Baru-baru ini, Dana Moneter Internasional (IMF) meminta agar kebijakan ini dihentikan serta tidak memperluas pembatasan ke komoditas lainnya. Namun, pemerintah tetap teguh untuk tetap melaksanakan program andalan Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu.

Permintaan IMF untuk menghapus kebijakan hilirisasi sontak membuat Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinator Bidang Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia bersuara keras. Ia menganggap ada standar ganda pada IMF. Bahlil juga menuturkan bahwa permintaan IMF itu telah mengusik wibawa negara.

Bahlil lalu mengungkit bahwa IMF sudah pernah meresepkan pemulihan ekonomi Indonesia saat krisis moneter pada tahun 1998 silam. Saat itu pula, sejumlah rekomendasi IMF yang telah dijalankan, ternyata tak berhasil membawa Indonesia keluar dari krisis

“Apakah kita mengikuti dokter yang sudah membawa kita ke ruang rawat inap, dia masukkan kita ke ruang ICU. Ibarat orang sakit, harusnya nggak operasi total. Kemudian operasi total, terus gagal?” ujar Bahlil dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Jumat, 30 Juni 2023.

Seperti apa rekam jejak IMF di dalam sejarah perekonomian Indonesia, khususnya pada rentang waktu krisis moneter 1998 hingga belakangan mengkritik kebijakan pemerintah soal hilirisasi? Simak penjelasannya berikut ini.

International Monetary Fund (IMF) atau Dana Moneter Internasional merupakan sebuah organisasi internasional yang memiliki keanggotaan dari 189 negara. Tujuan utama IMF adalah mempererat kerjasama moneter global, mempromosikan stabilitas keuangan, mendorong perdagangan internasional, menciptakan lapangan kerja, serta mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan pengurangan kemiskinan di seluruh dunia. Kantor pusat IMF terletak di Washington D.C., Amerika Serikat.

Sudah lama Indonesia menjadi pasien International Monetary Fund atau IMF, tapi keluar di masa akhir kepemimpinan Soekarno. Namun, sejak Februari 1967, Indonesia kembali menjadi anggota IMF yang ditindaklanjuti dengan menempatkan beberapa perwakilannya dari luar negeri di pos-pos penting di bidang ekonomi, seperti Departemen Keuangan dan Bank Indonesia untuk memberikan bantuan dan dukungan.

Hingga kemudian terjadi badai krisis ekonomi 1997 yang membuat nyaris semua sendi perekonomian Indonesia dan sejumlah negara di Asia lumpuh. Tak ada jalan lain kecuali meminta bantuan ke IMF untuk mengatasi kondisi Indonesia yang nyaris bangkrut.

Dalam situasi masa krisis 1997/1998 tersebut, Indonesia terpaksa harus berutang sebesar US$ 9,1 miliar kepada IMF untuk mengatasi krisis keuangan, dan utang tersebut baru lunas pada tahun 2006.

Bermula pada 31 Oktober 1997, Indonesia menandatangani Letter of Intent (LoI) pertama dengan IMF sebagai kesepakatan untuk mendapatkan bantuan dalam pemulihan ekonomi. IMF kemudian memberikan bantuan sebesar Special Drawing Rights (SDR) 7.338 juta kepada pemerintah Indonesia pada November 1997.

Namun, kondisi keuangan Indonesia belum pulih sepenuhnya, sehingga dilakukan penandatanganan LoI kedua pada Januari 1998. Pinjaman dari IMF kemudian dicairkan secara bertahap hingga tahun 2003. Namun, langkah ini malah menjadi senjata makan tuan. Keadaan ekonomi Indonesia semakin memburuk dengan melemahnya nilai tukar rupiah, likuidasi 16 bank dan terjadinya krisis likuiditas perbankan.

Selama masa krisis tersebut, banyak perusahaan mengalami kebangkrutan dan terjadi kredit macet. Pemerintah bahkan harus membekukan beberapa bank swasta dan mengambil alih Bank Central Asia (BCA) pada tahun 1998.

Selain itu, inflasi yang tinggi juga dipicu oleh pengurangan subsidi bahan bakar minyak sebagai akibat dari kebijakan IMF. Krisis ini juga menyebabkan kerusuhan massa dan konflik di berbagai daerah, dan akhirnya membawa kejatuhan Soeharto setelah 32 tahun berkuasa.

Indonesia pun berhasil melunasi utang-utangnya kepada IMF pada tahun 2006 di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pembayaran cicilan utang yang seharusnya jatuh tempo pada tahun 2010 dilunasi lebih cepat. Ketika banyak orang mengkritik, IMF justru mengklaim telah berperan positif dalam membantu pemulihan ekonomi Asia pada tahun 1997. IMF memberikan bantuan dana yang signifikan dalam upaya pemulihan tersebut.

Setelah krisis tersebut, Indonesia belajar dari pengalaman dan mulai mencatatkan utang swasta sambil meningkatkan keterbukaan dan transparansi dalam kebijakan ekonomi. Meski demikian, struktur ekonomi Indonesia saat ini masih perlu diperkuat, terutama dalam hal diversifikasi ekspor.

Berdasarkan informasi dalam Jurnal Ekonomi Politik Neoliberalisme International Monetary Fund: Studi Kasus Indonesia 1997-1998, IMF selalu terlibat dalam kebijakan Orde Baru dan menjadi konsultan keuangan pemerintah sejak awal rezim Soeharto pada 1967.

Pada saat krisis moneter 1998, IMF memainkan peran yang sangat penting. Krisis tersebut terjadi karena ketidakseimbangan antara kebutuhan valuta asing dalam jangka pendek dengan jumlah devisa yang tersedia, yang menyebabkan nilai dolar AS melambung.

Menurut IMF, tindakan yang harus segera diambil untuk mengatasi krisis moneter 1998 adalah menyelesaikan masalah utang swasta luar negeri dan memperbaiki kinerja perbankan nasional. IMF juga berupaya mengembalikan kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap ekonomi Indonesia, menstabilkan nilai tukar rupiah, serta mengembalikan stabilitas sosial dan politik.

Strategi pemulihan IMF fokus pada mengembalikan kepercayaan pada mata uang rupiah dengan membuatnya menjadi menarik. Pusat dari setiap program pemulihan ekonomi adalah restrukturisasi sektor keuangan.

Seiring dengan diterapkannya kebijakan larangan ekspor mineral untuk mendorong program hilirisasi, IMF menyarankan agar kebijakan tersebut dihentikan. Kritik ini terungkap dalam laporan hasil konsultasi tahunan IMF dengan Indonesia.

Dalam dokumen IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia, IMF memberikan catatan khusus terkait rencana penghiliran nikel di Indonesia. IMF menekankan perlunya analisis biaya dan manfaat yang lebih lanjut serta mempertimbangkan dampaknya terhadap wilayah lain.

Dalam dokumen yang dirilis pada 25 Juni 2023 lalu itu, IMF menyarankan agar larangan ekspor mineral, terutama nikel, dievaluasi ulang dengan mempertimbangkan dampaknya yang masih minim terhadap pembukaan lapangan kerja dan potensi kehilangan pendapatan negara dari insentif fiskal yang diberikan untuk sektor tersebut.

“Direksi mencatat strategi diversifikasi Indonesia yang berfokus pada kegiatan hilir dari perusahaannya komoditas mentah, seperti nikel,” ujar IMF dalam press release di dokumen tersebut, dikutip Jumat.

Menurut IMF, peningkatan investasi asing serta nilai ekspor nikel tak menjamin program ini banyak manfaatnya ketimbang mudaratnya. IMF juga mencatat dampak larangan ekspor mineral di dalam negeri, seperti korupsi sumber daya alam dan pemburu rente, serta pengaruhnya terhadap gejolak harga mineral di pasar global.

Oleh karena itu, IMF meminta pemerintah Indonesia untuk mengubah kebijakan tersebut dan mempertimbangkan untuk menghentikan larangan ekspor nikel serta tidak memperluasnya ke komoditas lain.

Kendati demikian, IMF juga menyambut baik ambisi Indonesia dalam meningkatkan nilai tambahan ekspor, menarik investasi asing langsung, dan memfasilitasi transfer keterampilan dan teknologi.

IMF menyarankan agar kebijakan tersebut didasarkan pada analisis biaya-manfaat yang lebih lanjut dan dirancang untuk meminimalkan dampak negatif lintas batas. IMF meminta pertimbangan untuk secara bertahap menghapus pembatasan ekspor dan tidak memperluasnya ke komoditas lain.

Sumber: Tempo.co


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved