Property

Sinergi PUPR dan Tatalogam Group Hadapi Fenomena Urban Heat Island

Vice President Tatalogam Group Stephanus Koeswandi dan Direktur Kelembagaan dan Sumber Daya Konstruksi, Ditjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR Nicodemus Daud.

Kenaikan suhu global dan perubahan iklim yang terjadi akibat meningkatnya emisi karbon, menimbulkan bencana di seluruh belahan bumi ini. Untuk itu, berbagai kebijakan global guna mengontrol emisi karbon, didorong untuk segera diimplementasikan di seluruh dunia.

Di Indonesia, tahun 2023 pemerintah telah menaikkan target Nationally Determined Contribution (NDC) 2030 dari 29% menjadi 31,8% untuk menuju karbon netral di tahun 2060 atau lebih cepat. Untuk itu, pemerintah membutuhkan tindakan kolektif dari semua pihak guna membangun ekosistem yang berdaya guna.

Direktur Kelembagaan dan Sumber Daya Konstruksi, Ditjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR, Nicodemus Daud menerangkan, tahun 2017 Indonesia berada di daftar 10 besar Negara penghasil karbon terbanyak di dunia. Indonesia menyumbang 275,4 megaton karbondioksida (mega-ton CO2). Dari jumlah tersebut, penyumbang terbesarnya adalah industri yang di dalamnya termasuk pertanian, peternakan, dan konstruksi.

“Pemerintah sudah punya tahapan-tahapan rencana jangka panjang untuk mengatasi hal ini. Masalah lingkungan ini juga masuk dalam 7 prioritas nasional rencana kerja pemerintah tahun 2024. Targetnya salah satunya adalah penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 27,7 persen,” ujar Nicodemus di pameran IndoBuildTech 2023, ICE BSD, Tangerang Selatan.

Nicodemus menjelaskan, ada 3 dampak perubahan iklim yang berkaitan dengan sektor perumahan dan permukiman. Yang pertama adanya peningkatan atau penurunan curah hujan. Kemudian peningkatan kejadian cuaca ekstrim. Dan terakhir, peningkatan tinggi muka laut. Dampak ini yang kemudian menjadi tantangan Kementerian PUPR dalam melaksanakan pembangunan konstruksi di tanah air.

“Solusi atas tantangan tadi adalah pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan. Tantangan dan solusi ini kemudian harus diimplementasikan di lapangan. Caranya dengan menerapkan pembangunan infrastruktur berbasis lingkungan dan berkelanjutan pada semua paket-paket pekerjaan PUPR,” ujar Nicodemus.

Upaya Kementerian PUPR ini disambut baik oleh Vice President Tatalogam Group, Stephanus Koeswandi. Ia menyebut, kolaborasi antara pelaku industri penting untuk memetakan emisi yang dilepaskan dalam ekosistem rantai nilai agar dapat merumuskan langkah-langkah berbasis sains untuk mengambil tindakan dekarbonisasi. Hal yang sama dilakukan Tatalogam Group bersama Pusat Industri Hijau (PIH), Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI), Kementerian Perindustrian.

Stephanus mengatakan hal lain yang penting dilakukan adalah berinovasi. Industri baja, semen dan bahan kimia diketahui merupakan tiga industri penghasil emisi teratas dan termasuk yang paling sulit untuk didekarbonisasi.

“Sebagai contoh, untuk menekan penggunaan energi dan mengurangi emisi, Tata Metal Lestari berinovasi dengan memproduksi Baja Lapis Aluminium Seng (BLAS) yang dinamai Super Nexalum dan Super Nexium. Kedua produk ini memiliki ketahanan hingga 100 tahun. Dengan begitu, baja yang seharusnya dalam beberapa tahun sudah di daur ulang dengan memakan energi yang besar, bisa kami perpanjang usia pakainya sehingga lebih tahan lama,” terang Stephanus.

Kemudian ada juga inovasi Domus Fastrack, rumah berbasis baja ringan yang dibuat sesuai kebutuhan konsumen mulai dari gambar hingga terbentuk panel-panelnya yang sudah sesuai ukuran. Di Tatalogam Lestari hal yang sama juga dilakukan. Sebagai produsen atap dan genteng metal, Tatalogam Lestari juga telah berinovasi dengan menghasilkan produk-produk akhir dari baja lapis yang lebih ramah lingkungan.

“Pemilihan atap yang tidak tepat dapat berdampak pada peningkatan suhu di suatu wilayah tertentu. Fenomena ini disebut dengan fenomena urban heat island (UHI). Kami punya inovasi yang dimulai dari teknologi pelapisan di Tata Metal Lestari. Kami bekerjasama dengan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, mengembangkan teknologi cool roof yang dapat mengurangi panas hingga 6 derajat dan juga bisa merefleksikan sinar matahari tersebut jadi tidak terjebak di dalam kota sehingga tidak terjadi urban heat island effect,” ungkap Stephanus.

Sebagai informasi, urban heat island merupakan sebuah fenomena peningkatan suhu lingkungan suatu wilayah perkotaan yang lebih tinggi dibandingkan wilayah sekitarnya. Kondisi ini diakibatkan oleh banyaknya radiasi matahari yang terpantulkan dan terserap oleh lingkungan dari bidang-bidang infrastruktur sebuah wilayah, seperti permukaan jalan, permukaan dinding, dan permukaan atap sebuah bangunan.

Editor : Eva Martha Rahayu

Swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved