Column

Plato vs. Plate

Oleh Editor
Plato (Foto: https://www.cityu.edu/)
Plato (Foto: https://www.cityu.edu/)

Plato adalah seorang filsuf ternama dari Athena. Ia murid Socrates dan guru Aristoteles. Ia juga dikenal sebagai Bapak Filsafat Barat yang meletakkan dasar-dasar spiritualitas dan agama-agama di dunia Barat.

Plate adalah seorang manusia modern yang hidup jauh setelah era Plato dan para filsuf Yunani lainnya. Ia dikenal sebagai seorang yang kaya raya dan berkuasa. Baru-baru ini, ia ditangkap oleh aparat penegak hukum karena diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam jumlah yang fantastis.

Lantas, di mana hubungan antara Plato dan Plate?

Pertemuan mereka berdua adalah pada kata “kebenaran”. Plato adalah orang yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mencari kebenaran. Menurut Plato, “Truth is the beginning of every good to the gods, and every good to man”. Kebenaran adalah awal dari setiap kebaikan kepada Dewata, dan kepada sesama manusia.

Jadi, landasan kebaikan itu adalah kebenaran. Karena itu, kebaikan yang tidak dilandasi kebenaran sesungguhnya bukanlah sebuah kebaikan.

Apa yang disampaikan Plato ini sungguh penting. Kebenaran sesungguhnya adalah dasar dari segala-galanya. Seorang pria bisa saja melakukan kebaikan kepada seorang wanita, menafkahinya, memberikan segala perhatian yang ia miliki untuk kebahagiaan si wanita. Namun, bila hal itu tidak dilandasi kebenaran ―wanita itu ternyata adalah selingkuhannya, dan pria itu sedang berkhianat kepada istri dan keluarganya― kebaikan tersebut sama sekali tidak bernilai kebaikan.

Hubungan Plate dengan kebenaran tidaklah sejelas Plato. Perlu penelitian khusus untuk memahami apakah tindakan Plate selama ini lebih didasarkan pada kebenaran. Namun yang jelas, tertangkapnya Plate disertai bukti-bukti awal yang cukup ―menunjukkan sebuah indikasi bahwa ia tidak sedang memperjuangkan kebenaran. Kata-kata yang lebih tepat untuk melukiskan Plate dalam masalah yang dituduhkan bukanlah kebenaran melainkan “kepentingan”.

Lebih jauh lagi, teman-teman Plate menunjukkan keberpihakan mereka kepada kepentingan yang sungguh terang-benderang. Bukannya menegaskan bahwa partai mereka antikorupsi dan mendukung sepenuhnya upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan penegak hukum, teman-teman Plate ini menuding bahwa penguasa telah melakukan intervensi politik. Mereka menutup mata terhadap kemungkinan bahwa Plate benar-benar telah melakukan korupsi. Mereka juga tidak ambil pusing dengan bukti-bukti yang dipaparkan kepada publik bahwa korupsi Plate itu benar-benar ada, dan telah diselidiki penegak hukum sejak beberapa tahun yang lalu.

Apa yang dilakukan oleh tim Plate bertentangan dengan Plato yang senantiasa mencari kebenaran. Tim Plate menutupi kebenaran dengan berbagai cara. Dalam hal ini, Plato mengatakan, “We can easily forgive a child who is afraid of the dark; the real tragedy of life is when men are afraid of the light”. Kita dapat dengan mudah memaafkan seorang anak yang takut pada kegelapan; tragedi yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan adalah ketika seseorang takut pada cahaya.

Orang yang menutupi kebenaran ibarat sedang bermain dalam kegelapan. Ia tidak menginginkan cahaya karena cahayalah yang akan menunjukkan kebenaran, yaitu apa yang sesungguhnya terjadi. Dan, ketika seseorang takut pada upaya pengungkapan kebenaran, ini merupakan sebuah petunjuk bahwa ia telah ada dalam kesesatan.

Padahal, kesalahan adalah bagian dari kemanusiaan itu sendiri. Kesalahan tidaklah selalu berkembang menjadi kejahatan bila pelakunya mau introspeksi dan membuka diri. Namun, apa yang dilakukan tim Plate dengan mengarahkan telunjuk keluar sesungguhnya bukan hanya menutup diri terhadap kebenaran, tetapi juga melakukan serangan untuk mengaburkan permasalahan yang sesungguhnya.

Orang-orang Plate ini telah melewatkan sebuah kesempatan emas yang tidak datang dua kali, yaitu menegaskan keberpihakan mereka kepada kebenaran dan pemberantasan korupsi. Sesungguhnya, kalau mereka menanggapi kasus Plate dengan cara yang benar, simpati bisa mengalir kepada mereka. Sayangnya, mereka malah menyerang orang-orang yang ingin mengungkapkan kebenaran.

Terhadap perilaku teman-teman Plate ini, Plato pernah mengatakan dengan keras, “You should not honor men more than truth.” Anda tidak perlu menghargai orang-orang yang tidak memiliki kebenaran.

Kebenaran sesungguhnya adalah inti kehidupan itu sendiri. Apa pun yang kita lakukan dalam hidup sesungguhnya bertujuan mencari kebenaran. Inilah yang diupayakan oleh para peneliti di segala bidang, juga para penyidik, detektif, kepolisian, dan para penegak hukum.

Kebenaran juga menjadi kata kunci bagi siapa pun yang ingin mengetahui siapa orang tua atau anak mereka yang sebenarnya. Kebenaran pulalah yang dicari oleh setiap orang yang melakukan cek darah, uji laboratorium, dan berbagai tes di rumah sakit. Jadi, kebenaran sesungguhnya adalah inti kehidupan. Karena itu, orang-orang yang menutupi kebenaran sesungguhnya adalah mereka yang sedang mengkhianati kehidupan itu sendiri.

Lebih jauh, Plato mengatakan, “The measure of a man is what he does with power.” Ukuran dari seseorang adalah apa yang ia lakukan ketika memiliki kekuasaan. Maka, kekuasaan bisa menjadi sarana untuk mencapai kebenaran atau malah menjauhkan diri dari kebenaran.

Ini tentu saja terkait dengan paradigma orang terhadap kekuasaan, apakah ia dilihat sebagai alat ‘untuk memberi sesuatu” ataukah “untuk mendapatkan sesuatu”. Pilihan apa yang kita ambil sesungguhnya hanya menegaskan kualitas dan kelas kita masing-masing. There are three classes of men: lovers of wisdom, lovers of honor, and lovers of gain. Ada tiga kelas manusia, kata Plato: pencinta kebijaksanaan, pencinta kehormatan, dan pencinta keuntungan.

Arvan Pradiansyah*)

*) Motivator Nasional – Leadership & Happiness


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved